Logo Header Antaranews Jateng

Mereka Jatuhkan Pilihan Presiden dengan Alasan Tersendiri

Sabtu, 5 Juli 2014 23:31 WIB
Image Print
Pasangan Capres dan Cawapres nomor urut satu, Prabowo Subianto (kedua kiri) dan Hatta Rajasa (kiri) beserta pasangan Capres dan Cawapres nomor urut dua, Joko Widodo (kedua kanan) dan Jusuf Kalla (kanan) menunjukkan hasil undian pada Rapat Pleno Terbu


Pemanfaatan masa kampanye untuk mengabarkan visi, misi, program kerja, dan rekam jejak para kandidat presiden dan wakil presiden kepada rakyat seantero Nusantara, boleh jadi telah tertanam kepada calon pemilih melalui tahapan itu yang sempat diwarnai kentalnya kampanye sesat.

Pemilu Presiden 9 Juli 2014 diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan nomor urut 1 dan Joko Widodo-Jusuf Kalla nomor urut 2. Pihak penyelenggara pemilu di seluruh jenjang terus melanjutkan persiapan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dalam mengikuti pesta demokrasi di berbagai tempat.

Koordinator Divisi Pelanggaran dan Penanganan Sengketa Pemilu Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Magelang Hendy Setiyo Nugroho mengharapkan pemilu presiden di daerah setempat berjalan dengan lancar, tertib, dan aman, sedangkan masyarakat bisa memberikan suaranya dalam suasana yang kondusif di berbagai tempat pemungutan suara.

"Kita semua tentunya mengharapkan pesta demokrasi mendapat sambutan masyarakat dengan pilihan yang benar-benar sesuai hati nurani, pemilihan berjalan lancar, tertib, dan aman, para pemilih mencermati visi, misi, dan program sehingga bisa menjadi pemilih yang rasional. Tim kampanye dan masa pendukung juga menjaga iklim kondusif. Ikrar damai diimplementasikan, disosialisasikan kepada massa pendukung agar potensi konflik bisa dicegah," katanya.

Idealnya, memang pemilih memahami dengan baik atas visi, misi, program, dan rekam jejak para kandidat, untuk selanjutnya menjadi pijakan saat di bilik suara dan menggunakan hak politiknya melalui pencoblosan pada hari pemilihan.

Namun, soal siapa calon presiden yang dicoblos oleh pemilih, rupanya tak semuanya secara positif mendasarkan kepada visi, misi, program kerja, dan rekam jejak para kandidat.

Kepala Gereja Kevikepan Kedu Romo F.X. Krisno Handoyo terlihat tersenyum-senyum ketika seorang tamu yang ditemui di teras pastorannya di tengah Kota Magelang, Sabtu (5/7) pagi itu, menuturkan pengakuan nyata dua orang di kawasan Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terkait dengan pilihan masing-masing pada pilpres mendatang.

Dua orang yang tinggal berbeda dusun di kawasan gunung berapi itu, punya alasan sendiri-sendiri atas pilihan terhadap kandidat, yang terkesan tak mendasarkan kepada visi, misi, program kerja, dan rekam jejak para calon. Barangkali, pengakuan mereka hanyalah sedikit contoh sederhana untuk banyak pemilh lainnya yang akan menjatuhkan hak suaranya kepada salah satu capres.

Seorang warga yang tinggal sekitar 10 kilometer barat daya puncak Gunung Merapi di Desa Sewukan, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, bernama Suyatno mengaku tidak pernah menyimak soal visi, misi, program kerja, dan rekam jejak pasangan kandidat.

Informasi yang diketahui oleh lelaki berusia 39 tahun itu, tentang pasangan calon, sebatas dari perbincangan dengan tetangga dan rekan-rekan sepekerjaan sebagai buruh bangunan di kawasan setempat.

Suyatno yang akrab dipanggil kawan-kawannya dengan sebutan Ompong karena satu giginya sudah tanggal itu, di rumahnya tidak ada televisi atau pun radio. Apalagi berlangganan media massa dan berselancar di dunia maya yang hiruk pikuk mengabarkan kampanye pemilu presiden, hal itu tidak menjadi bagian dunia kehidupannya sehari-hari.

Suatu kali, raut mukanya sempat terkesan tegang dan memerah ketika seorang kawannya tiba-tiba menyebut secara spontan tentang capres yang didukungnya.

"'Ora iso! Arep kuwalat karo bapakku po? (Tidak bisa! Apa aku harus kualat dengan bapakku? red.)," kata suami Lestari (30) dengan satu anak putri berumur lima tahun dari pernikahan mereka itu.

Di tembok dekat balai-balai ruang tamu rumahnya yang sederhana, terpasang "banner" pasangan Jokowi-JK. Sejumlah "banner" dan spanduk pemberian kawannya telah dipasangnya di tepi jalan, menambah jumlah alat peraga kampanye pasangan itu yang sudah ada di dusun setempat. Sejumlah alat peraga kampanye untuk pasangan Prabowo-Hatta, meskipun lebih sedikit jumlahnya, juga mewarnai dusun dengan mayoritas warga bekerja sehar-hari sebagai petani sayuran itu.

"Bapakku kordes (koordinator desa) sampai meninggal. Bapakku 'wanti-wanti' (berpesan) anaknya tetap di PDIP," katanya dengan nada terkesan bangga. Bapaknya yang meninggal dunia pada 2001 dalam usia 58 tahun itu, bernama Prapto Suyitno, menjabat kordes pada 1974 hingga 2001, sejak partai itu masih bernama PDI hingga berubah menjadi PDI Perjuangan.

