Festival Lima Gunung gelar ritual sakral tanpa tontonan saat pandemi
Kamis, 10 September 2020 18:55 WIB
Seniman petani Komunitas Lima Gunung di Kabupaten Magelang meliputi Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, di tengah masa pandemi dengan kondisi carut-marut, kegamangan, kegagapan, serta ketidakberdayaan tetap bersikap menghadapi situasi tidak wajar ini dengan lapang dada secara kreatif.
Dengan tetap memperhatikan protokol physical distancing yang ketat, serta dompet segenap warga di seluruh dunia yang semakin tipis, "Festival Lima Gunung" ternyata berhasil terselenggara, bahkan hingga genap empat kali, malang melintang melintasi batas teritorinya, wilayah Kabupaten Magelang.
Pembukaan festival di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, di kawasan Gunung Sumbing berlangsung 9 Agustus 2020, kedua di tempat Muhammad Ainun Nadjib atau Cak Nun Yogyakarta pada tanggal 12 Agustus 2020, ketiga di Studio Mendut Kabupaten Magelang pada tanggal 22 Agustus 2020, dan keempat di Kabupaten Pati pada tanggal 6 September 2020.
Festival Lima Gunung tersebut juga masih akan berlangsung hingga akhir tahun ini dengan protokol kesehatan.
Sementara festival tahunan di wilayah Pantura Pati mengusung tema "ritual sakral tanpa penonton" demi mematuhi protokol kesehatan.
"Festival tahunan di Pati ini sengaja diselenggarakan dengan embel-embel 'ritual sakral bukan tontonan' dengan informasi tanggal dan tempat acara pada poster bersifat tiba-tiba, rahasia, serta belum ditentukan untuk menghindari kehadiran penonton," kata Panitia Pelaksana Lokal Festival Lima Gunung XIX #4 di Kabupaten Pati Achonk di Pati.
Pihak panitia mengelola festival tersebut sengaja menghindari kerumunan massa, tidak sebagaimana festival-festival sebelumnya setiap tahun, karena saat ini masih berada di tengah pandemi virus corona.
Tema acaranya sendiri, diakui bukan hanya satu tema saja karena para personel "Festival Lima Gunung" serta Ki Ageng Qithmir (Kabupaten Pati) mengusulkan beberapa tawaran tema yang disetujui bersama, yakni "Donga Slamet: Baline Soreng Pati", "Donga Slamet: Persatuan Soreng Sejagad", "Donga Slamet: Di Kaki Muria", dan "Donga Slamet: Ziarah Bumi Pati".
Semua tema tersebut, diakui setujui dan diterbitkan sebagai wacana bersama dan cita-cita yang menyatukan semua.
Hal tersebut, dibenarkan Singgih perwakilan Komunitas Lima Gunung dari dusun Gejayan, kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Gunung Merbabu bahwa semua tema disetujui.
Kehadiran para seniman di Pati untuk berziarah ke makam Kiai Ahmad Mutamakkin di Desa Kajen dan di Punden Mbah Soreng di Desa Tanjungrejo, sama-sama di Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, tidak hanya dalam rangka menggelar pentas seni, melainkan juga berdoa bersama.
Kiai Mutamakkin merupakan salah satu tokoh ulama besar yang hidup pada abad ke-17 dan diperkirakan lahir pada tahun 1645 Masehi di Desa Cebolek, Tuban, Jawa Timur, yang saat ini berubah menjadi Desa Winong.
Adapun sejarah kedatangan beliau menurut catatan ahli Tarikh, pada waktu melakukan misi dakwah menuju ke arah barat sampai ke Desa Kalipang, suatu daerah yang terletak di Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang.
Kemudian menetap beberapa lama untuk berdakwah sebelum melanjutkan perjalanan sampai ke Cebolek, sebuah desa di Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. Setelah bermukim di Cebolek beberapa lama, kemudian hijrah ke Kajen, Desa yang terletak di sebelah barat Desa Cebolek.
Syekh Mutamakkin juga dikenal seorang ulama tasawuf pada masanya dengan ajaran tasawufnya yang diperoleh dari seorang tokoh tarekat Naqsabandiyah.
Baca juga: Kontak erat peduli pandemi untuk "rem-gas" yang pas
Baca juga: Tumpeng Festival Lima Gunung XIX simbol tangguh hadapi pandemi
Acara Festival Lima Gunung XIX #4 juga diselingi dengan sarasehan kebudayaan dan agama bersama dengan Kiai Abdullah Umar Fayyumi pada Minggu (6/9) sorenya, menjelang gelaran pementasan pada malam harinya.
Pada sarasehan tersebut, setidaknya dapat disimpulkan bahwa ada dua proses perjalanan yang dilalui dan dilakoni setiap manusia.
"Saya menyebut dua hal utama dari dua perjalanan itu. Pertama, perjalanan spiritual dan kedua, perjalanan kultural," ujar Aniq pendamping Kiai Abdullah Umar.
Perjalanan spiritual mengait dan menitik pada pembentukan diri sebagai "kawula" yang benar-benar "ngawula" atau disebut "Abdullah".
Perjalanan kultural, kata dia, mengatur semua pihak sebagai sekumpulan kawula-kawula yang beragam, menyatu, dan membawa misi kerahmatan.
"Kumpulan dari jasadiah dan rohaniah kaula disebut 'ibadullah', 'Ibadurrohman’ atau 'Kawulawarga'," ujarnya.
Sementara komunikasi lintas kultur dan penyatuan antara komunitas Lima Gunung Magelang dan Laras Jagad Pati, kata dia, merupakan bagian dari cara kerja mewujudkan bangunan misi kerahmatan yang dibangun atas nilai-nilai spiritualitas kawula dan semangat kultural kawulawarga.
Seniman dari komunitas Ki Ageng Qitmir Pati Yuli Agung Wibowo mengakui acara ini mungkin nampak sederhana atau bahkan kacau balau, namun sesungguhnya para seniman sedang menjalankan konsep leluhur, yakni tentang kesadaran berupa penyikapan diri sebagai bagian dari sejarah.
"Hal itu merupakan manajemen 'emban papan', penyesuaian atas konteks, sebuah rangkaian performa yang terkesan 'dadakan' namun sebetulnya adalah konsep lama yang diusung oleh para wali, seperti Mbah Mangli dari wilayah Gunung Andong, Kabupaten Magelang, serta Mbah Kiai Mutamakkin dari Kajen yang keduanya dikagumi oleh Presiden Mbah Tanto Mendut," ujarnya.
Jika meminjam istilah Kiai Abdullah Umar yang ikut mengisi kegiatan Festival Lima Gunung, semuanya tidak lain sedang melakoni tugas sebagai putu atau keturunan misi Mbah Kiai Mutamakkin.
Pewarta : Akhmad Nazaruddin
Editor:
D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2024