Logo Header Antaranews Jateng

Rakus di Tangan Pelukis Daun Jati Borobudur

Rabu, 8 Oktober 2014 17:54 WIB
Image Print
Pelukis daun jati Candi Borobudur, Sarwoko, menjelaskan karyanya, "The Dragonfly Fantasy", di teras rumah seni "Banyu Bening The House of Painting" depan Pintu VII Taman Wisata Candi Borobudur Kabupaten Magelang, belum lama ini. (Hari Atmoko/dokumen)

Lelaki yang pada tahun 1996 termasuk generasi pertama di antara sejumlah pelukis yang tinggal di kawasan Candi Borobudur tersebut bernama Suitbertus Sarwoko (45).

Dengan berjalan terpincang-pincang, dia usung sendiri satu karya lukis di atas kanvas berlatar belakang warna putih untuk ditunjukkan kepada tamunya, siang itu.

Karya tersebut, dia bawa dari ruang pamer "Banyu Bening the House of Painting" ke teras rumah berpintu dan jendela dari kayu nangka terlihat berumur tua, tempat tinggalnya persis di depan gerbang Pintu VII Taman Wisata Candi Borobudur.

Lukisan terbaru gaya neosurealis yang belum lama diselesaikan itu, dia beri judul "The Dragonfly Fantasy". Karya lukisan itu, di atas kanvas ukuran 140 x 200 sentimeter dengan kekuatan aneka bentuk daun jati kering.

Spesialisisasi inspirasi daun jati kering atas jagat kepelukisan Woko, nama panggilan akrab Sarwoko, tidak lepas dari kehidupan masa kecil di tempat asal usulnya di kaki Candi Borobudur Dusun Ngaran Krajan, Desa Borobudur, yang ditandai dengan deretan pepohonan jati. Kala itu, masyarakat kaki Candi Borobudur menyebut kawasan dekat pekuburan dusun setempat tersebut sebagai "Jaten".

Oleh karena pemugaran Candi Borobudur pada tahun 1973--1984, orang tua Woko membawa keluarganya pindah ke tempat baru yang saat ini masuk Dusun Ngaran I, Desa Borobudur, di depan Pintu VII TWCB.

Di tempat itu pula, Woko yang lulusan Program Studi Seni Lukis, Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1995 membuka "Banyu Bening the House of Painting", tempatnya tinggal bersama istri (Ngatini), dua anak (Hochziel Herjuno Adiprasetyo dan Anggitya Devi Putri Satywati), serta tempatnya berkarya lukis.

"Bukan pesanan, untuk tabungan karya. Ini Rp30 juta, tetapi masih belum ingin saya jual. Untuk koleksi sendiri dulu sampai saya sendiri puas," katanya ketika menunjukkan kepada tamunya detail lukisan neosurealis "The Dragonfly Fantasy".

Karya terbarunya berupa goresan-goresan detail membentuk aneka daun jati kering bertebaran di atas kanvas dan kepala dinosaurus bermata merah dengan mulut menganga seakan hendak menerkam sesuatu.

Di atas kanvas itu juga dilukiskan tiga capung sedang beterbangan dengan sayap-sayapnya difantasikan menjadi wujud daun jati kering. Sapuan aneka warna cat minyak pilihannya dalam "The Dragonfly Fantasy" menjadikan lukisan itu terkesan cerah.

Hingga saat ini, dia masih mencari inspirasi tempat yang pas untuk memajang karya terbarunya di "Banyu Bening the House of Painting" di Jalan Badrawati Nomor 10 Desa Borobudur, Kabupaten Magelang itu. Karya tersebut masih disandarkan begitu saja di tembok rumah seni lukis yang dikelolanya.

Kepada tamunya, Woko menjelaskan tentang pesan khusus terkait dengan gaduh politik terkini Indonesia, yang tersampaikan melalui lukisan fantasinya.

Karyanya menyangkut relasi antara capung dan dinosaurus dalam nuansa daun jati kering yang menjadi pergulatan inspirasinya dari pohon-pohon jati di kaki Candi Borobudur.

