Kualitas Sendratari Kidung Karmawibangga Ditingkatkan
Rabu, 27 April 2016 17:06 WIB
"Kami menyambut baik karya Sendratari Kidung Karmawibangga menjadi bagian dari inovasi masyarakat untuk mengangkat kesenian tradisional agar menjadi bernilai tambah," kata Wakil Kepala Unit TWCB Aryono Hendro di Borobudur, Rabu.
Ia mengatakan hal itu saat Lokakarya dan Pelatihan Seni, Budaya, dan Pariwisata bertema "Membangun Sinergi Peran Seni dalam Mendukung Destinasi Pariwisata Borobudur".
Pembicara lain dalam kegiatan yang diselenggarakan Komunitas Warung Info Jagad Cleguk Borobudur dalam rangkaian agenda tahunan "Ruwat-Rawat Borobudur 2016" itu, adalah peneliti dari Pusat Studi Pariwisata Universitas Gajah Mada Yogyakarta Dyah Widiyastuti dan Kepala Bidang Kesenian dan Nilai-Nilai Tradisi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Achmad Husein.
Ia menyebut butuh proses yang lama untuk suatu karya seni makin dikenal masyarakat luas dan para wisatawan, serta menjadi ikon suatu destinasi wisata unggulan, sebagaimana Sendratari Ramayana di Candi Prambanan dan Sendratari Mahakarya Borobudur di Candi Borobudur.
"Kidung Karmawibangga menjadi karya baru yang lain dari kekuatan desa-desa lainnya di sekitar Candi Borobudur. Ini daya kreatif," ujarnya.
Komunitas Warung Info Jagad Cleguk Borobudur yang berbasis kelompok-kelompok kesenian tradisional dari beberapa desa di Kabupaten Magelang dan kawasan Candi Borobudur, sejak beberapa tahun terakhir mengembangkan kesenian mereka menjadi sendratari dengan inspirasi cerita relief Karmawibangga di kaki Candi Borobudur. Saat pembukaan "Ruwat-Rawat Borobudur" beberapa waktu lalu, mereka mementaskan sendratari tersebut secara kolosal di Taman Lumbini Candi Borobudur.
Dyah Widyastuti mengatakan masyarakat desa yang menghidupi kesenian tradisionalnya untuk mendukung pengembangan kepariwisataan atas suatu objek wisata, tidak boleh meninggalkan kehidupan sehari-hari sebagai sumber penghasilan keluarga.
"Meskipun berkesenian rakyat, harus tetap bertani, harus tetap bekerja sebagai sumber penghidupan sehari-hari," katanya.
Saat mementaskan kesenian tradisional di hadapan wisatawan, katanya, mereka harus tetap tampil terbaik karena hal tersebut akan memberikan kesan dan kenangan terbaik bagi para turis.
"Kalau kita menari rutin itu mungkin akan bosan, tetapi dipikirkan dari sisi berbeda, bahwa wisatawan ke Borobudur menikmati tarian itu mungkin sekali seumur hidup, sehingga tarian harus terbaik dan berkualitas. Para seniman harus bersemangat menyuguhkan karya terbaik karena oleh wisatawan akan diceritakan kepada orang lain," katanya.
Achmad Husein mengatakan kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, sedangkan birokrasi berperan sebagai fasilitator dan pembinaan terhadap mereka dalam melestarikan tradisi seni serta budayanya.
Berbagai kelompok kesenian tradisional di daerah setempat, katanya, memiliki peranan penting bagi pengembangan kepariwisataan Candi Borobudur yang pengelolaan menjadi lebih baik sedang disiapkan pemerintah melalui badan otoritas pariwisata.
Pihaknya mencatat 1097 grup kesenian tradisional yang tersebar di berbagai desa di Kabupaten Magelang dengan total 47 jenis kesenian, antara tarian kobra siswa, topeng ireng, sandul, rodat, soreng, kudalumping, jalantur, kuntulan, ketoprak, wayang orang, cakalele, barongsai, dan campur.
"Kalau untuk pengembangan wisata budaya, kesenian kita siap. Sekarang tinggal berpikir untuk meningkatkan kualitasnya," kata Achmad Husein.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024