Penerimaan Retribusi Parkir Kota Semarang Amat Kecil
Senin, 23 Juni 2014 17:04 WIB
Ilustrasi sejumlah sepeda motor yang diparkir di pinggir jalan
Anda bisa gratis dari bea parkir bila belanja di minimarket berjaringan. Akan tetapi pengelola minimarket tentu mengeluarkan biaya keamanan ekstra agar halaman tokonya tidak direcoki oleh juru parkir (liar).
Potensi penerimaan Kota Semarang dari retribusi parkir sebenarnya luar biasa besar kalau mau mengelolanya dengan serius. Sekarang ini, nyaris tidak ada sejengkal tanah di lokasi keramaian yang bebas dari pungutan parkir. Bahkan, ketika makan di warung di pelosok kampung yang agak laris, kita dipungut uang parkir.
Pungutan parkir tersebut seringkali menjengkelkan karena tidak disertai dengan pelayanan oleh petugasnya. Ketika datang, juru parkir tak tampak, tapi begitu kendaraan dihidupkan, juru parkir langsung menghampiri pengemudi menagih uang parkir.
Uang sekali parkir kelihatnnya tidak seberapa, hanya Rp1.000/sepeda motor atau Rp2.000/mobil. Namun, bila dihitung dalam pengeluaran setahun, jumlahnya bisa jadi jauh lebih besar daripada uang yang digunakan untuk bayar perpanjangan pajak kendaraan bermotor.
Padahal, pajak kendaraan bermotor ini menjadi andalan pendapatan asli daerah (PAD) provinsi, sedangkan retribusi parkir selama ini dianggap sebagai tambahan uang "jajan" dalam APBD kota atau kabupaten.
Dianggap sebagai tambahan uang jajan dalam APBD karena realisasi penerimaan retribusi parkir di Kota Semarang setiap tahunnya tak pernah lebih dari tiga miliar rupiah. Pada 2012 realiasinya hanya Rp1,2 miliar, kemudian naik menjadi Rp2,6 miliar. Tahun 2014 ditargetkan retribusi parkir memasok kas daerah senilai Rp3,7 miliar. (Suara Merdeka, 23/6/2014)
Sungguh jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan potensi riil di Ibu Kota Semarang, yang hampir di semua ruas jalannya dikenai biaya parkir. Contoh kecil saja, setiap malam warung makan di sepanjang Jalan Tentara Pelajar ramai dikunjungi konsumen. Lebih dari tujuh juru parkir beroperasi di sepanjang jalan tersebut.
Amati pula Jalan KH Ahmad Dahlan. Dari pagi hingga malam, bahu jalan di sepanjang jalur itu selalu disesaki kendaraan roda empat dan dua. Lebih dari 15 tukang parkir memungut uang dari pengendara. Mungkin dari pagi hingga malam ratusan kendaraan secara bergantian parkir di pinggiran jalan. Tukang parkir di jalan ini mengaku setiap hari bisa memperoleh Rp100.000, bersih setelah dipotong setoran.
Bila ada 15 tukang parkir di sepanjang jalan tersebut, berarti setiap hari terkumpul Rp1.500.000 atau setahun lebih dari Rp500 juta. Itu belum termasuk kawasan-kawasan lain yang tak kalah ramai, misalnya, di sepanjang Jalan MT Haryono, Jalan Pemuda, Pasar Johar, Gang Baru, Tembalang, dan lainnya. Potensi dari akumulasi uang parkir itu sungguh fantastis.
Akan tetapi, realitasnya malah tragis. Penerimaan retribusi parkir pada 2012 tercatat hanya Rp1,3 miliar, kemudian berlipat menjadi Rp2,6 miliar pada 2013. Tahun 2014 ditarget terkumpul Rp3,7 miliar dari 1.089 titik parkir yang ditentukan oleh Dishubkominfo Kota Semarang.
Kalau Pemerintah Kota Semarang serius menggarap penerimaan dari retribusi parkir, pendapatan yang diraih dari sektor ini dipastikan berlipat-lipat. Data jumlah kendaraan bermotor di Kota Semarang pada 2012 tercatat lebih dari 850.000 unit, 75 persen di antaranya sepeda motor dan sisanya roda empat atau lebih. Dengan asumsi rendah bahwa 10 persen dari jumlah kendaraan itu bayar parkir Rp2.000/hari maka setiap tahun terkumpul sedikitnya Rp59,5 miliar!
Guna mendongkrak penerimaan dari retribusi parkir bisa ditempuh dengan menerbitkan voucher atau kartu berlangganan seperti e-toll untuk pembayaran elektronik jalan tol. Sistem pembayaran elektronik di zaman serba komputer sekarang ini tentu bukan persoalan sulit. Melalui cara ini, pendapatan kas daerah bakal melesat dan kebocoran bisa dikendalikan.
Jika setiap satu sepeda motor dalam setahun bayar voucher berlangganan parkir Rp60.000 dan mobil Rp100.000 maka dalam setahun akan terkumpul Rp59,5 miliar. Angka ini diperoleh dari 637.500 sepeda motor x Rp60.000 = Rp38,25 miliar ditambah 212.500 mobil x Rp100.000 = Rp 21,25 miliar sehingga total Rp59,5 miliar/tahun.
Pemerintah Kota Semarang memang harus keluar biaya untuk gaji juru parkir, seragam, dan peralatan. Namun, jumlah penerimaannya tetap jauh lebih besar ketimbang sistem target seperti yang berlaku sekarang ini.
Pekiraan hitungannya begini. Bila setiap titik dijaga oleh satu juru parkir dengan gaji Rp1,5 juta/bulan maka setiap bulan keluar Rp1,634 miliar atau Rp 21,242 miliar per tahun. Itu sudah termasuk bayar THR sebesar sebulan gaji. Jadi masih ada sisa kotor Rp38 miliar lebih sebagai pemasukan kas daerah. Itu belum termasuk retribusi parkir kendaraan dari luar daerah yang membayar tidak pakai voucher.
Pendapatan sektor ini akan naik bersamaan dengan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor setiap tahun sekitar enam persen.
Secara teknologi sangat memungkinkan. Masyarakat juga akan mendukung karena selain uang retribusi parkir bakal kembali kepada rakyat, pengemudi dan pengendara tidak lagi jadi sasaran tembak juru parkir liar yang kian merajalela.
Kalau Pemerintah Kota Semarang punya tekad dan keberanian, kas daerah pasti bisa memperoleh retribusi parkir Rp38 miliar/tahun, bukan Rp3,7 miliar!
***
Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2025