Logo Header Antaranews Jateng

'Ngaji Bareng Cak Nun' Cari Perbawa Borobudur

Selasa, 15 Juli 2014 16:54 WIB
Image Print
Kyai Mbeling Cak Nun atau Emha Ainun Najib menyampaikan tausiah pada acara Ngaji Bareng Cak Nun dalam rangka HUT PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko ke-34 di lapangan parkir Candi Borobudur, Magelang, Jateng, Senin (14/7). ANTAR


Masyarakat sekitar Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, berdatangan ke tempat itu, lalu duduk di kursi di bawah "teratak tenda" yang telah disiapkan panitia Hari Ulang Tahun Ke-34 PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko.

Tamu perempuan duduk di kursi deretan kiri, sedangkan laki-laki di deretan kanan. Mereka terdiri atas kalangan orang tua, pemuda, anak-anak, termasuk para petinggi pemerintah setempat di tingkat kecamatan dan desa-desa sekitar Candi Borobudur, kalangan alim ulama, dan kiai.

Di pintu masuk tempat itu, sejumlah petugas dengan ramah menyalami dan sekaligus membagikan tas plastik warna putih berisi menu buka puasa dalam kemasan kardus kepada setiap orang yang datang untuk mengikuti "Ngaji Bareng Cak Nun".

Direktur Utama PT TWCBPRB Lailly Prihatiningyas dan Direktur Operasional Retno Hardiasiwi sesekali beranjak dari tempat duduknya di deret terdepan, untuk menyalami para tamu yang berdatangan.

Seremoni berlangsung cekak di bawah pengatur acara yang juga pegawai senior unit TWCB Sumardi. Hanya dua orang yang berpidato, yakni oleh Camat Borobudur Nanda Cahyadi dan dirut salah satu perusahaan berstatus Badan Usaha Milik Negara itu, Tyas.

Masing-masing seakan berlomba untuk siapa di antara keduanya yang paling singkat berpidato pada acara tersebut. Camat Nanda pidato lima menit, sedangkan Dirut Tyas seolah-olah tidak mau kalah dengan menyatakan hanya pidato satu menit. Dengan saksama masyarakat sekitar Candi Borobudur menyimak pidato kedua orang itu.

"Dengan ulang tahun ini (PT TWCBPRB, red.), semoga makin memberi makna kepada warga Borobudur ke depan, terhadap pelaku wisata sebagai andalan wisata Jawa Tengah dan Indonesia," kata Camat Borobudur Nanda Cahyadi.

Ia mengharapkan perusahaan itu makin berperan lebih baik, terutama untuk kesejahteraan masyarakat di daerah wisata Borobudur.

Masyarakat setempat diharapkan makin mampu menikmati dampak ekonomi atas pengembangan kepariwisataan Borobudur, candi Buddha terbesar di dunia yang dibangun dari tatanan sekitar dua juta batu andesit pada abad ke-8 Masehi, zaman pemerintahan Dinasti Syailendra.
"Taman Wisata meningkatkan kerja sama untuk pemberdayaan masyarakat. Makin erat hubungan Taman dengan masyarakat dan desa-desa di Borobudur," katanya.

Setelah menyatakan butuh waktu satu menit untuk berpidato, Tyas yang dirut berusia 28 tahun sebagai termuda di perusahaan BUMN itu, menyapa para alim ulama, sesepuh masyarakat Borobudur, jajaran musyawarah pimpinan kecamatan setempat, dan para karyawan perusahaan itu.

"Terima kasih kesediaan untuk datang 'ngaji' bersama Cak Nun. Semoga TWCB makin memberi kesejahteraan, kontribusi kepada masyarakat. Semoga harapan dan doa-doa bisa dikabulkan oleh Tuhan. Kita butuh upaya bersama, kami bagian dari masyarakat. Ini 'monggo' (silakan, red.) bentuk kebersamaan, semoga hubungan baik terus terjaga," katanya.

Masyarakat, khususnya para tokoh, sesepuh, dan pelaku wisata Candi Borobudur, kiranya bisa menangkap harapan sinergi lebih baik pada masa mendatang, yang disampaikan Dirut Tyas dalam pidatonya semenit itu.

Mereka kiranya mengetahui dengan baik berbagai persoalan dan dinamika kepariwisataan, serta relasi sehari-hari antarwarga dan antara masyarakat dengan pengelola Borobudur untuk kepentingan pariwisata dan konservasi yang harus seirama itu karena candi yang juga warisan peradaban dunia tersebut harus dijaga kelestariannya.

"Kita semua menjaga Borobudur ini, menjadi kekayaan bersama, demi kemaslahatan bersama. 'Ngaji' bersama Cak Nun pada bulan penuh berkah ini menjadi berkah pembelajaran," katanya.

Berangsek
Puluhan orang meninggalkan tempat duduknya untuk berangsek maju, berdiri di samping kiri dan kanan deretan kursi depan yang telah diduduki mereka lainnya, saat "Ngaji Bareng Cak Nun", begitu Emha Ainun Najib (Cak Nun) bersama istrinya, Novia Kolopaking, naik panggung musik Kyai Kanjeng.

