"Jika lebih berorientasi pada faktor akseptabilitas semu dan mengabaikan faktor visi, kapabilitas, dan integritas, akan melahirkan 'quasi leadership' (kepemimpinan kuasi/kuasipimpinan, red.)," kata Prof. R. Siti Zuhro, M.A., Ph.D. ketika dihubungi dari Semarang, Minggu.

Menyinggung soal pemimpin yang mumpuni hingga sekarang belum muncul, Prof. Wiwieq--sapaan akrab R. Siti Zuhro--mengungkapkan bahwa selama ini ada deviasi yang mewabah dalam proses rekrutmen pemimpin di banyak bidang yang lebih berorientasi pada faktor akseptabilitas semu.

"Akseptabilitas semu yang semata-mata didasarkan atas popularitas, koneksitas (nepotisme), uang (money politics), nasab (keturunan)," kata dosen tetap pada Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Riau itu.

Alumnus Curtin University, Perth, Australia, itu lantas memaparkan tiga karakter kepemimpinan kuasi, yakni "attitude", lebih sebagai politikus daripada pemimpin; "behaviour", lebih transaksional daripada transformatif; dan "actions/decisions", lebih simbolis daripada fungsional.

Prof. Wiwieq lantas menjelaskan indikator perilaku politikus versus pemimpin. Kalau politikus lebih "power oriented" atau berusaha memperoleh, mengelola, dan mempertahankan kekuasaan. Dalam hal ini, kekuasaan adalah tujuan.

Sebaliknya, pemimpin lebih berorientasi pada idealisme/tujuan dengan memanfaatkan kekuasaan yang diberikan atau tidak terpesona dengan kekuasaan, dan berani kehilangan kekuasaan demi cita-cita yang diyakini.

"Contohnya Hatta dan Gandhi yang menjadikan kekuasaan alat untuk mencapai tujuan," kata Prof. Wiwieq yang juga alumnus jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember.