"Sekarang SPBG belum banyak, bagaimana bisa dipaksa," katanya.

Budi membandingkan dengan Thailand, yang saat ini memiliki sedikitnya 500 SPBG di negaranya.

"Kalau dipaksa nanti mau isi di mana," katanya.

Idealnya, lanjut Budi, untuk satu SPBG melayani hingga 1.000 kendaraan, oleh karena itu perlu disiapkan sarana SPBG yang memadai baru bisa mendorong orang untuk menggunakan BBG.

Budi menuturkan semua jenis mobil apabila dipasangi konverter kit sudah bisa beroperasi dengan sistem dual fuel atau dua jenis bahan bakar.

"Cuma memang tidak optimum saja, kalau dia pakai gas terus, mesinnya kering, sehingga tidak bisa banyak," katanya.

Oleh karena itu, saat ini belum bisa diberlakukan kebijakan yang bersifat mewajibkan penggunaan konverter kit guna mengoptimalkan pengalihan jenis bahan bakar ke BBG.

"Sekarang sifatnya masih kesukarelaan masing-masing, belum bisa pewajiban. Secara mesin, mobil kalau dipasangi konverter kit bisa jadi dual kit, tidak perlu ada produksi khusus. Yang tersisa tinggal pemiliknya mau beli atau tidak, karena bagian bagasi belakang mobilnya akan harus dipasangi tabung yang memakan tempat," katanya.

Sementara itu, pada akhir Maret lalu Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM Mohammad Hidayat menyatakan pemerintah merencanakan pembangunan 45 unit SPBG sepanjang 2014, atau meningkat 400 persen dibandingkan 2013 yang hanya terbangun sembilan unit.

Dari 45 rencana SPBG tersebut, sebanyak 17 unit di antaranya dibiayai oleh APBN 2014.

Alokasi APBN 2014 akan digunakan untuk membangun 14 unit SPBG, yang terdiri 10 SPBG permanen dan empat lainnya bergerak atau moblie refuelling unit (MRU) dengan lokasi di Jabodetabek, sementara dua unit SPBG permanen dan satu MRU berlokasi di Semarang, Jawa Tengah.