"Saat ini, menurut Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), tersisa sekitar 7.000.000 nama yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah terkait dengan nomor induk kependudukan (NIK)," katanya kepada Antara di Semarang, Sabtu.

Berdasarkan diskusi dan temuan lapangan, kata Tjahjo, mereka yang tidak memiliki NIK atau kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) adalah penduduk yang tergolong "keterbatasan" di desanya.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu mengungkapkan bahwa mereka yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak memiliki NIK karena malas atau tidak punya ongkos untuk datang ke kantor kecamatan.

"Rata-rata mereka ini adalah golongan marhaen (penyebutan untuk kelompok petani kecil, buruh kecil, nelayan kecil, dsb., red.)," kata Tjahjo yang juga calon anggota DPR RI periode 2014--2019 dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah 1 (Kota/Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Kabupaten Kendal).

Menurut dia, ada baiknya pemberian NIK dilakukan secara aktif oleh Pemerintah dan jemput bola. Pasalnya, kalau tidak, parpol-parpol peserta pemilu kehilangan potensi perolehan kursi setara dengan 35--50 kursi kalau DPT bermasalah berada pada kisaran tujuh juta sampai 10 juta suara. "Jumlah ini pun masih diperdebatkan," ucapnya.

Ia menyebutkan beberapa hal yang mengkhawatirkan sebagai faktor X yang akan mengganggu demokrtisasi Pemilu 2014, antara lain faktor Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), institusi ini didentifikasikan tetap akan berkerja sama dengan KPU.

Tjahjo yang juga anggota Komisi I DPR RI memberi gambaran, begitu DPT ditetapkan, proses enkripsi (tulisan dalam kode atau sandi) berjalan. Dan, ini yang membahayakan.

"Suara yang diperoleh Lemsaneg ataupun lembaga intelijen karena di situ murni institusi Tentara Nasional Indonesia. Kalau begitu, di mana netralitas TNI?" kata Tjahjo mempertanyakan.

Di sisi lain, lanjut dia, DPT betul-betul harus dijadikan alat pemenangan murni parpol sebagaimana pilihan politik masyarakat yang mempunyai hak pilih atau hak politik.

Sekjen DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo memandang perlu mengandeng kekuatan ekstra untuk membangun opini publik agar lembaga terkait, termasuk pemerintah pusat dan daerah, harus netral.

Ia menilai wajar kalau parpol, termasuk PDI Perjuangan, masih melihat posisi pelaksana Pemilu 2014 terancam jujur dan adil (jurdil).

Oleh karena itu, kata dia, "political will" (kemauan politik) KPU dan Badan Pengawas Pemulu (Bawaslu) membuat Pemilu 2014 lebih demokratis, bersih, dan jurdil harus didukung seluruh komponen kekuatan rakyat Indonesia, TNI, dan Polri tanpa pandang bulu.

"Mereka harus berani menyatakan sikap siapa lawan dan siapa kawan kalau ada individu, kelompok, parpol, atau institusi yang berani menjadikan Pemilu 2014 tidak jujur dan tidak demokrtis sebagai pilihan rakyat Pancasilais," katanya.