Kumpulan Balada "Sang" untuk Sajian Pelajar
Sabtu, 30 Agustus 2014 12:18 WIB
Ketika peluncuran buku "Sang", di panggung terbuka di kompleks gedung Dewan Kesenian Kota Magelang, Jawa Tengah, sang siswi bernama Putri Vira Maharani itu, menyampaikan pujian tersebut.
Hadir pada kesempatan itu, antara lain kalangan pelajar, guru, dan beberapa kepala sekolah berasal dari sejumlah sekolah di kota setempat, Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang Susilo Anggoro, Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Supadi Haryanto, para pegiat seni, dan penikmat sastra di daerah setempat.
"Saya sudah baca sekilas buku ini. Saya bangga jadi murid Bu Wicah," kata siswi kelas IX SMP Kristen Kota Magelang itu.
Wicahyanti Rejeki (39), lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta pada 2001, didukung para pegiat Dewan Kesenian Kota Magelang, Jumat (29/8) malam, meluncurkan kumpulan karya balada menjadi buku "Sang".
Pada peluncuran buku itu juga disemarakkan, antara lain pementasan lagu-lagu perjuangan oleh sejumlah grup pelajar kota setempat, pembacaan puisi dan pemusikan puisi, monolog, pentas wayang golek kontemporer, dan pemutaran film dokumenter tentang perjuangan.
Kesadaran terkait krisis keteladanan figur atau tokoh di kalangan pelajar, rupanya menghinggapi sang penulis buku "Sang" yang kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat dan juga pegiat Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang.
Wicahyanti yang juga Koordinator Divisi Sastra Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMP Kota Magelang itu, menyebut balada mempunyai wilayah yang luas untuk bercerita.
Sedangkan judul "Sang" untuk buku kedelapan karyanya itu, katanya, merujuk kepada sosok yang memang pantas menjadi teladan kehidupan anak-anak kelak.
"Penting kiranya menghadirkan secara menarik para figur atau tokoh, supaya keteladanannya menginspirasi anak-anak, murid-murid. Maka buku ini diberi judul 'Sang'," kata Wicahyanti yang juga mengajar di SMP Negeri 4 Kota Magelang.
Buku berjudul "Sang" dengan keseluruhan tebal 111 halaman, berisi kumpulan 43 balada karya Wicahyanti selama beberapa waktu terakhir.
Dia menulis balada menjadi bagian dari keasyikan menjalani kehidupan mulia sebagai guru untuk anak-anak di kota kecil setempat. Buku tersebut diterbitkan oleh TriBEE Press Borobudur Kabupaten Magelang.
Wicahyanti membidik sejumlah sosok yang telah mendapat gelar pahlawan dan gelar kehormatan dari negara untuk menjadi balada-balada karyanya.
Mereka, antara lain Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, Soekarno, R.A. Kartini, Ki Hajar Dewantara, Adi Sucipto, Pangeran Diponegoro, Cut Meutia, B.J. Habibie, Wage Rudolf Supratman, Dokter Sutomo, Opu Daeng Risadju, Sultan Hasanuddin, dan Adam Malik.
Namun, sang guru yang juga penyair itu juga menjadikan baladanya bersumberkan inspirasi dari nilai-nilai kebaikan yang bisa digali dari beraneka pekerjaan, seperti pelukis, pramugari, penyelam, masinis, petani, nelayan, tukang pos, guru, wartawan, pesinden, penyair, bidan, penjaga palang rel kereta, pemadam kebakaran, dalang, penari, penggali sumur, pencari rumput, tukang sampah, pengasuh anak, penyanyi, penjaja, kusir, dan tenaga kerja Indonesia.
"Cara bercerita tentang sosok pahlawan selama ini sudah menjadi tidak menarik lagi. Melalui puisi dan balada, pahlawan menjadi hidup," kata Putri yang malam itu juga mengaku gemar menulis cerita pendek.
Melalui catatan pendek yang diselipkan dalam buku "Sang", seorang pelajar Kota Magelang lainnya, Larasati Nendra Narwastu, menuliskan bahwa pesan moral tentang kepahlawanan dan perjuangan tersampaikan kepada anak-anak muda, melalui karya sastra tersebut.
"Mengajak kita untuk bisa meneruskan perjuangan para pahlawan dengan melakukan yang terbaik, apapun profesi dan status kita," katanya.
Tentang balada berjudul "Penggali Sumur" (halaman 77), misalnya. Dalam menyampaikan pesan tentang hidup yang harus optimistis, Wicahyanti antara lain menulis, "Air sumber kehidupan. Galilah sedalam impian. Lelaki dengan otot di lengan. Guratan kasar di tangan. Kesetiaan pada pilihan. Menyelami tanah menggali harapan".
Ihwal balada Ki Hajar Dewantara, di halaman 19 buku tersebut, antara lain ditorehkan tentang kepahlawanan yang menjiwai sosok pendidikan nasional itu.
"Tak ingin sandang gelar bangsawan, sebab rakyatlah hati dan jiwanya. Kepada mereka: disadarkan menimba pendidikan, karena sekolah adalah taman, tempat tumbuh bunga-bunga mewangi bangsa," demikian bait keenam dari delapan bait balada itu.
Atau tentang balada kusir untuk satu contoh lainnya. Di aliea terakhir halaman 94, Wicahyanti menulis, "Jika sepi penumpang. Tuan kusir selalu berujar, semacam doa terdengar. Tak usah risau, ya. Rezeki kita belum di tangan. Tapi pasti sudah Tuhan siapkan untuk esok dan lusa. Seperti mengerti, kuda meringkik mengiyakan".
Wicahyanti mengemukakan bahwa sastra salah satu lorong penting untuk anak-anak melakukan pembelajaran mengenai berbagai nilai kehidupan.
"'Sang' ingin bercerita secara terang-benderang tentang pahlawan atau tokoh yang telah berjasa bagi negara dan sosok yang kerap hilir mudik di sekitar kita, atau bahkan orang yang sama sekali belum pernah berjumpa," katanya.
Buku "Sang", katanya, tidak melulu mengenai hafalan tanggal dan tempat, tetapi lebih menekankan kepada suatu keinginan supaya pembaca dapat menyelami perjalanan hidup mereka.
"Selain untuk memberikan kontribusi yang berpengaruh bagi penguatan karakter siswa, juga tentunya menambah deretan bahan penunjang pembelajaran bagi guru di dalam kelas," katanya.
Koordinator Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kota Magelang Parjopo mengapresiasi penulis karena telah mengelola secara inspiratif atas kegelisahan jiwa pendidik dan kesasteraannya menjadi kumpulan balada berbentuk buku berjudul "Sang".
"Kami bangga dengan terbitnya buku ini," katanya.
Latar belakang terbitnya buku itu, adalah kegelisahan sang penulis yang juga guru tersebut, atas minimnya buku sastra untuk kalangan pelajar.
"Buku ini menjawab kegelisahan lama. Semoga muncul karya-karya lainnya, karena pembelajaran puisi tidak hanya teori, tetapi juga berkarya," katanya.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025