Logo Header Antaranews Jateng

Pergi ke Aruphadatu Lewat Sketsa Borobudur

Sabtu, 15 November 2014 00:53 WIB
Image Print
Budayawan dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta Romo Mudji Sutrisno memberikan keterangan kepada wartawan tentang pameran "Aruphadatu" berupa 27 sketsa Candi Borobudur, karyanya selama 2014, di Pendopo Manohara kompleks Taman Wisa

Di bagian pojok kanan bawah satu di antara 27 sketsa Borobudur yang dipamerkan oleh budayawan yang juga rohaniwan Khatolik Romo Mudji Sutrisno itu, ditulisnya dengan huruf bersambung, "garba stupa rahim para pencari 'life truth' ya para pencari 'kebenaran'".

Salah satu sketsa itu, seolah membawa siapa saja yang menyaksikan pameran untuk merefleksikan perjalanan hidup manusia yang dalam tiga tataran makna di Candi Borobudur, meliputi tingkatan kamadhatu, rupadhatu, dan aruphadatu.

Kamadhatu, tataran hidup yang masih bersumber kepada hasrat, rupadhatu tentang penghayatan situasi duniawi namun mulai menemukan pencerahan bahwa sumber derita adalah hasrat, sedangkan aruphadatu tahapan kehidupan manusia mendekati nirwana yang oleh budayawan Mohamad Sobary disebut dengan kata-kata berbahasa Jawa sebagai "awang-uwung".

"Ketika kita berbicara tentang aruphadatu, kita berada di suatu alam yang 'awang-uwung'. Dari 'awang-uwung' kembali ke alam 'awang-uwung', hampa, tidak ada siapa-siapa, kecuali adanya kekuatan yang memberi pencerahan dan kebenaran yang tidak usah dibantah lagi, karena kebenaran pada tingkat itu tidak terbantahkan," tutur Sobary.

Ia mengatakan hal itu, ketika membuka pameran sketsa Borobudur berjudul "Aruphadatu" dalam rangkaian "Borobudur Writers and Cultural Festival" (12-15 November 2014) dengan tema besar "Ratu Adil: Kekuasaan dan Pemberontakan di Nusantara", Kamis (13/11).

Festival para penulis itu diselenggarakan pada 2014 sebagai ketiga kalinya oleh Samana Foundation --lembaga nirlaba berbasis pengembangan budaya dan sejarah Nusantara-- didirikan oleh Yoke Darmawan (profesional konsultasi manajemen), Seno Joko Suyono (redaktur budaya Tempo), Dorothea Rosa Herliany (penyair), Wicaksono Adi (penulis esai seni-budaya), dan Imam Muhtarom (penulis dan editor buku).

Melalui pameran karya sketsa selama 2014 itu, Romo Mudji yang juga Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta tersebut, seakan hendak mengajak siapapun menapaki perjalanan kehidupan keimanan untuk mencapai aruphadatu.

Ia mendaku menangkap langsung roh atas Candi Borobudur untuk kemudian dituangkan dalam beragam karya sketsa yang dipamerkan pada kesempatan tersebut, tidak lepas dari peran "iCan Studio" Yogyakarta.

"Bahwa perjalanan setiap orang adalah dari tahap-tahap hidupnya, sampai tahapnya adalah aruphadatu, di posisi kita ke langit dan bersatu dengan 'manunggaling kawula Gusti'," ucap Romo Mudji yang juga mengajar filsafat dan sosiologi di Program Pascasarjana Universitas Indonesia itu.

Sambil bergeser dari posisi berdirinya menuju depan satu sketsa berjudul "Borobudur II" --berupa sketsa lanskap Candi Borobudur dengan stupa induknya--, ia menunjukkan tentang tuangan karya sketsa yang dipandang sebagai polos atas roh Borobudur.

Begitu juga kepolosan roh Borobudur terungkap dalam sketsa berjudul "Samadi Gunung", berupa garis-garis yang menunjuk Pegunungan Menoreh di selatan Candi Borobudur. Dalam alam pikiran masyarakat sekitar, punggung pegunungan itu, bagaikan Buddha tidur, namun ada lainnya membayang punggung pegunungan sebagai Gunadharma, arsitek Candi Borobudur, berbaring menikmati karyanya itu.

