Farmakogenomik, Era Baru Terapi Berbasis Genetik
Minggu, 31 Juli 2016 13:03 WIB
Konsep "satu orang, satu penyakit, satu gen, satu obat" akan menjadi tren yang futuristik. Masa depan pengobatan menjadi makin canggih berkat kemajuan riset di bidang genetik.
Gefitinib, Herceptin, dan Warfarin adalah contoh produk farmakogenomik. Riset dan terapi medis makin lama menjadi makin spesifik. Respons penderita terhadap obat dipengaruhi faktor genetik. Alasan demi mencegah efek samping terdengar klasik. Harga obat yang melambung tinggi membuat problematika farmakogenomik makin unik.
Kedokteran dan terapi sebenarnya bersifat personal. Logikanya, manusia diciptakan dengan variasi genetika yang sangat berbeda meskipun terlahir kembar. Akibatnya, respons individu terhadap obat amat beragam.
Keberanekaragaman respons ini dipengaruhi oleh multifaktor, seperti genetika, proses yang mendasari terjadinya penyakit, kepatuhan minum obat, usia penderita, tingkat keparahan penyakit, interaksi antarobat, interaksi makanan dengan obat, formulasi obat, jenis kelamin, polutan (asap rokok dsb.), kehamilan, rute/cara pemberian obat, gaya hidup (termasuk faktor-faktor lingkungan), kondisi nutrisi, fungsi ginjal dan hati penderita, penyakit-penyakit yang menyertai penyakit utama (komorbiditas), dsb.
Selain itu, berdasarkan tinjauan farmakoterapi, respons pasien terhadap obat bergantung pada faktor farmakokinetik (Fk) dan farmakodinamik (Fd).
Faktor Fk, misalnya, absorpsi (tingkat keterserapan obat di dalam tubuh pasien), distribusi (penyebaran obat ke target organ yang mengalami kelainan atau sedang radang), metabolisme (bagaimana obat diproses dan berinteraksi dengan pelbagai enzim serta makanan atau obat lainnya di dalam tubuh), eliminasi (bagaimana zat-zat tak terpakai atau sisa metabolisme obat dibuang tubuh dalam bentuk keringat atau air seni).
Faktor-faktor yang berperan pada farmakodinamik berupa reseptor, ada tidaknya sinyal perantara dan pembawa sinyal/pesan, protein target, waktu paruh obat, dsb.
Inilah era farmakogenomik. Istilah lainnya adalah personalized medicine (PM) atau kedokteran-terapi individu. Pada masa mendatang, obat bersifat makin spesifik. Bukan lagi satu obat untuk banyak penyakit, melainkan satu individu, satu penyakit, satu gen, satu obat. Itu pun masih memerlukan kajian metabolisme obat, biologi molekuler, dan genetika.
Jelaslah mengapa ada penderita yang perlu dua hingga tiga dosis, sementara yang lain cukup dosis standar. Mengapa obat X bekerja dengan amat efektif pada pasien A, sementara pada pasien B, obat X justru menimbulkan reaksi alergi obat.
PM ini pula yang menjawab mengapa sekelompok orang rentan menderita kanker, sementara populasi lainnya tidak. Padahal, mereka hidup di negara yang sama.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menerapkan delapan tepat dan satu waspada di dalam PM, yakni tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat cara dan pemberian, tepat informasi, tepat pemilihan obat, tepat pasien, tepat harga, tepat dosis, dan waspada efek samping obat.
PM ini salah satu faktor yang mendasari lahirnya farmakogenetik dan farmakogenomik. Keduanya serupa namun tak sama. Bedanya, kalau farmakogenetik berbicara tentang peran genetika pada respons obat atau studi tentang hubungan antara varian gen individu dan variasi efek-efek obat.
Sementara itu, farmakogenomik mengungkapkan tentang ilmu pengetahuan yang membolehkan klinisi dan kalangan medis untuk memprediksi respons obat berdasarkan keberanekaragaman genetika (genom) pada individu. Jadi, cakupan farmakogenomik lebih luas daripada farmakogenetik karena membahas tentang genom. Genom adalah kumpulan semua DNA pada satu individu.
Tantangan
Sebagai disiplin ilmu yang relatif baru, farmakogenomik memang kompleks dan unik sehingga melahirkan tantangan tersendiri bagi ilmuwan. Beragam tantangan itu, misalnya menentukan kandidat gen, menentukan reseptor obat yang secara spesifik menarget ke lokus gen penyakit.
Solusinya melalui pendekatan farmakokinetik dan farmakodinamik untuk menentukan target obat, lingkungan biologis, tempat obat bekerja; memahami jalur, mekanisme, serta gen-gen penyebab penyakit; pendekatan genom secara holistis, juga pendekatan epigenetik (lingkungan di sekitar yang berpengaruh terhadap faktor-faktor genetika).
Masalah lainnya, menetapkan pola respons obat yang diturunkan. Solusinya dengan melakukan studi bayi kembar dan keluarga, studi linkage antara respons obat dan lokus genom di sel atau model organisme.
Belum lagi, problematika analisis asosiasi secara statistik, manajemen data, termasuk representasi keseragaman data fenotip. Solusinya dengan metode statistik baru, termasuk pertimbangan haplotipe (kumpulan varian genetika yang diturunkan bersamaan), bioinformatika, penyediaan database publik terakses web dan sentralistik terkait varian genetik dan respons obat.
Yang terpenting juga bagaimana mengaplikasikan farmakogenomik ini ke dalam praktik klinisi. Solusinya dengan penerapan hasil studi yang dilakukan berkali-kali lalu dievaluasi, memertimbangkan efektivitas biaya, edukasi penyedia layanan kesehatan, serta advokasi kepada pembuat kebijakan dan pemerintah untuk implementasi riset farmakogenomik ini ke medis-praktis.
Sosialisasi farmakogenomik kepada klinisi, akademisi, masyarakat dapat dilakukan melalui kurikulum-sistem pembelajaran aktif yang menyenangkan.
Farmakogenomik telah memperkaya kedokteran tidak lagi sekadar sebagai sains tetapi seni.
Variabilitas individu akan mengubah paradigma kita tentang pengobatan modern. Konsep satu orang, satu penyakit, satu gen, satu obat akan menjadi keniscayaan yang mengubah seni pengobatan pada masa depan.
*) Penulis adalah dokter digital, pembelajar dan pemerhati farmakogenomik, penulis 18 buku, studi S-2 IKD Biomedis FK UGM.
Pewarta : -
Editor:
D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025