Pers Memosisikan Diri sebagai Pengawal Demokrasi
Kamis, 3 Desember 2015 08:23 WIB
Oleh karena itu, media massa cetak dan elektronik perlu turut mengawal penanganan pelanggaran pidana pemilihan kepala daerah, baik di tingkat sentra penegakan hukum terpadu (gakkumdu), penyidik kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan, agar proses hukumnya berlangsung transparan.
Ketika pers memberitakan penanganan pelanggaran pemilihan, setidaknya publik akan mengetahui jenis-jenis pelanggaran dalam pilkada sehingga mereka pun turut serta memantau pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang jujur dan adil.
Pelanggaran administrasi pemilihan, misalnya, sudah termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang atau lebih populer dengan frasa UU Pilkada.
Dalam UU Pilkada, disebutkan bahwa pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan di luar tindak pidana pemilihan dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan.
Jenis lainnya, yakni pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan umum. Kode etik ini adalah satu kesatuan landasan norma moral, etis, dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilihan umum yang diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan dalam semua tindakan dan ucapan.
Jika sering memberitakan terkait dengan pelanggaran pidana pemilihan, publik pun akan mengerti definisi "tindak pidana pemilihan". Versi UU Pilkada, tindak pidana pemilihan merupakan pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan pemilihan.
Di lain pihak, masyarakat pun akan tahu bahwa Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS menerima laporan pelanggaran pemilihan pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan (vide Pasal 134 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015).
Publik pun akan tahu bahwa tidak semua warga negara bisa melaporkan pelanggaran pemilihan. Dalam Pasal 134 UU No. 8/2015, disebutkan bahwa laporan pelanggaran pemilihan dapat disampaikan oleh warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih pada pemilihan setempat; pemantau pemilihan; atau peserta pemilihan.
Dengan sering memberitakan perihal penanganan pelanggaran pemilihan, sengketa pemilihan, maupun perselisihan hasil pemilihan, setidaknya masyarakat tahu ke mana mereka akan melaporkan pelanggar.
Terkait dengan pelanggaran administrasi pemilihan, misalnya, pelapor bisa menyampaikan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Panitia Pengawas Pemilihan (Panwas) Kabupaten/Kota.
Jika ada peserta dan/atau tim kampanye yang melakukan pelanggaran pidana pemilihan, mereka akan melaporkannya ke Panwas Kota/Kabupaten.
Namun, apabila terjadi sengketa pemilihan, baik terjadi antarpeserta pilkada maupun peserta pilkada dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, pelapor menyampaikannya ke Bawaslu/Panwas.
Publik pun akan tahu ke mana melaporkan penyelenggara pemilihan yang ada dugaan melanggar kode etik. Dalam hal ini Bawaslu yang menerima laporan pelanggaran kode etik penyelenggara, kemudian meneruskan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Apabila terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pilkada, siapa yang menangani? Mahkamah Konstitusi masih menangani sengketa hasil penghitungan suara pilkada sepanjang belum ada badan peradilan khusus.
Data Pelanggaran
Selain itu, media massa cetak dan elektronik perlu menginformasikan data pelanggaran pemilihan di 269 daerah, baik tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota.
Dengan demikian, masyarakat akan tahu sejauh mana KPU, DKPP, Bawaslu, maupun Panwas Kabupaten/Kota, menjalankan tugas dan fungsinya. Hal ini juga akan menjadi bahan evaluasi para pemangku kepentingan dalam pilkada/pemilu mendatang.
Sebagai contoh data yang disampaikan Ketua Bawaslu Provinsi Jateng Abhan Misbah, S.H. Tidak hanya berupa angka, tetapi juga memaparkan penyebab masyarakat bersikap apatis. Dengan demikian, penyelenggara bisa mengantisipasinya sehingga bisa mewujudkan target partisipasi masyarakat dalam pilkada serentak, 9 Desember 2015, sebesar 77,5 persen dari total pemilih.
Dalam diskusi bertajuk "Optimalisasi Sentra Gakkumdu dalam Pilkada Serentak 2015" di Gedung Pers, Semarang, Rabu (2/12), Abhan menekankan bahwa undang-undang tidak mensyaratkan persentase tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada. Meski persentasenya kurang dari target yang dicanangkan KPU itu, tidak memengaruhi kesahan hasil pilkada serentak.
Setiap pemilihan, kata Abhan, masih relatif banyak terjadi pelanggaran. Misalnya, pada pemilihan umum anggota legislatif pada tahun 2014 dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI di Jateng. Tercatat 457 dugaan pelanggaran pada pemilu anggota legislatif dan 148 dugaan pelanggaran (pilpres).
"Dari sekian dugaan pelanggaran tersebut, terdapat 15 pelanggaran pidana yang semua pelakunya divonis oleh pengadilan," katanya dalam diskusi yang dipandu Koordinator Divisi Pencegahan dan Hubungan Antarlembaga Bawaslu Provinsi Jateng Teguh Purnomo, S.H., M.Hum., M.Kn.
Ia menyebutkan relatif banyak kepala daerah hasil pemilihan yang terjerat kasus korupsi, seperti terjadi di Rembang, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Karanganyar.
