Logo Header Antaranews Jateng

Warga Dusun pun Diuntungkan Festival Lima Gunung

Senin, 25 Agustus 2014 01:06 WIB
Image Print
Beberapa warga Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang memainkan sejumlah alat musik gamelan di arena gerai kuliner Festival Lima Gunung XIII/2014 di kawasan Gunung Merbabu, Sabtu (23/8). (Hari Atmoko/dokumen).

Ia kemudian hilir mudik keluar masuk rumah untuk menyiapkan berbagai perlengkapan berjualan aneka makanan di tempat itu.

Para perempuan lain juga demikian. Di gerai paling ujung di bawah tenda panjang tersebut, sejumlah ibu sambil mengobrol sibuk memasak berbagai sayuran desa, menu kuliner, untuk melayani pengunjung festival.

Pada Minggu (24/8) itu, di kawasan Gunung Merbabu memang masih pagi. Itulah hari kedua penyelenggaraan Festival Lima Gunung di Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, 23-24 Agustus 2014.

"Yang kemarin (23/8) habis. (Maksudnya semua jualannya habis dibeli pengunjung)," kata Sigit yang setiap hari menjual bakso di teras rumahnya.

Halaman rumahnya pada 2002 menjadi panggung utama pementasan berbagai kesenian rakyat saat Festival Lima Gunung I yang diselenggarakan oleh seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung, meliputi Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh di Kabupaten Magelang.

Festival tahunan pada 2014 bertempat lagi di dusun setempat, dengan panggung dibangun berinstalasi bahan lama alam dan sorotan lampu, di satu pekarangan di bawah pohon cengkih.

Sedikitnya 31 pementasan tari, musik, dan performa dalam festival yang diselenggarakan secara mandiri tersebut. Para penyaji berasal dari berbagai kelompok kesenian Komunitas Lima Gunung dan berbagai kota, seperti Solo, Yogyakarta, Jakarta, Kediri, Malang, dan Surabaya.

Sekelompok pelukis kawasan Candi Borobudur di Kabupaten Magelang juga melakukan demo melukis dan pameran karya mereka di dusun setempat.

Pada hari pertama festival, hadir antara lain sutradara Garin Nugroho, Direktur Borobudur Writer Festival Yoke Darmawan, budayawan Borobudur Ariswara Sutama, dan penari dari Jepang Kaori Okado. Puluhan penghobi fotografi berasal dari berbagai kota juga memanfaatkan festival untuk melakukan pemotretan.

Pada puncak festival, Minggu (24/8) juga ditandai dengan kirab seniman, ritual dusun, pemukulan gong oleh para tokoh Komunitas Lima Gunung, peluncuran buku "Sanak Kadang", dan orasi budaya.

Pada kesempatan itu, Sigit tidak bersedia menyebut modal khusus untuk menjual berbagai makanan bertepatan dengan Festival Lima Gunung XIII.

Dia juga terkesan enggan secara gamblang menyebut keuntungan penjualan pada hari pertama festival.

"Kalau hari biasa, saya jual bakso untuk anak-anak yang membeli seharga Rp3.000 dan kalau orang dewasa Rp5.000. Tetapi untuk festival ini saya pasang harga Rp5.000 untuk semua. Laris," katanya.

Tidak Hanya Menonton
Makanan lain yang dijualnya adalah ketupat tahu seharga Rp7.000 per porsi, teh, kopi, dan aneka jus, masing-masing Rp2.000 per gelas, sedangkan berbagai makanan atau camilan yang biasanya disukai anak-anak seharga Rp500 per bungkus. "Habis juga," katanya.

Seorang warga lainnya, Johar Nurmala (40), juga memanfaatkan gerai festival untuk berjualan tahu susur dan tempe goreng dengan harga masing-masing Rp500, serta aneka juise buah seharga Rp2.000 per gelas.

"Ini sudah kulakan juga untuk jualan hari ini. Yang kemarin (23/8) empat potong tempe ukuran besar dan 100 tahu, ludes," katanya.

Sejumlah warga lainnya, Tumirah menjual nasi jagung dengan urap dan ikan asin seharga Rp5.000 per porsi, Nurhayati menjual soto seharga Rp5.000 plus gorengan tahu atau tempe dan segelas minuman, sedangkan Wahyu yang setiap hari bekerja serabutan secara spontan di depan rumahnya menjual jagung bakar seharga Rp3.000 per buah.

"Lumayan bisa berjualan dengan hasil yang lebih baik karena dusun kami menjadi tempat Festival Lima Gunung tahun ini," kata Nurmala, perempuan berjilbab pagi itu.

Para tamu pengunjung festival, baik yang menginap maupun tidak menginap di rumah-rumah warga setempat, memanfaatkan berbagai gerai kuliner itu untuk menikmati sajian makan yang mereka jual dengan harga relatif murah itu.

Para ibu anggota dari beberapa kelompok Dasa Wisma Dusun Warangan juga menyediakan makanan dengan menu nasi rames dengan lauk lele goreng atau telur, khusus untuk berbagai kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung yang akan mementaskan kesenian tradisional dan kontemporer desa, masing-masing dengan harga Rp7.000 per porsi plus minum.

Untuk penanganan parkir sepeda motor dan mobil pengunjung, warga setempat memercayakan kepada para pemuda tetangga dari Dusun Teyang, Desa Muneng Warangan, dengan kesepakatan bagi hasil dengan panitia lokal di Warangan. Tarif parkir sepeda motor Rp3.000 dan mobil Rp5.000 per kendaraan.

Beberapa orang lainnya yang umumnya sebagai pedagang keliling, juga memanfaatkan Festival Lima Gunung untuk menggelar dagangan mereka, seperti pakaian, aneka mainan anak, makanan dan minuman.

Sejumlah warga setempat, masing-masing Sukir, Sudi, Jumo, dan Marno, masing-masing memainkan demung, saron, kendang, dan gambang, mengiring pengunjung festival yang memanfaatkan gerai kuliner warga setempat.

Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto mengatakan meskipun secara mandiri, tanpa donatur dan sponsor, festival tersebut dirancang khusus untuk menyadarkan pentingnya warga dusun yang menjadi lokasi penyelenggaraan kegiatan seni budaya itu, bisa memanfaatkan momentum untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi juga.

"Jadi bukan hanya mementaskan kesenian dari berbagai tempat dan kota, tidak hanya menonton pementasan, tetapi juga warga bisa berjualan makanan dan minuman, serta produk desanya," katanya.

Ia menyebut festival yang dimaksudkan untuk silaturahim tahunan para seniman petani Komunitas Lima Gunung dengan berbagai jejaringnya itu, membawa kegembiraan siapa pun yang hadir, termasuk masyarakat dusun yang menjadi lokasi festival.

"Kegembiraan melalui silaturahim dalam bentuk festival ini, bukan hanya karena mementaskan kesenian dan menyaksikan pementasan, tetapi juga membawa keuntungan warga dusun dari jualan mereka," katanya.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025