Wayan Dibia persembahkan sendratari rekonstruksi Jayaprana
Sabtu, 5 Mei 2018 14:44 WIB
Denpasar (Antaranews Jateng) - Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Profesor DR Wayan Dibia menyiapkan garapan sendratari rekonstruksi Jayaprana pada Minggu (6/5) di sebagai bentuk persembahannya memasuki masa pensiun.
"Saya sudah 44 tahun mengabdi di lembaga ini mulai ASTI, lantas STSI hingga menjadi ISI Denpasar. Untuk menandakan itu, Pak Rektor ISI mengadakan pelepasan dengan garapan Sendratari Jayaprana, dan saya juga akan meluncurkan dua buku," kata Dibia, di Denpasar, Jumat (4/5).
Dibia, yang memasuki masa pensiun sebagai guru besar (emeritus) sejak 1 Mei 2018, itu dikenal sebagai "macannya ASTI" karena namanya begitu disegani dalam jagat seni di Bali hingga masyarakat sendratari internasional.
Sendratari Jayaprana garapan Dibia merupakan karya rekonstruksi lantaran karya seni tersebut pertama kali dibuat oleh empu seni I Wayan Beratha pada 1962. Persembahan sendratari rekonstruksi itu akan dipentaskan pada Minggu (6/5) di Panggung Terbuka Nertya Mandala, Kampus ISI Denpasar.
Adapun I Wayan Beratha (1926-2014) dikenal sebagai penabuh, pelatih tabuh dan tari, serta pencipta puluhan gending. Dia menjadi guru di Konservatori Karawitan (Kokar) Denpasar sampai pensiun. Pada 2012 Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar menganugerahkan gelar Mpu Seni Karawitan kepada Beratha, titel sekelas profesor dalam dunia akademik. Ia juga dikenang sebagai salah seorang koreografer tarian kolosal Asian Games 1962.
Selain sajian sendratari, Dibia juga meluncurkan dua buku, yaitu otobiografi dirinya dan buku yang khusus persembahan para dosen dari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar.
Pria kelahiran Singapadu, Gianyar, Bali, pada 14 April 1948 itu mengemukakan bahwa garapan sendratari rekonstruksinya murni serius, dikemas dalam olahan gerak, tari, lakon yang diikat dengan iringan musik layaknya awal diciptakan Wayan Beratha.
"Menarik, karena Pak Rektor juga ikut megambel, didukung para dosen, jurusan kerawitan, tari dan pedalangan," ujar lulusan program pendidikan master (strata dua/S2) dan program doktoral (strata tiga/S3) dari Amerika Serikat (AS) tersebut.
Sendratari Jayaprana dinilai memberikan landasan bagi perkembangan berkesenian di Bali, dan Dibia pun mengamati perkembangan sendratari belakangan ini justru mulai bergeser.
"Jadi, konsep garapan benar-benar dihitung, baik tari, lakon diikat oleh musik. Kalau kita lihat belakangan, banyak garapan sendratari yang bergeser. Sekarang sendratari hanya jadi tontonan, enak ditonton saja, tetapi konsepnya lemah. Garapan ini, kita tentukan dengan terukur, dalang ruangnya terukur, penari, lakon dan iringan benar-benar terukur," katanya.
Dibia menekankan ruang yang terukur yang dimaksud adalah tidak adanya improvisasi berlebihan, baik penari, dalang dan iringan musiknya.
"Jadi, sendratari ya di mana dalangnya, gerak penarinya terukur, artinya di sini diperlukan penari yang benar-benar bisa menari, waktunya tepat, durasinya tidak molor," ujarnya.
Sementara itu, Rektor ISI Denpasar Prof Dr I Gede Arya Sugiartha merasa bangga Bali, khususnya ISI ,memiliki tokoh budayawan sekelas Prof Dibia.
"Beliau dulu, waktu saya masih kuliah, dikenal dengan sebutan Macannya ASTI. Beliau mengajar tegas, lugas, konsisten dengan waktu. Kalau salah dibilang salah. Tapi, dengan cara itu anak- anak didiknya jadi disiplin. Beliau mengajar ketegasan," ujarnya.
Dibia pun, ditambahkannya, memiliki pengetahuan lengkap, mulai praktik kesenian sejak kecil, bapaknya seorang penari Arja terkenal, kemudian mengenyam pendidikan seni.
"Zaman itu sudah kuliah di ASTI Yogya, S2 dan S3 di Amerika. Saya sendiri dibimbing Pak Dibia, saya bangga dengan Beliau," katanya.