Di bagian pojok kanan bawah sketsa tersebut, tertulis "titik hening MU?".

"Sketsa paling tulus mengungkapkan semua. Dia yang paling jujur ketika saya berjalan ke sana. Jadi tidak perlu menjadi orkestra warna-warni dan sebagainya. Itu yang paling jujur," katanya kepada Antara.

Ia menyebut sejak kecil mencintai Borobudur, sering berkunjung ke candi yang juga warisan peradaban dunia itu, termasuk ketika menjalani tahapan pendidikan keimaman di Seminari Menengah Mertoyudan, nisbi tak jauh dari Candi Borobudur.

Pendalaman makna Borobudur, disebutnya seperti halnya orang menjalani "live in". Jalan menemukan makna Borobudur, termasuk juga ketika dia memperkuat pemahaman atas kebuddhaan melalui lawatan ke Kamakura Jepang untuk belajar dan mendalami meditasi Buddhisme-Zen.

Kurator BWCF 2014 Seno Joko Suyono juga menuliskan tentang perjalanannya bersama Romo Mudji ke beberapa tempat bersejarah terkait dengan Sidharta Gautama, antara lain Lumbini sebagai tempat kelahiran Sidharta, Tilaurakot yang disebut-sebut sebagai bekas Kerajaan Kapilavastu, dan stupa Swayambhu yang dalam kepercayaan masyarakat Nepal menjadi tempat penyimpanan berbagai relik Vipashvi Buddha.

Selama empat hingga lima tahun terakhir, katanya, Romo Mudji menelusuri candi-candi di kawasan Asia Tenggara yang kemudian pada usianya ke-60 tahun, dia seakan ditarik kembali untuk pulang dan menelusuri Candi Borobudur dengan hasil, antara lain karya sketsa Borobudur.

Setelah mengunjungi Swayambhu di Kathmandu, ia disebut Seno yang juga redaktur budaya Majalah Tempo itu, menggebu-gebu bertandang ke Borobudur. Ia naik ke Candi Borobudur, menghikmatinya dan melakukan sketsa.

"Tentu sketsa Romo Mudji tidak berpretensi melakukan pendekatan saintifik atau ilmiah terhadap Borobudur. Ia mendekat Borobudur dengan titik tolak intuitif dan kepekaan batinnya," tuturnya, sebagaimana ditulis dalam katalog pameran sketsa Borobudur, "Aruphadatu".

Bagian perjalanan hidup keimaman Romo Mudji yang mengantar kepada sketsa-sketsa Candi Borobudur disebut yang empunya karya itu, sebagai ungkapan Nusantara dan dialog antaragama.

Dalam pembukaan pameran itu pun sekelompok warga sekitar Candi Mendut, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang dengan berbaju dan iket serba warna putih mengantar suasana melalui pementasan musik salawat dengan tembang-tembang bernuansa Islami.

Kelompok itu, disebut budayawan Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang Sutanto Mendut sebagai grup "Sholawat Diponegoro Mendut".

"Ketika doa 'sholawat' dengan napas memuji Allah dalam religi Islam, disatukan dengan perjalanan Sidharta Gautama, dari kamadhatu, rupadhatu, sampai arupadhatu, sampai dicerahkan, sampai di sini saya mau mengatakan kepada anda, silakan menikmati sendiri pameran ini. Karena di sinilah sketsa Borobudur saya mendapatkan rumah," tukasnya.

Beragam sketsa Borobudur sebagai hasil refleksi estetika, religiositas, kemanusiaan, dan perdamaian, dipamerkan oleh pemilik karya itu, yang disebut oleh Sobary sebagai sedang memperteguh panggilan rohaniwannya.

