Rembang Jadi Pertaruhan Terakhir PT Semen Indonesia
Rabu, 5 November 2014 10:47 WIB
Semen Indonesia pada 2013 memproduksi sekitar 25,6 juta ton, 14 juta ton di antaranya dihasilkan oleh anak usaha PT Semen Gresik, yang menguasai pasar di Jawa. Produksi Semen Gresik dihasilkan oleh empat unit pabrik Tuban, Jawa Timur, setelah pabrik di Gresik yang beroperasi sejak 1957 berhenti pada 2007.
Ketika pabrik Tuban hanya satu unit mesin produksi dengan kapasitas 2,7 juta ton/tahun, masa eksploitasi bahan baku di kawasan ini mencapai 130 tahun. Namun, dengan bertambahnya unit produksi menjadi empat maka usia eksploitasi pertambangan di Tuban diperkirakan tinggal 30 tahun.
"Empat unit produksi di Tuban menghasilkan 14 juta ton semen per tahun. Masa produksi semen di Tuban diperkirakan berakhir 30 tahun lagi," kata Direktur Produksi PT Semen Gresik/Senior Vice President PT Semen Indonesia, Prasetyo Utomo, di Tuban, Sabtu (1/11) kepada pekerja media Jawa Tengah.
Waktu 30 tahun bagi industri berbahan baku sumber daya alam tidaklah panjang. Sebab untuk mencari lahan penambangan, penyiapan lahan, mendirikan pabrik, hingga memulai proses produksi perlu waktu bertahun-tahun dengan ketidakpastian cukup tinggi karena berkaitan dengan isu lingkungan hidup yang kian sensitif.
Namun, sebagai perusahaan yang ingin terus tumbuh dan menjadi penguasa pangsa pasar semen nasional, Semen Indonesia tidak menyerah mencari lahan baru di tanah Jawa setelah mengurungkan niatnya membangun pabrik di Sukolilo, Kabupaten Pati, beberapa tahun lalu.
Perusahaan "go public" yang pada 2013 meraup laba sekitar Rp5,37 triliun itu menyadari bahwa tanpa diimbangi dengan ketersediaan pasokan bahan baku semen dalam jangka panjang maka itu sama saja dengan mimpi di siang bolong untuk bisa terus menguasai pangsa pasar semen nasional.
Akhirnya BUMN ini menemukan lokasi areal penambangan dan tapak untuk pabrik baru di Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Di Gunem, perusahaan pelat merah ini memperoleh lokasi yang dinilai lebih layak dan memiliki cadangan bahan baku untuk masa penambangan 100 tahun dengan asumsi volume produksi sekitar 3 juta ton semen/tahun.
Dari sisi lingkungan, menurut Sekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia, Agung Wiharto, lokasi di Rembang bisa dipertangggungjawabkan, terbukti pihaknya sudah mengantongi seluruh perizinan (35 jenis) yang diwajibkan untuk membangun pabrik semen di Rembang.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam suatu kesempatan mengakui PT Semen Indonesia sudah mengantongi semua perizinan dan tidak melanggar aturan.
Meski sudah mengantongi izin lengkap, proses pembangunan pabrik semen di Rembang tidak berjalan mulus. PT Semen Indonesia meresmikan penyiapan lahan penambangan pada Februari 2013.
Pabrik semen di Rembang diperkirakan mulai produksi pada akhir 2016 dengan kapasitas sekitar 3 juta ton semen/tahun. Produksi semen ini untuk mempertahankan posisi merek Semen Gresik sebagai penguasa di Jawa, khusus di Jatim dan Jateng.
Resistensi
PT Semen Indonesia menyadari resistensi sebagian warga masih tinggi, dibuktikan dengan unjuk rasa menolak pembangunan pabrik semen. Puncaknya, sejumlah ibu mendirikan tenda keprihatinan di sekitar lokasi lahan penambangan bahan baku semen di Desa Tegaldowo.
Warga penolak pabrik semen didukung oleh aktivis lingkungan beranggapan keberadaan pabrik semen bakal merusak lingkungan, terutama sumber air yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian.
Hasil pengamatan langsung di sekitar pabrik semen di Tuban pada awal November 2014 menunjukkan sejumlah cekungan bekas lokasi penambangan diubah menjadi embung atau waduk kecil yang menyimpan ribuan meter kubik air yang dibutuhkan petani dan warga pada musim kemarau.
Menurut warga Desa Tlogowaru, Kecamatan Merakurak, Tuban, sebelum ada embung, mereka hanya panen padi sekali setahun, tapi sejak ada embung, petani bisa panen hingga tiga kali/tahun.