Mereka ingin melihat langsung Cak Nun dari tempat lebih dekat sambil menyimak budayawan itu menyampaikan pengajian menjelang buka puasa Ramadan 1435 Hijriah, Senin (14/7) sore itu. Cak Nun dikenal dengan tipikal berbicara lugas, bernas, "blak-blakan" (terbuka) dengan gojekannya, dan elaborasi pesan kemasyarakatan.

Sejumlah tembang, terutama bernuansa Islami oleh Kyai Kanjeng menjadi jeda pengajian Cak Nun, antara lain berisi pesan tentang keluarga, kunci surga, lagu berjudul "Tamba Ati" berbagai versi, dan "Ilir-Ilir".

Ihwal isi pengajian tidak hanya menyangkut ajaran-ajaran keislaman yang disampaikan oleh Cak Nun kepada warga sekitar Candi Borobudur. Akan tetapi, pada kesempatan itu, seakan ia ingin mengkritisi tentang tanggung jawab masyarakat setempat dan pengelola Candi Borobudur saat ini, atas bangunan warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang kental berwajah peninggalan zaman Buddha tersebut.

Mayoritas masyarakat sekitar Candi Borobudur saat ini adalah pemeluk Islam dengan kehidupan sehari-hari, terutama mengandalkan denyut nadi kepariwisataan setempat yang dikelola oleh PT TWCBPRB. Setahun sekali, pemeluk Buddha dalam rombongan besar dan secara massal berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri, datang ke Candi Borobudur untuk merayakan hari besar keagamaan mereka, Waisak.

"Saya sedang mencari-cari, Borobudur itu yang dicari apanya. Batu besarnya atau yang bagus-bagus itu, turisnya yang datang. Borobudur yang dihargai itu apanya, harganya berapa. Borobudur itu nilainya seberapa," kata Can Nun dengan nada bertanya dalam bahasa Jawa bercampur bahasa Indonesia saat membuka pengajian itu.

Ia pun mengelaborasi makna tiga tataran ajaran nilai universal yang terpatri menjadi bangunan batu berundak Candi Borobudur. Tiga tataran nilai di Candi Borobudur yang meliputi tingkatan kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu tersebut, menjadi pijakannya untuk berbicara bahwa hakikat atas segala sesuatu sebagai ihwal yang tak kelihatan.

Buku "Kearsitekturan Candi Borobudur" yang diterbitkan kerja sama Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Balai Konservasi Peninggalan Borobudur pada 2011, menyebut tentang tiga tataran nilai dari tatanan batu berundak Candi Borobudur.

Kamadhatu (kaki candi) sebagai tataran terendah dari kosmologi Buddha, menjadi simbol dunia hasrat, rupadhatu (badan candi) mewakili dunia antara, simbol unsur tak berwujud yang menggambarkan perilaku manusia yang mulai meninggalkan keinginan duniawi, tetapi masih terikat dengan dunia nyata, sedangkan arupadhatu (kepala candi) simbol unsur tak berwujud dan tanda dari tingkatan telah meninggalkan nafsu duniawi atau lambang kesempurnaan abadi.

"Sing penting sampeyan kabeh mlebu swargo (Yang penting anda semua masuk surga, red.)," katanya.

Seakan Cak Nun ingin mengajak masyarakat setempat selalu memberikan perhatian secara istimewa terhadap Candi Borobudur yang penuh khazanah nilai kehidupan universal itu. Disebutnya Borobudur sebagai bernilai penting, antara lain karena menyimpan sejarah peradaban manusia, Candi Borobudur yang filosofis, dan menjadi kekuatan batin.

Candi Borobudur itu, katanya dengan nada mantap, pamor Indonesia. Ia menganalogikan nilai keris yang terletak pada pamornya, demikian pula Candi Borobudur sebagai pusaka karena pamornya sehingga beperbawa.

"Borobudur itu pamornya Indonesia. Ini punya kekuatan batin. Itu bukan sekadar batu. Mari kita hormati Borobudur sebagai pusaka, bukan klenik. Borobudur kita hormati tidak hanya pariwisata. Pariwisata itu hanya efek. Pemerintah juga belum paham, maka diletakkan menjadi pariwisata," katanya.

Siapa pun perlu menganggap penting mempelajari Candi Borobudur sebagai pusaka Indonesia yang berpamor dan beperbawa. Pemahaman tentang perbawa Candi Borobudur hendaknya terus-menerus disebarluaskan agar warisan peradaban dunia itu, tetap menjadi tempat perekat umat manusia yang berbeda-beda.

"'Ora barang dodolan' (Borobudur bukan barang dagangan, red.), tetapi kekuatan batin yang memberi berkah, orang bisa berkumpul. Agar Borobudur lebih banyak yang datang, kita usahakan Borobudur menjadi pusaka," katanya.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024