"Apa kerjaan seorang rohaniwan yang umurnya sudah 60 tahun, kalau tidak memperteguh kembali, memperdalam renungan-renungannya, dan pencarian makna hidupnya yang sudah terakumulasi selama 60 tahun. Apa kerjanya kalau tidak memperteguh pemahamannya, kesadarannya melalui karya seni. Ini tidak aneh untuk orang Jawa, apalagi kalau orang Jawa itu Solo, kalau orang Jawa Solo itu memang seniman, kalau orang Jawa Solo itu rohaniwan. Jadi tidak ada barang aneh kalau beliau berbicara tentang ini," katanya. Romo Mudji kelahiran Solo, Jawa Tengah, 12 Agustus 1954.

Pameran sketsa Borobudur, katanya, sebagai siraman rohani yang dilakukan pembuat karya seni itu.

Ia mengemukakan tidak ada cukup alasan untuk menjelaskan dunia rohani karena dunia itu terlalu besar untuk dijelaskan dengan kemampuan otak manusia yang sangat terbatas, dan bahkan dengan kemampuan jiwa manusia yang hampir tidak punya batas.

"Tapi aruphadatu menarik. Kalau orang sudah sampai tingkat tertinggi, ibarat sudah di pintu nirwana, rupa tidak ada, mungkin hanya rasa. Rasa itu pun menimbulkan keragu-raguan, kerinduan, seperti Amir Hamzah (sastrawan angkatan Pujangga Baru), 'aku rindu rasa, rindu rupa'," ujarnya.

Romo Mudji, katanya, tidak mengatakan secara verbal tentang rindu rasa dan rindu rupa. Ia mengungkapkannya melalui karya sketsa Borobudur.

"Saya mewakili beliau bahwa beliau itu orang yang rindu rasa, rindu rupa. Meskipun tahu rupa itu tidak akan bisa dilihat, tapi dibayangkan rupa sehingga ketika kita berbicara tentang aruphadatu, kita berada di suatu alam yang 'awang-uwung'," ucapnya.

Romo Mudji mengatakan religiositas sebagai spiritualitas yang kepadanya manusia akan kembali, saat ia mengalami krisis dalam tahap-tahap hidupnya karena kelemahan dan kejatuhan.

Sedangkan estetika yang seringkali disempitkan dan direduksi hanya sebagai kesenian, katanya dalam kalatog "Arupadhatu" dengan Penerbit Lamalera Yogyakarta, sebenarnya memiliki cakupan makna yang lebih luas dan dalam, yakni kemampuan kreatif manusia dalam kebudayaannya yang memberi bahasa-bahasa pengucapan mengenai keindahan.

"Apabila inspirasinya dari religiositas maka akan menjadi estetika religius. Bila sumber inspirasinya dari nilai-nilai kemanusiaan akan menjadi estetika kemanusiaan. Akan menjadi estetika perdamaian bila inspirasinya bersumber dari nilai perjuangan kedamaian ketika terjadi suatu konflik," katanya.

Dengan mendaku memperoleh bisikan dari teman dekat yang tidak disebut namanya, Romo Mudji mengemukakan ihwal menjalani makna keragaman sebagaimana proses yang mewujud menjadi sketsa-sketsa Borobudur dan kemudian dipamerkan dalam tajuk "Aruphadatu" itu, harus terus-menerus dilakoni secara berulang, untuk menguatkan bangunan alamiah kebhinnekaan Indonesia.

"Ini setiap kali harus diulang bahwa Indonesia adalah bhinneka, bahwa Indonesia adalah majemuk," tandasnya.

Demikian pula, mengunjungi Candi Borobudur memang tak lagi cukup sekadar mendaki tangganya hingga stupa puncak, melihat hamparan pemandangan alam kawasannya, lalu berfoto-foto "selfie" dan mengunggah ke media sosial sebagai tren narsis serta lebai.

"Apabila Anda mengunjungi Candi Borobudur dan mata budi serta mata hati Anda melihatnya dengan bingkai penghayatan religiositas maka kita akan melihat Borobudur sebagai sebuah kitab suci yang terbuka untuk mengucapkan selamat datang serta selamat mengenal dalam bentuk 'narasi ziarah religius'," pungkasnya.


Pewarta :
Editor: M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024