Logo Header Antaranews Jateng

Kincir Air Putar Roda Ekonomi Petani Gedongan

Rabu, 28 Oktober 2015 16:40 WIB
Image Print
Seorang warga memperbaiki kincir air di Sungai Gending, Dusun Gedongan, Mertoyudan, Magelang, Jateng, Rabu (12/8). Sejumlah warga setempat menggunakan kincir air tradisional berbahan bambu untuk mengairi persawahan atau kolam ikan saat musim kemarau.
Di tengah terik matahari siang di musim kemarau itu, Damiri (65), warga Dusun Gedongan, Desa Bondowoso, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, ditemani istrinya untuk menanam padi di lahan seluas 2.000 meter persegi.

Kondisi tersebut jarang ditemui di daerah lain yang pada musim kemarau panjang saat ini, rata-rata lahan dibiarkan mengering oleh pemiliknya karena memang kesulitan air.

Tidak jarang petani yang sudah terlanjur menanam padi mengalami gagal panen akibat kekurangan air.

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Tengah, musim kemarau 2015 mengakibatkan sedikitnya 18.000 hektare tanaman padi di daerah tersebut mengalami puso atau gagal panen karena tidak mendapatkan pasokan air.

"Musim kemarau panjang membuat tanaman padi tidak tumbuh secara maksimal hingga mati karena kekurangan air," kata Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Tengah, Suryo Banendro.

Menurut dia daerah yang paling terdampak puso di Jawa Tengah, antara lain daerah Grobogan, Rembang, Pati, Pemalang, Purworejo, dan Cilacap.

Ia mengatakan untuk mengatasi kekeringan sementara waktu, pihaknya telah memberikan bantuan pompa air untuk menyelamatkan tanaman padi yang terancam puso.

"Bantuan pompa air tersebut diberikan di wilayah yang memiliki sumber air," katanya.

Selain itu, katanya, juga ada bantuan pembuatan sumur dangkal di area sawah tadah hujan di Grobogan. Di wilayah tersebut, sumur dangkal menjadi alternatif petani untuk tetap mengairi sawahnya, karena terbatasnya air.

Meskipun bantuan mesin pompa air tidak diterima para petani di Dusun Gedongan, Desa Bondowoso, Kecamatan Mertoyudan, Magelang, mereka tetap bisa mengolah sawahnya di lahan tadah hujan pada musim kemarau ini.

Melalui kreativitas yang telah dilakukan secara turun-temurun para petani di daerah tersebut membuat kincir air tradisional untuk mengambil atau mengangkat air di Kali Gending yang berada di bawah ketinggian persawahan tersebut.

Di aliran Sungai Gending, Dusun Gedongan terdapat belasan kincir air sederhana yang terbuat dari bambu untuk mengalirkan air di ketinggian. Air dari kincir tersebut kemudian disalurkan menggunakan batang bambu yang dibelah menuju lahan sawah maupun kolam ikan.
Menurut Damiri pembuatan kincir air saat musim kemarau untuk menaikkan air sungai ke sawah maupun kolam ikan sudah berlangsung turun-temurun.

"Sejak saya masih kecil kincir air sudah digunakan orang tua saya untuk mengalirkan air ke sawah, terutama saat musim kemarau," katanya.

Ia menuturkan kebetulan aliran air di Kali Bening tidak pernah kering meskipun di musim kemarau. Hal ini dimanfaatkan warga untuk mengairi sawah maupun kolam, karena sawah dan kolam berada di atas ketinggian permukaan air sungai maka dibuatlah kincir air yang cukup sederhana.

Ia mengatakan bahan baku untuk membuat kincir air itu berupa batang bambu yang banyak tumbuh di desa tersebut. Sumbu kincir, ruji-ruji, baling-baling, hingga pipa untuk mengalirkan air ke sawah semua terbuat dari bambu.

"Selain murah dalam pembuatannya, bahan baku untuk pembuatan kincir ini ramah lingkungan karena berasal dari alam sekitar ini," katanya.

Ia mengatakan agar kincir tersebut bisa mengangkat air dari sungai maka di antara baling-baling itu diikatkan "bumbung" yakni potongan satu ruas bambu dengan salah satu sisinya terbuka agar bisa mengambil air saat bosisinya di bawah dan bisa menuangkan air ke talang saat berada di puncak.

Ukuran kincir mereka tidak sama, tergantung ketinggian lahan dari air sungai, semakain tinggi lahan yang akan diari maka ukuran kincir semakin besar diameternya.

"Ukuran kincir menyesuaikan ketinggian lahan dari air sungai. Kincir yang dibuat petani berdiameter antara dua hingga tiga meter," katanya.

Ia menjelaskan untuk membuat sebuah kincir air dengan diameter sekitar tiga meter membutuh sekitar delapan hingga sembilan batang bambu. Harga bambu di sini Rp5.000 per batang.

"Kalau membuat sendiri harga bahan baku cukup murah sekitar Rp50.000 sudah jadi sebuah kincir air dan kalau ingin dibuatkan orang lain ditambah ongkos Rp150.000 yang dikerjakan selama tiga hari," katanya.

Agar lebih praktis, katanya pembuatan kincir dilakukan di pinggir sungai, karena kalau di buat di tempat lain akan kesulitan membawanya.

Damiri mengungkapkan kincir air sangat membantu para petani sehingga tetap bisa bercocok tanam di saat kemarau panjang dan kebetulan air Kali Bening terus mengalir tidak pernah kering.

Ia menuturkan di tengah kemarau ini, di bulan September lalu dirinya bisa panen padi dari lahannya seluas 2.000 meter persegi tersebut sekitar lima kuintal gabah kering panen.

"Kami tidak pernah menjual padi di sawah, hasil panen selalu kami bawa pulang, karena sebagai orang desa kalau sudah punya simpanan gabah atau beras di rumah itu rasanya sudah 'ayem'," katanya.

Seorang pemilik kolam ikan di Dusun Gedongan, Islam (60) mengatakan usahanya sangat terbantu dengan adanya kincir air sederhana ini karena aliran air ke kolam bisa berlangsung selama 24 jam penuh.

"Kami budi daya ikan nila membutuhkan air yang terus mengalir, dengan aliran air selama 24 jam ini sangat baik untuk pertumbuhan ikan," katanya.

Ia mengatakan dari segi biaya tentu sangat murah, dengan menggunakan kincir air sederhana ini tidak membutuhkan bahan bakar karena kincir otomatis berputar terdorong arus air sungai.

Ia menuturkan kincir air ini hanya digunakan pada musim kemarau, karena saat musim hujan aliran air dari saluran air dari daerah atas sudah mengalir.

"Melalui kincir air ini meskipun kemarau, air kolam tetap terjaga sehingga kami bisa budi daya ikan sepanjang tahun. Kami bisa panen ikan tiap tiga bulan sekali yang hasilnya bisa untuk mencukupi kebutuhan keluarga," katanya.

Pewarta :
Editor: Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2025