Awal mulai melukis dengan ide politik Indonesia itu, muncul di benak Wono karena gaduh perpolitikan Indonesia, setidaknya sepanjang tahun politik 2014, sejak proses pemilu anggota legislatif hingga pemilu presiden dan wakil presiden.

Pesan atas ide karya tersebut, seolah-olah mendapat pembenaran karena diperkuat oleh gaduh politik lanjutan di Senayan Jakarta saat ini. Gaduh politik yang disuguhkan secara riil oleh para politikus dalam perebutan kursi pimpinan legislatif, baik DPR maupun MPR, disebut Woko sebagai kehendak para elite meraih kekuasaan.

Gaduh politik terkini di Senayan yang menjadi perhatian publik dalam dan luar negeri itu terkait dengan perebutan kursi kepemimpinan lembaga legislatif periode 2014--2019 untuk dua kamar, yaitu DPR dan MPR.

Media massa memberitakan gaduh politik di Jakarta itu. Stasiun televisi secara langsung menayangkan perseteruan para elite politik yang terbelah menjadi dua kubu, yakni pihak Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat. Koalisi Merah Putih menyapu bersih tampuk kursi kepemimpinan, baik di lembaga DPR maupun MPR.

Darah kesenimanan pelukis daun jati Borobudur itu seakan terseret dan mengalir begitu saja dari inspirasi karyanya selama ini yang berupa pesan lingkungan hidup, menjadi pesan politik untuk disuguhkan menjadi kisah dalam lukisan "The Dragonfly Fantasy".

"Sisi lain dari binatang purba, dinosaurus, adalah suka makan. Matanya yang bulat menjadi berwarna merah, menjadi rakus, menyerang, dan mengusik capung yang beterbangan dengan sayap daun jati. Yang besar dan kuat memangsa yang kecil, lemah, dan minoritas," katanya.

Sambil menunjukkan tentang posisi dengan detailnya atas tiga capung dalam karyanya, Woko yang peraih penghargaan Festival Kesenian Yogyakarta V (1993), FKY IX (1997) itu, bertutur tentang capung yang diketahuinya termasuk kategori binatang terbang pertama pada zaman purba.

"Capung itu terbang dengan lincah, pandai beradaptasi. Capung itu binatang selalu waspada, hidup di dekat air, jadi penanda adanya sumber air. Dia juga petarung dan kehidupannya mandiri," kata Woko yang juga meraih The Philip Morris Group of Companies Indonesian Art Awards dan Pratisara Affandi Adikarya pada tahun 1994.

Dia pun menceritakan lebih lanjut tentang pesan lukisan "The Dragonfly Fantasy", "Karena kerakusan dinosaurus, capung pun menyelamatkan diri melalui jalan transformasi. Capung mengubah sayapnya yang asli menjadi wujud daun jati untuk kamuflase dan bertahan hidup."

Melalui "The Dragonfly Fantasy", Woko yang kesehariannya berpenampilan hidup sederhana di dekat Candi Borobudur dan menjunjung tinggi komitmen ideal berkesenian sebagai pelukis, seolah-olah ingin juga berbicara politis kenegaraan melalui karyanya, karena terpantik kegaduhan politik di Ibu Kota.

Di matanya, dunia perpolitikan telah dipertontonkan oleh para elitenya menjadi sajian tentang rakus, jauh dari norma-norma keadilan, dan sekadar siasat untuk menang secara pragmatis.

"Para elitenya menyuguhkan arti kata 'lupa'. Lupa kesejatian bahwa rakyat itu ada, dan menyimak mereka yang saling menerkam dan mengalahkan. Capung menghindar dari terkaman," katanya.

Sebagian publik mungkin berkerut dahi menonton pertarungan elite politik saat berebut kursi kekuasaan.

Akan tetapi, barangkali mereka terkesima kalau mampu menyerap inspirasi politis atas lukisan daun jati Candi Borobudur, tentang kamuflase capung dan keganasan dinosaurus. Fantasi neosurealis sang pelukisnya.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025