"Kalau sifatnya untuk menurunkan harga, kita ya setuju saja, tapi sangat sementara. Sifatnya sangat sementara, sebab Kemendag harus memperhatikan juga ada tiga undang-undang yang terkait dengan kebijakan impor dalam kaitan referensi harga tadi," katanya di Banyumas, Sabtu siang.

Wamentan mengatakan hal itu kepada wartawan di sela-sela kunjungan kerja di "Rearing Farm" Manggala, Cipendok, Kabupaten Banyumas, yang dikelola Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) Hijauan Pakan Ternak (HPT) Baturraden, Banyumas.

Dia menyebutkan ketiga undang-undang tersebut, yakni UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Hortikultura, serta UU Pangan. Ketiga undang-undang tersebut mengisyaratkan kebutuhan konsumsi dalam negeri harus didukung sepenuhnya oleh produksi dalam negeri.

"Sekiranya produksi dalam negeri tidak mencukupi, baru dilakukan impor. Jadi, kalau bahasanya seperti itu, artinya ada pengaturan impor, bukan pada referensi harga, kan begitu. Apakah harga yang mahal itu memang disebabkan oleh suplai pasokan yang berkurang," katanya.

Menurut dia, di Indonesia banyak faktor yang menyebabkan seolah-olah pasokan berkurang.

"Padahal, mungkin saja faktornya karena sistem logistiknya, transportasinya, itu bisa menyebabkan seolah-olah pasokannya berkurang. Padahal, pasokannya cukup, distribusinya yang tidak lancar karena infrastruktur di Indonesia masih belum terlalu baik," kata Rusman menjelaskan.

Oleh karena itu, kata dia, sikap Kementerian Pertanian untuk sementara setuju terhadap pemberlakuan harga referensi produk hortikultura tersebut. Akan tetapi, hal itu harus dipahami sebagai kebijakan yang sangat sementara atau tidak selamanya.

"Kalau yang saya maksud diatur itu adalah ketika musimnya panen, kita memberikan rekomendasi ke Kementerian Perdagangan untuk jangan impor dulu karena produksi sedang puncaknya. Tapi kalau referensi harga, itu kan seolah-olah tidak terkait dengan apakah lagi musim panen atau tidak, kalau harganya mahal, ya tetap dibolehkan impor. Pemahaman itu yang perlu kita luruskan," katanya.