Ia mengaku simpatisan pendukung Jokowi-JK, tetapi sama sekali tidak pernah mau diajak ikut ramai-ramai kampanye untuk kandidat itu, biarpun hanya di tempat yang tidak jauh dari desanya. Dia juga memastikan diri tak memilih kandidat selain Jokowi-JK, meskipun tidak pernah juga mengetahui visi, misi, program kerja, dan rekam jejak para pasangan calon.

"'Wis seneng dhisik, merga PDIP ono nang ndesoku, merga bapakku. (Sudah kebacut senang karena PDIP lahir di desa ini, karena peran bapakku, red.)," katanya.

Tim pemenangan Prabowo-Hatta, katanya, juga tidak pernah ada yang datang untuk mengajaknya mendukung pasangan nomor urut 1 itu.

"Saya juga tidak suruh orang lain ikut saya. Saya hanya senang, pasang spanduk dan 'banner' Jokowi-Hatta di dusun saya sendiri, ada PDIP-nya. Kalau kalah lumrah, kalau menang biasa," katanya.

Lain lagi pengakuan Parno (40), seorang warga yang tinggal sekitar delapan kilometer barat daya puncak Gunung Merapi di Dusun Gemer, Desa Ngargomulyo, cukup jauh dari Desa Sewukan tempat tinggal Ompong, meskipun masih sama-sama Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.

Pilihan politik Parno yang seakan tidak bisa diganggu-gugat lagi kepada pasangan Prabowo-Hatta, meskipun hampir semua warga di dusun setempat diketahuinya akan memberikan suara kepada Jokowi-JK.

"'Kenceng' (Kukuh pilihan kepada Prabowo-Hatta, red.)," katanya bernada tegas.

Namun, lelaki yang akrab dipanggil tetangganya dengan sebutan Sibang dan setiap hari bekerja sebagai petani sayuran, peternak beberapa ekor sapi, dan pengembang teknologi pertanian organik itu, juga tak pernah mau diajak-ajak oleh tim pemenangan Prabowo-Hatta untuk ikut ramai-ramai berkampanye ataupun memasang alat peraga kampanye di dusunnya.

Tempat di tepi jalan depan rumahnya yang juga untuk membuka warung sembako itu, malah terpasang "banner" pasangan Jokowi-JK. Sibang yang suami Sutari (37) dan bapak dua putri dari perkawinan mereka itu pun tidak mempermasalahkan. Dusun itu juga tak terlihat terpasang alat peraga kampanye pasangan Prabowo-Hatta.

Hubungan Sibang setiap hari dengan para tetangga juga terjalin lumrah, seperti hari-hari biasa. Bahkan beberapa tetangga akrabnya hampir setiap hari tetap datang ke rumahnya untuk membincangkan perkembangan tanaman sayuran, sambil meneguk secangkir kopi dan menikmati camilan.

"Lucunya, kawan-kawan 'tepa selira' (berbela rasa, red). Kalau tiba-tiba pembicaraan pertanian beralih mengarah ke capres saya, semua memalingkan wajah ke saya. Dan kami tertawa-tawa. Saya bilang kepada mereka, akan menarik lagi kalau nanti saat pemilihan, di TPS dusun ini hanya satu suara untuk nomor 1. Itu pasti suara saya. Kalau dua suara, pasti dengan istri saya. Tapi saya juga tidak ajak istri untuk mengikuti pilihan saya," katanya.

Ia mengaku memutuskan akan memilih pasangan Prabowo-Hatta pada pilpres mendatang karena pada awal 2000-an pernah hadir dalam pertemuan Himpunan Kelompok Tani dan Nelayan Indonesia (HKTI) di Kaliurang, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Waktu itu, dia melihat langsung gestur Prabowo saat berpidato tentang pertanian yang ternyata sama dengan setiap kampanye pilpres saat ini, sebagaimana disimak melalui siaran televisi di rumahnya. Kala itu, Prabowo menjabat ketua HKTI, sedangkan Sibang diajak pimpinan HKTI desa setempat menghadiri pertemuan tersebut. Beberapa tahun kemudian, kegiatan serupa dengan tempat di salah satu daerah di Jawa Barat juga diikuti Sibang. Ia pun melihat langsung lagi Prabowo berpidato.

"Dari televisi, saya tahu ada visi, misi capres, ada kampanye hitam dan macam-macam juga. Tapi saya tidak mau terjebak di situ. Saya juga tidak pernah menjawab alasan memilih Prabowo. Kalau saya jawab pertanyaan kawan-kawan, akan muncul daya tolak. Malah tidak baik untuk sehari-hari. Semua sahabat saya," katanya.

Ihwal yang juga kukuh dipahami Sibang, bahwa siapa pun yang bakal menang pemilihan dan kemudian menjabat presiden mendatang, dia harus tunduk kepada undang-undang.

"'Nek dadi yo melu seneng, nek kalah, ora popo. Tetep ngarit, tetep macul, tetep nandur' (Kalau jadi ya senang, kalau kalah tidak apa-apa. Saya tetap merumput, mencangkul, dan menanam sayuran, red.)," katanya.

Logika elitis yang digembar-gemborkan melalui bising kampanye pilpres, terkadang tidak sinkron di mata orang-orang seperti Ompong dan Sibang dengan kesederhanaan hidup sehari-hari di kampungnya. Namun, dengan logika masing-masing, mereka hadir secara orisinil dalam pesta demokrasi.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025