Logo Header Antaranews Jateng

Saatnya elite politik bermetamorfosis menjadi negarawan

Senin, 20 Mei 2019 13:39 WIB
Image Print
Mural bergambar Capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (20/4/2019). Mural tersebut untuk mengingatkan kembali kepada masyarakat akan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan usai Pilpres 2019. ANTARA (Foto: Mohammad Ayudha).
Semarang (ANTARA) - Tensi politik makin panas seiring dengan mendekatnya waktu pengumuman hasil Pemilihan Presiden 2019 pada 22 Mei nanti.

Lazimnya, pada setiap pertandingan ada yang menang dan kalah. Begitu pula dalam kontestasi politik bernama pilkades, pilkada, pemilu, atau pilpres.

Dari pertarungan politik tersebut menghasilkan pemenang sekaligus menyisakan pecundang. Berdasarkan hasil penghitungan sementara KPU (20/5), pemenangnya Joko Widodo-Ma'ruf Amin, sedangkan duet Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kalah.

Meski KPU belum menetapkan secara resmi siapa pemenangnya, dari hasil Situng tersebut diperkirakan tidak akan mengubah hasil akhirnya. Artinya, hampir bisa dipastikan Jokowi-Amin memenangi Pilpres 2019.

Yang menjadi persoalan, petang hari setelah Pemilu 2019 pada 17 April, kubu Prabowo-Sandi -- berdasarkan hitung cepat versi palson nomor urut 2 -- mengklaim memenangi pilpres.

Hitungan tersebut sampai sekarang masih dipercaya kendati sudah ada revisi dari sebelumnya memperoleh 62 persen menjadi 54 persen. 

Kemenangan tersebut  bukan saja sudah dirayakan oleh beberapa elite paslon nomor urut 2, melainkan juga disambut oleh para pendukungnya di berbagai daerah.

Di sisi lain, proses penghitungan suara di KPU terus berlangsung, persen demi persen dan hari demi hari menunjukkan Jokowi-Amin selalu unggul.

Akan tetapi, hasil penghitungan KPU tersebut mendapat penolakan dengan tuduhan lembaga penyelenggara pemilu tersebut melakukan kecurangan.

KPU menolak tuduhan tersebut kendati Bawaslu kemudian menyatakan KPU melakukan dua pelanggaran administrasi terkait dengan penghitungan cepat (quick count) serta penghitungan suara atau Situng.

Di lapangan memang terjadi beberapa masalah termasuk surat suara di Malaysia yang sebelumnya sudah dicoblos, misalnya. Dalam input data juga terjadi ketidaksesuaian dengan di formulir. Juga ada laporan politik uang, hingga kasus ketidaknetralan aparatur negara.

Kendati demikian, terlalu berlebihan menilai bahwa pelanggaran Pemilu 2019 itu terstruktur, sistematis, dan masif. Apalagi brutal. Pelanggaran itu merugikan kedua pihak, kesalahan input data juga dialami kedua paslon.

Yang menjadi keprihatinan bangsa ini, dalam waktu nyaris bersamaan, sejumlah personel KPPS meninggal dengan jumlah fantastis; dilaporkan lebih dari 500 petugas wafat. Masalah ini kemudian melebar. Terakhir, polisi akan memeriksa dokter Ani Hasibuan Sp.S terkait dengan penjelasannya tentang kematian petugas KPPS.

Sebelumnya dari kubu oposisi, Eggi Sudjana sudah ditangkap. Begitu pula Ustaz Bachtiar Nasir juga menjadi tersangka. Terakhir Lieus Sungkharisma dari kubu oposisi juga ditangkap, Senin (20/5). 

Eggi dan Lieus dituduh melakukan makar. Sebelumnya, musikus cum politikus Gerindra Ahmad Dani juga mendekam di penjara. Juga aktris cum aktivis Ratna Sarumpaet yang akhirnya juga diadili.

Secara jujur harus diakui bahwa Pilpres 2019 menyebabkan masyarakat terbelah menjadi dua kubu; pro-Jokowi dan pro-Prabowo. Semula kita berharap setelah hajatan Pemilu 2019 selesai, dikotomi Cebong-Kampret akan mengempis. 

Akan tetapi, ternyata tidak. Sepanjang terpantau di media sosial, isunya malah melebar ke mana-mana dan menyebabkan rasa saling tidak percaya (distrust) di antara elemen masyarakat, juga kepada penyelenggara negara termasuk penegak hukum.

Ini tentu tendensi berbahaya. Modal sosial dan rasa percaya antara elemen masyarakat dan pemimpin politik merupakan fondasi sekaligus perekat pembentukan bangsa ini.

Kita berharap aparat penegak hukum menjalankan tugas secara profesional dan tidak pandang bulu. Jangan sampai muncul kesan hukum hanya tajam ke kubu oposisi, namun tumpul ke kubu penguasa.

Lebih dari itu, segenap elite politik -- dalam situasi panas seperti saat ini -- sudah saatnya memosisikan diri sebagai negarawan sehingga ucapan dan tindakannya senantiasa menekankan pada penyelesaian masalah. Juga, agar ucapan dan tindakannya mampu meredakan tensi politik, bukan malah menyulut ketegangan baru.

Sekarang waktunya elite politik bermetamorfosis menjadi negarawan. Segala ucapan dan tindakan bermuara pada keutuhan dan kejayaan bangsa ini. ***

 

Pewarta :
Editor: Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2024