Sikap apatis terhadap pemilihan, menurut dia, terus berkembang. Hal ini dikarenakan belum ada perubahan yang signifikan, khususnya di bidang ekonomi, dalam kehidupan masyarakat pascapemilihan. Tidak pelak lagi, relatif banyak penilaian bahwa pemilu merupakan ajang perebutan kekuasaan bagi para elite yang tidak memprioritaskan kepentingan publik.
"Keterlibatan masyarakat dalam pemilihan lebih banyak bersifat individual dari pada kolektif sehingga suaranya secara politik tidak memilki daya tawar untuk mengawasi kinerja orang yang dipilihnya, kemudian yang terjadi suara rakyat hanya diperlukan oleh elite ketika pemilihan saja," katanya.
Menyinggung dugaan pelanggaran pemilihan, Abhan mengungkapkan bahwa pihaknya hingga 1 Desember 2015 telah menerima laporan dari 21 panwas kabupaten/kota sebanyak 189 dugaan pelanggaran. Sebanyak 101 di antaranya cacat prosedur/pelanggaran administrasi, seperti pemasangan alat peraga kampanye (APK), pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih tidak sesuai dengan prosedur, dan perekrutan penyelenggara bermasalah.
Pelibatan kades/perangkat dalam kegiatan politik/kampanye tercatat 26 kasus; pelibatan/keterlibatan PNS dalam kegiatan politik/kampanye ada 13 kasus; penggunaan fasilitas negara untuk kampanye (13); suap politik/politik uang (12); penyelenggara pemilihan tidak netral (8); kampanye di luar jadwal (7); kampanye di tempat larangan (3); mahar politik (1); sengketa pemilihan (1); dan lain-lain (4).
Tindak pidana pemilihan yang disidangkan oleh pengadilan negeri, kata Abhan, terdapat dua perkara, yaitu terjadi di Kabupaten Sragen {pelanggaran Pasal 71 Ayat (1) juncto Pasal 188 UU Pilkada} dan Kabupaten Pemalang {pelanggaran Pasal 69 Huruf h juncto Pasal 187 Ayat (3) UU Pilkada}.
Batas Waktu Penanganan
Kendati data itu berasal dari penyelenggara, setiap laporan dan/atau temuan terkait dengan pelanggaran pidana pemilihan, pers tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dan memperhatikan batas waktu penanganan.
Temuan/laporan dugaan tindak pidana pemilihan yang diterima panwas, misalnya, dalam 1 x 24 jam dibahas dalam forum sentra gakkumdu.
Temuan/laporan itu diteruskan ke kepolisian paling lama 1 x 24 jam sejak diputuskan oleh Panwas Kabupaten/Kota, dan/atau Panwas Kecamatan.
Dalam diskusi yang diselengarakan Lembaga Pemantau Pemilu (LPP) PWI Jawa Tengah bekerja sama dengan Bawaslu Jateng, Kepala Bagian Pembinaan Operasional Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jateng AKBP Endras Setiawan juga menyinggung soal pembatasan waktu penanganan pelanggaran pidana pemilihan di tingkat penyidik kepolisian, yakni selama 14 hari.
"Waktu penyidikan hanya 14 hari, berkas perkara harus sudah diserahkan kepada jaksa. Mengingat waktu penyidikan sangat singkat, perlu langkah-langkah taktis, antara lain koordinasi dengan panwas setempat," ujar Endras.
Sementara itu, Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi Jateng Priyanto mengatakan bahwa pihaknya menyiapkan jaksa khusus pilkada. Mereka yang akan menangani pelanggaran pidana pemilihan.
"Jaksa penyidik yang ditunjuk, hanya khusus menangani perkara pidana pemilihan. Mereka dibebaskan dari perkara lainnya," ujar Priyanto.
Pada kesempatan itu, dia membantah adanya anggapan jaksa sering kali mempersulit proses perkara pidana pemilihan. "Jangan bilang jaksa yang mempersulit. Kami ini kan yang paling akhir mengawal proses perkara pidana pemilihan hingga ke pengadilan," katanya.
Ia menegaskan, "Kalau buktinya kurang, ya, jangan kemudian jaksa yang disalahkan. Oleh karena itu, kami minta agar sejak proses temuan dari Panwas Kabupaten/Kota, kami minta agar dua alat bukti itu harus terpenuhi agar kasusnya bisa sampai ke pengadilan."
Tampaknya sinergisme tidak hanya penyelenggara pemilihan, kepolisian, dan kejaksaan, tetapi juga pers dengan memberitakan setiap dugaan pelanggaran.
"Masyarakat, melalui lembaga-lembaga pengawas, melaporkan temuan pelanggaran, dan ketika diproses di sentra gakkumdu, media mengawalnya agar proses hukum berlangsung transparan," kata Ketua PWI Provinsi Jateng Amir Machmud N.S., S.H., M.H.
"Jadi," lanjut Amir, "ada determinasi pengawalan yang mendorong agar penegakan hukum pelanggaran pilkada benar-benar dilaksanakan untuk menghasilkan efek jera."
Di hadapan peserta diskusi yang meliputi unsur kejaksaan, kepolisian, dan Panwas Kabupaten/Kota, serta wartawan, Amir menekankan bahwa media pada dasarnya juga harus mengeksplorasi hati nurani ketika mengawal temuan-temuan pelanggaran.
"Jangan sampai ada intervensi dari mana pun yang berpotensi menghentikan setiap laporan pelanggaran dan pemrosesannya," katanya.
Pewarta : Kliwon
Editor:
D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2024