Prof Arya menuturkan, meskipun Prof Dibia sudah pensiun, tetapi ISI Denpasar masih membutuhkan keahliannya.
Untuk itu, selain pelepasan, sekaligus akan diangkat kembali Prof Dibia menjadi dosen non PNS. "Kami akan tetap membutuhkan Prof Dibia untuk mengajar di kampus ISI," ucapnya.
Terkait pementasan sendratari Jayaprana ini, Prof Arya mengaku dipersiapkan dengan matang dengan melibatkan para dosen, mahasiswa dari seni pertunjukan termasuk dirinya ikut megambel.
"Saya ikut megambel, sebagai pengugal ( pemimpin melodi). Dalam garapan merekonstruksi sendratari ini diciptakan pertama kali di Bali oleh Pak Beratha, ini menarik sekali, makanya saya ikut ambil bagian dalam sajian nanti," kata Rektor asal Pujungan, Pupuan Tabanan ini.
Dalam penyajian garapan sendratari tersebut, lanjut dia, tidak ada improvisasi, jadi penjiwaan harus benar karena sendratari itu tidak gampang, harus ada penyesuaian, antara gerak, tari, lakon.
"Selain sendratari, juga tampilkan karya Prof Dibia yang terkenal yaitu Tari Manukrawa yang diciptakan sekitar tahun 1975, jadi pementasan ini sangat menarik, kami akan mengundang para tokoh, seniman, budayawan, terlebih bagi kepentingan keilmuan sangat diperlukan sebagai ruang pembelajaran," ucapnya.
Prof Arya berharap kehadiran garapan sendratari dapat dilihat, diamati, dipelajari oleh mahasiswa. "Harapannya, kita sepakat basis pengembangan tidak boleh meninggalkan tradisi. Anak -anak itu sebelum mengenal dunia modern, atau dikenal kosmo itu harus dikuatkan tradisi, kalau tidak kuat tradisinya, maka karya-karyanya cenderung tak berisi," katanya.
Garapan sendratari Jayaprana ini dibagi dalam tujuh babak, mulai babak pertama dari Jayaprana tinggal di gubuk di Kalianget, kemudian menginjak remaja, dan diperintahkan sang raja mencari calon istri hingga bertemu Layonsari. Namun kisah percintaan Jayaprana dan Layonsari berujung tragis.
Jumlah seniman yang dilibatkan untuk penabuh berjumlah 30 orang, kemudian penari sekitar 50 orang.(Editor : Priyombodo RH).
"Saya sudah 44 tahun mengabdi di lembaga ini mulai ASTI, lantas STSI hingga menjadi ISI Denpasar. Untuk menandakan itu, Pak Rektor ISI mengadakan pelepasan dengan garapan Sendratari Jayaprana, dan saya juga akan meluncurkan dua buku," kata Dibia, di Denpasar, Jumat (4/5).
Dibia, yang memasuki masa pensiun sebagai guru besar (emeritus) sejak 1 Mei 2018, itu dikenal sebagai "macannya ASTI" karena namanya begitu disegani dalam jagat seni di Bali hingga masyarakat sendratari internasional.
Sendratari Jayaprana garapan Dibia merupakan karya rekonstruksi lantaran karya seni tersebut pertama kali dibuat oleh empu seni I Wayan Beratha pada 1962. Persembahan sendratari rekonstruksi itu akan dipentaskan pada Minggu (6/5) di Panggung Terbuka Nertya Mandala, Kampus ISI Denpasar.
Adapun I Wayan Beratha (1926-2014) dikenal sebagai penabuh, pelatih tabuh dan tari, serta pencipta puluhan gending. Dia menjadi guru di Konservatori Karawitan (Kokar) Denpasar sampai pensiun. Pada 2012 Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar menganugerahkan gelar Mpu Seni Karawitan kepada Beratha, titel sekelas profesor dalam dunia akademik. Ia juga dikenang sebagai salah seorang koreografer tarian kolosal Asian Games 1962.
Selain sajian sendratari, Dibia juga meluncurkan dua buku, yaitu otobiografi dirinya dan buku yang khusus persembahan para dosen dari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar.
Pria kelahiran Singapadu, Gianyar, Bali, pada 14 April 1948 itu mengemukakan bahwa garapan sendratari rekonstruksinya murni serius, dikemas dalam olahan gerak, tari, lakon yang diikat dengan iringan musik layaknya awal diciptakan Wayan Beratha.
"Menarik, karena Pak Rektor juga ikut megambel, didukung para dosen, jurusan kerawitan, tari dan pedalangan," ujar lulusan program pendidikan master (strata dua/S2) dan program doktoral (strata tiga/S3) dari Amerika Serikat (AS) tersebut.
