Logo Header Antaranews Jateng

Serba Putih dari Lima Gunung untuk Jokowi

Senin, 22 September 2014 17:11 WIB
Image Print
Pementasan karya kontemporer desa oleh Komunitas Lima Gunung dengan judul "Lakon Lakuning Laku" di panggung terbuka Studio Mendut Kabupaten Magelang, Minggu (21/9) malam. (Hari Atmoko/dokumen).

Pementasan kesenian kontemporer desa oleh seniman petani Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, meliputi performa gerak, musik, dan tembang, serta ritual doa itu, berjudul "Lakon Lakuning Laku".

Judul karya tersebut dinyatakan sebagai rumusan spontan dilambari doa dan hasil kontak personal antara budayawan Bre Redana dengan pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut.

Karya tersebut dipentaskan di panggung alam beralas tanah "Studio Mendut" Kabupaten Magelang, Minggu (21/9) malam. Studio Mendut yang relatif dekat dengan Candi Mendut, adalah pusat aktivitas seni dan budaya komunitas seniman petani tersebut.

Bre yang juga penulis kebudayaan dan Ketua Pengurus Dewan Pelatih Persatuan Gerak Badan Bangau Putih berpusat di Bogor, hadir dan menyampaikan pidato berisi runutan pementasan "Lakon Lakuning Laku".

Seniman lainnya yang hadir untuk menyaksikan pementasan dalam agenda rutin kebudayaan Komunitas Lima Gunung bernama "Selikuran" itu, antara lain mantan Menteri Dalam Negeri dan mantan Gubernur Jateng Mardiyanto beserta isteri.

Mereka duduk berdampingan dengan Direktur Utama Bank Jateng yang juga pemusik tiup Supriyanto (Nano Tirto). Ada pula, aktris drama dari Teater Koma Sari Sabda Bhakti Madjid (Sari Madjid), etnomusikolog
lulusan San Diego State University, California, Amerika Serikat, Rizaldi Siagian.

Selain itu, budayawan yang juga pengajar Program Pascasarjana Religi Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Romo Budi Subanar, pengajar Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Johan Salim, pengajar ISI Surakarta Joko Aswoyo, pengamat seni dan budaya yang juga Indonesianis dari Australia Jennifer Lindsay.

Selain itu, penyair Magelang Wicahyanti Rejeki, seniman musikalisasi puisi Munir Syalala, pelukis dan pemilik Pawon Art Space kawasan Candi Borobudur Cipto Purnomo, pelukis Mendut Darmanto Andreas, pelukis Borobudur Hatmojo, pegiat komunitas Warung Info Jagat Cleguk Muhammad Dimyati, pegiat Forum Komunikasi Media Tradisional Kabupaten Magelang Amat Sukandar, mantan Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang Condro Bawono, dan para pegiat Komunitas Lima Gunung lainnya.

Dalam pidato pengantar malam itu, Sutanto menyilakan penonton memaknai secara bebas karya "Lakon Lakuning Laku" berdurasi sekitar 20 menit tersebut.

Para pemain dan penabuh alat musik berjumlah sekitar 30 orang mengenakan kostum, termasuk topeng kayu, caping, surban, jilbab, kain ikat kepala, serba warna putih. Warna putih juga membalut alat musik pengiring pementasan itu, antara lain truntung, bende, gong, jedor, dan kendang.

Instalasi panggung terbuka juga serba warna putih. Kain putih ukuran besar dibentangkan menjadi instalasi latar belakang panggung pementasan. Sejumlah instalasi warna putih lainnya, berupa rakitan bambu yang ditempatkan di lima titik di panggung beralas tanah dengan berserakan daun kering bambu.

Di setiap rakitan bambu itu, ditambatkan aneka perlengkapan kerja sehari-hari petani dan warga dusun, seperti tampah, kereneng, keranjang, siwur, tenggok. Barang-barang khas alat kerja warga pedesaan itu pun, juga berwarna putih.

Karya kontemporer desa dalam bentuk tujuh sajian "medley" (urut-urutan) tarian, tembang, dan musik itu, meliputi kipas mega, geculan bocah, gupolo gunung, soreng, tembang truntung cangkem, musik truntungan, dan tembang sunmiwiti.

Pembuka sajian, berupa pentas ritual doa oleh tiga pemuka Komunitas Lima Gunung, yakni Sucipto, Supadi Haryanto, dan Pangadi. Masing-masing mengenakan kain penutup badan dan surban warna putih, serta memegang tungku dari tanah liat ukuran kecil berwarna putih.

