Logo Header Antaranews Jateng

"Nyai" Kuras Energi Annisa Hertami

Sabtu, 25 November 2017 07:02 WIB
Image Print
Akrtis Annisa Hertami diwawancara wartawan di sela pementasan "Syukuran Sanak Kadang Desa Gunung" diselenggarakan Komunitas Lima Gunung di Studio Mendut Kabupaten Magelang, Jumat (24/11) sore. (Foto: ANTARAJATENG.COM/Hari Atmoko)
Magelang, ANTARA JATENG - Pemeran utama film "Nyai (A Woman From Java)", Annisa Hertami (29), mengaku proses pembuatan film yang akan ikut diputar dalam Jogja Netpac Asian Film Festival 2017, menguras energinya karena menggunakan konsep satu "single".

"Pengalaman baru yang menarik dan menantang. 'Shooting' tiga hari, tapi dengan sistem seperti itu, kayaknya capainya satu bulan, menguras energi, lelah sekali," ujarnya di sela mengikuti pementasan "Syukuran Sanak Kadang Desa Gunung" diselenggarakan Komunitas Lima Gunung di Studio Mendut Kabupaten Magelang, Jumat (24/11) sore.

Ia menyebut proses pengambilan gambar film "Nyai" menarik, antara lain karena menggunakan satu kamera, dengan satu "long take" panjang 90 menit, dan tanpa adanya "cut" sama sekali. Kalau terjadi kesalahan di tengah-tengah proses pengambilan gambar, harus diulang lagi dari awal.

Selain itu, ujarnya, "blocking" juga harus tepat dan detail. Film "Nyai" disutradari Garin Nugroho dengan lokasi pembuatannya di rumah sang sutradara itu di Yogyakarya dengan bangunan bergaya era 1926-1927, di mana tahun-tahun itu menjadi latar belakang waktu untuk kisah dalam film "Nyai".

Film "Nyai" tayang perdana pada Busan International Film Festival sekitar setahun lalu, bertepatan dengan hari kelahiran Annisa Hertami pada 7 Oktober 1988 di Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. 

"Karena kalau 'blocking' salah, juga akan keluar dari kamera atau menutup pemain lainnya. Seperti itu," ujar Annisa yang juga telah bermain dalam sejumlah film, seperti "Soegija" (2012), "Jokowi" (2013),  "Aach... Aku Jatuh Cinta!" (2015), "Jenderal Soedirman" (2015), dan "Pesantren Impian" (2016).

Ia juga mengatakan bahwa film "Nyai" yang akan diputar pada hari pertama Jogja Netpac Asian Film Festival 2017 (1-8 Desember) di Taman Budaya Yogyakarta itu, merayakan bertemunya teater dan film. Hampir 90 persen pemain dalam film tersebut seniman teater. Selain itu, para penari dari Solo dan tokoh keroncong Yogyakarta, Subarjo.

Film yang mengadopsi banyak novel tentang nyai tersebut berkisah tentang seorang perempuan Jawa dengan latar belakang waktu pada 1926-1927. Tokoh itu menjadi seorang nyai karena dijual oleh bapaknya kemudian dinikahkan saat usia muda dengan orang Belanda yang kaya.

"Dia juga dipanggil gundik, dipanggil kafir. Lalu dia juga mengalami apa yang disebut "di-bully" (perundungan, red.) masyarakat, 'dikata-katain' kafir dan sebagainya," katanya.

Akan tetapi, ucapnya, sosok nyai tersebut juga sebagai perempuan Jawa yang mandiri dan mampu mengurus bisnis besar suaminya yang sakit-sakitan, termasuk menghadapi berbagai masalah yang berdatangan.

Sosok nyai dalam film tersebut, katanya, dikisahkan berusaha bertahan dan berjuang menjadi seorang perempuan dalam berbagai kecamuk, baik rumah tangga maupun lingkungan sosialnya.

Ia mengaku berusaha sebaik mungkin untuk memainkan karakter pemeran utama dalam film tersebut dengan proses pembuatan yang penuh tantangan.

"Tokoh ini sangat berat diperankan, apalagi dengan konsep yang juga berat. Tetapi pada dasarnya ini sudah dipercayakan pada saya, ya saya beusaha semaksimal dan sebaik mungkin. Dan akhirnya bisa lebih rileks," ucapnya. 



Pewarta :
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2024