Sendratari Jayaprana dinilai memberikan landasan bagi perkembangan berkesenian di Bali, dan Dibia pun mengamati perkembangan sendratari belakangan ini justru mulai bergeser.
"Jadi, konsep garapan benar-benar dihitung, baik tari, lakon diikat oleh musik. Kalau kita lihat belakangan, banyak garapan sendratari yang bergeser. Sekarang sendratari hanya jadi tontonan, enak ditonton saja, tetapi konsepnya lemah. Garapan ini, kita tentukan dengan terukur, dalang ruangnya terukur, penari, lakon dan iringan benar-benar terukur," katanya.
Dibia menekankan ruang yang terukur yang dimaksud adalah tidak adanya improvisasi berlebihan, baik penari, dalang dan iringan musiknya.
"Jadi, sendratari ya di mana dalangnya, gerak penarinya terukur, artinya di sini diperlukan penari yang benar-benar bisa menari, waktunya tepat, durasinya tidak molor," ujarnya.
Sementara itu, Rektor ISI Denpasar Prof Dr I Gede Arya Sugiartha merasa bangga Bali, khususnya ISI ,memiliki tokoh budayawan sekelas Prof Dibia.
"Beliau dulu, waktu saya masih kuliah, dikenal dengan sebutan Macannya ASTI. Beliau mengajar tegas, lugas, konsisten dengan waktu. Kalau salah dibilang salah. Tapi, dengan cara itu anak- anak didiknya jadi disiplin. Beliau mengajar ketegasan," ujarnya.
Dibia pun, ditambahkannya, memiliki pengetahuan lengkap, mulai praktik kesenian sejak kecil, bapaknya seorang penari Arja terkenal, kemudian mengenyam pendidikan seni.
"Zaman itu sudah kuliah di ASTI Yogya, S2 dan S3 di Amerika. Saya sendiri dibimbing Pak Dibia, saya bangga dengan Beliau," katanya.
Prof Arya menuturkan, meskipun Prof Dibia sudah pensiun, tetapi ISI Denpasar masih membutuhkan keahliannya.
Untuk itu, selain pelepasan, sekaligus akan diangkat kembali Prof Dibia menjadi dosen non PNS. "Kami akan tetap membutuhkan Prof Dibia untuk mengajar di kampus ISI," ucapnya.
Terkait pementasan sendratari Jayaprana ini, Prof Arya mengaku dipersiapkan dengan matang dengan melibatkan para dosen, mahasiswa dari seni pertunjukan termasuk dirinya ikut megambel.
"Saya ikut megambel, sebagai pengugal ( pemimpin melodi). Dalam garapan merekonstruksi sendratari ini diciptakan pertama kali di Bali oleh Pak Beratha, ini menarik sekali, makanya saya ikut ambil bagian dalam sajian nanti," kata Rektor asal Pujungan, Pupuan Tabanan ini.
Dalam penyajian garapan sendratari tersebut, lanjut dia, tidak ada improvisasi, jadi penjiwaan harus benar karena sendratari itu tidak gampang, harus ada penyesuaian, antara gerak, tari, lakon.
"Selain sendratari, juga tampilkan karya Prof Dibia yang terkenal yaitu Tari Manukrawa yang diciptakan sekitar tahun 1975, jadi pementasan ini sangat menarik, kami akan mengundang para tokoh, seniman, budayawan, terlebih bagi kepentingan keilmuan sangat diperlukan sebagai ruang pembelajaran," ucapnya.
Prof Arya berharap kehadiran garapan sendratari dapat dilihat, diamati, dipelajari oleh mahasiswa. "Harapannya, kita sepakat basis pengembangan tidak boleh meninggalkan tradisi. Anak -anak itu sebelum mengenal dunia modern, atau dikenal kosmo itu harus dikuatkan tradisi, kalau tidak kuat tradisinya, maka karya-karyanya cenderung tak berisi," katanya.
Garapan sendratari Jayaprana ini dibagi dalam tujuh babak, mulai babak pertama dari Jayaprana tinggal di gubuk di Kalianget, kemudian menginjak remaja, dan diperintahkan sang raja mencari calon istri hingga bertemu Layonsari. Namun kisah percintaan Jayaprana dan Layonsari berujung tragis.
Jumlah seniman yang dilibatkan untuk penabuh berjumlah 30 orang, kemudian penari sekitar 50 orang.(Editor : Priyombodo RH).
Pewarta : Ni Luh Rhismawati
Editor:
Totok Marwoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024