Dalam ritual itu, selain menaburkan kembang mawar warna putih, mereka membakar dupa di tungku masing-masing. Asapnya yang berwarna putih mengepul mewarnai panggung pementasan.

Ungkapan doa, pembacaan mantra, dan lantunan tembang berbahasa Jawa yang mereka ulukkan, intinya memohon keselamatan dan rida dari Tuhan atas perjalanan hidup bersama, serta untuk kelestarian alam ciptaan Tuhan.

Pembawa acara pementasan malam itu yang juga dalang muda dari Komunitas Lima Gunung Sih Agung Prasetyo meminta tujuh tokoh penting yang hadir, untuk berpidato secara bergantian.

"Mengapa tujuh? Dalam bahasa Jawa, tujuh itu 'pitu' maknanya juga ada tujuh, 'pitulungan' (pertolongan) 'pitudhuh' (petunjuk), 'pituhu' (patuh), 'pitutur' (pelajaran kebaikan), 'pitulus' (penerus), 'pituwah' (nasihat), dan 'pituwas' (ganjaran)," katanya.

Tapi, kata Sih yang juga guru sekolah swasta di Kota Magelang itu, "piutang" tidak masuk dalam pemaknaan bebas atas kata "pitu". Penonton pun tertawa merespons pelesetan kata yang dimainkan sang pembawa acara.

Mardiyanto yang didaulat menjadi salah satu yang berpidato, selain mengapresiasi pertunjukan juga mengaku sudah tak terhitung lagi dirinya singgah di Studio Mendut untuk berbicara panjang lebar tentang apa saja dengan Presiden Lima Gunung itu. Ia juga menyebut, "Mas Tanto 'suhu' (guru, red.) saya".

Selain menyilakan secara bebas atas pemaknaan pergelaran malam itu, Sutanto yang didaulat berpidato pertama juga mengatakan tentang sampah virtual dan digital yang mewarnai kehidupan manusia.

Ia juga menyebut maraknya sampah kata-kata dan produksi gambar terpajang kepada publik, termasuk di media sosial, yang tidak setara dengan realitas.

Berbagai pementasan kesenian yang juga dilakoni komunitasnya selama belasan tahun terakhir, katanya, menonjolkan pula tentang kekuatan warna-warna, baik dalam kostum, ritme iringan, dan aneka latar belakang pemainnya yang tidak harus berlabel seniman.

Hal itu pula, katanya, yang kemungkinan menjadi daya pikat lensa kamera dan tinta penulis, menjadi makin marak dunia digital dan jagat kata-kata.

"Tiba-tiba kami ingin menyajikan refleksi tentang 'putih', bukan semu. Wajar kalau desa memiliki kekayaan budaya dan batin tentang makna putih. Asap juga putih. Silakan bebas memaknai," katanya.

Romo Banar dalam pidatonya menjelaskan pemaknaannya tentang makna putih dalam pementasan "Lakon Lakuning Laku", sebagaimana teknik sungging wayang yang disebut "mbanyumangsi".

Dalam teknik "mbanyumangsi", katanya, penyungging melambari wayang dengan warna putih, sebelum penggunaan aneka warna lainnya.

"Putih ini baru 'blabaran', ini 'wiwitan'. (Maksudnya, serba warna putih 'Lakon Lakuning Laku' sebagai pesan pentingnya kesadaran tentang segala sesuatu yang dilambari dengan langkah awal, red.), untuk kemudian menyungging," katanya.

Komunitas Lima Gunung, kata penulis novel sejarah "Menari di Terra Incognita" itu, melalui karya tersebut rupanya juga ingin menyampaikan pesan kepada pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Presiden dan Wakil Presiden terpilih melalui pemilihan pada 9 Juli 2014 tersebut, saat ini sedang menjalani proses menuju hari pelantikan pada 20 Oktober mendatang, untuk kemudian memimpin Indonesia selama lima tahun ke depan.

Pada 15 September lalu, Jokowi-JK didampingi tim transisi pemerintahan telah mengumumkan konstruksi kabinet mendatang.

Jokowi yang bakal menjadi Presiden ketujuh Republik Indonesia itu hanya menyebut tentang keputusan pembentukan 34 kementerian yang terdiri atas 18 menteri berasal dari kalangan profesional nonpartai politik dan 16 profesional berasal dari parpol.

Belum disebut secarai detail tentang nama kementerian dan para menteri yang bakal duduk, tetapi Jokowi memastikan bahwa pembantunya di kabinet, berisi orang-orang profesional.

"Yang dikerjakan di Mendut ini 'blabaran', ini 'wiwitan'. Bukti dalam proses perjalanan pemerintahan yang baru," kata Romo Banar.


Pewarta :
Editor: M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025