"Dulu hanya sawah tadah hujan, tapi sejak ada embung petani bisa memompa air untuk mengairi sawah pada musim kemarau," kata Sancoyo, warga Tlogowaru yang ditemui usai memanen padi pada awal November 2014.
Pengalaman mengelola cekungan bekas areal penambangan menjadi embung di Tuban itu bakal diterapkan di Rembang.
Mengenai polusi, Semen Indonesia mengakui menimbulkan debu, namun pihaknya selama ini menerapkan teknologi penangkap debu canggih sehingga yang keluar jumlahnya semakin kecil.
"Debu itu bagi kami juga uang karena itu kan bubuk semen yang beterbangan," kata Harry Soebagyo, Kepala Bagian Humas dan CSR PT Semen Indonesia Tbk.
Hasil kajian ilmiah PT Semen Indonesia yang memberi jaminan bahwa usahanya di Rembang tidak akan merusak sumber air belum bisa diterima pemrotes. Mereka tetap mendesak PT Semen Indonesia membatalkan pembangunan pabrik semen.
Namun tidak semua warga menolak. Ada pula kelompok warga yang mendukung pembangunan pabrik semen di Rembang. Bahkan, September 2014 mereka menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur Jawa Tengah menyampaikan dukungan pembangunan pabrik semen.
Nilai investasi pabrik di Rembang semulai diperkirakan Rp3,717 triliun, namun dengan menguatnya dolar AS belakangan ini pembangunan pabrik ini bakal membengkak menjadi Rp4,5 triliun.
Untuk ukuran Kabupaten Rembang, nilai investasi tersebut sangat besar. Pada awal pembangunan pabrik, bakal menyerap ribuan tenaga kerja. Setelah produksi bisa mendorong perekonian daerah melalui efek berantai (multiplier effects) ekonomi dan menambah pemasukan kas daerah.
"Sedangkan bagi Semen Indonesia, pabrik di Rembang itu untuk menjaga kesinambungan pasokan karena kebutuhan semen di Jawa Tengah saat ini saja mencapai 7-8 juta ton per tahun," kata Agung Wiharto, Sekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia.
Bagi Semen Indonesia, kasus yang terjadi di Pati dengan Rembang beda. Oleh karena itu, Semen Indonesia (kala itu masih PT Semen Gresik) langsung hengkang dari Pati setelah mengetahui bahwa secara ekologis memang tidak layak ditambang.
Sedangkan di Rembang, menurut Agung Wiharto, penambangan bahan baku semen tidak akan merusak sumber mata air karena baik kedalaman maupun lokasinya jauh dari sumber air.
"Kami melibatkan para ahli, termasuk dari ITB, dengan kesimpulan penambangan tidak akan merusak sumber air," katanya ketika memberi penjelasan di Semarang beberapa waktu lalu.
"Lihatlah di Gresik. Pabrik Semen Gresik yang dibangun pada 1957, daerah sekitar pabrik sampai sekarang tetap ada air. Di Padang, pabrik Semen Padang yang dibangun pada 1910 juga tidak menimbulkan masalah. Tetap ada air," katanya.
Sebagai BUMN, Agung Wiharto menegaskan, PT Semen Indonesia tidak main-main dalam membangun pabrik semen. Artinya, kelestarian lingkungan, keselamatan, dan kesejahteraan bagi banyak orang tetap menjadi prioritas.
Bagi PT Semen Indonesia, katanya, Rembang merupakan lokasi terakhir pabrik di Jawa. Oleh karena itu, sukses atau gagal, Rembang menjadi pertaruhan terakhir PT Semen Indonesia dalam membangun pabrik baru di tanah Jawa.
Setelah di Rembang, PT Semen Indonesia akan fokus mencari lahan baru di luar Jawa, seperti di Sumatera, Kalimantan, atau di Papua.
Terpisah, Direktur Utama PT Semen Indonesia, Dwi Soetjipto, sering mengingatkan, jika produsen semen nasional tidak mampu memenuhi kebutuhan domestik maka semen impor akan masuk.
Ancaman tersebut nyata karena dengan pertumbuhan konsumsi enam persen per tahun bakal terjadi kekurangan pasokan pada tahun-tahun mendatang.
Saat ini produksi semen nasional mencapai 56 juta ton, sedangkan kebutuhan semen nasional pada 2016 mencapai 60 juta ton atau 4 juta ton harus impor bila tak ada penambahan produksi.
"Kami ingin semen produksi Indonesia tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Karena itu Semen Indonesia akan terus meningkatkan produksi," kata Dwi Soetjipto.
Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor:
Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2025