Info Haji - Kemenag ungkap lima titik kritis berhaji
Rabu, 12 April 2023 07:55 WIB
"Saat kedatangan di Arab Saudi baik di Jeddah maupun Madinah di negara orang yang beda budaya, suhunya, dan lainnya. Banyak yang shock mendapati orang-orang sana kok beda, culture-nya, mereka bicara keras karena tinggal di padang pasir. Mereka menganggap kenapa mereka marah-marah. Bahkan ada nenek yang stres karena merasa dibentak-bentak dan dimarahi," kata Arsyad di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Selasa.
Arsyad menyebutkan kelima titik kritis yang harus menjadi perhatian bersama, pertama soal perbedaan kultur, budaya, suhu, dan lain-lain antara Indonesia dengan Arab Saudi.
"Itu culture. Intonasi bahasanya sangat keras. Perbedaan culture terkadang membuat jamaah kita jadi stres. Ini perlu diantisipasi," kata Arsyad.
Titik kritis kedua terjadi ketika jamaah haji baru tiba di Arab Saudi. Jamaah gelombang pertama tiba di Madinah dan melaksanakan shalat arbain atau salat 40 kali waktu di Masjid Nabawi. Sementara jamaah gelombang kedua akan mendarat di Bandara Jeddah dan langsung menuju Mekkah untuk melakukan umrah wajib atau umrah haji.
"Mereka sangat bersemangat karena umumnya baru pertama kali tiba di Tanah Suci. Saking semangatnya, mereka lupa melakukan orientasi lokasi tempat tinggal, sehingga tidak sedikit yang tersasar dan tidak bisa pulang ke hotel atau pemondokan," katanya.
Ia mencontohkan saking rindunya mereka akan Masjid Nabawi, Masjidil Haram, dan Ka'bah, dari 450 jemaah kalau sudah keluar dari hotel dan saat waktunya kembali ke hotel hanya 200 jamaah, sisanya di antaranya terkendala kembali ke hotel karena tidak tahu jalan.
"Hal tersebut merupakan titik kritis juga, apalagi tahun ini jumlah lansia semakin banyak, maka potensi jamaah yang kesasar pada awal kedatangan juga semakin banyak. Kita tahu lansia, pikun, membutuhkan perhatian lebih," katanya.
Titik krisis ketiga, Arsyad mengatakan umumnya jamaah haji yang berada di Mekkah saat menunggu puncak haji akan memanfaatkan waktu untuk melaksanakan tawaf sunah sebanyak-banyaknya. Bahkan, tidak sedikit yang memaksakan tawaf sunah berkali-kali hingga kecapaian dan fisiknya lemah saat puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
"Tolong diingatkan siapa saja untuk tidak memforsir jamaah melakukan kegiatan-kegiatan yang membuat kondisi jemaah semakin lemah. Jangan sampai kita mengedepankan yang sunah tapi mengabaikan yang rukun. Cara pandang ini salah," kata Arsyad.
Keempat, titik kritis jemaah calon haji juga terjadi menjelang keberangkatan dan saat berada di masyair atau di Armuzna. Jamaah kelelahan karena jamaah banyak sekali melakukan aktivitas fisik.
"Tenda kita tidak ada yang jaraknya 500 meter, umumnya lima kilometer dan kalau pulang pergi 10 kilometer. Dalam kondisi fisik lemah, aktivitas fisik berat menyebabkan kondisi fisik semakin menurun," katanya.
Berdasarkan laporan Kemenkes setiap tahunnya, kata dia, angka kematian jamaah haji di Indonesia meningkat drastis setelah pelaksanaan ibadah di masyair. Faktor penyebabnya adalah kelelahan.
"Ini menjadi titik kritis juga dalam pelayanan kepada jamaah haji Indonesia di tahun 2023," kata Arsyad.
Terakhir, lanjut Arsyad, titik kritis jamaah haji terjadi saat pelaksanaan tawaf ifadah. Setiap tahun suasana di sekitar Ka'bah dipastikan penuh dan sesak. Apalagi kalau ada orang yang sengaja ambil pelaksanaan tawaf ifadahnya pada 10 Dzulhijjah dengan kondisi fisiknya sudah lelah apalagi seusai melempar jumrah aqabah langsung jalan ke Masjidil Haram.
"Minta agar para konsultan ibadah dan pembimbing ibadah mengarahkan para jamaah menyelesaikan dulu prosesi ibadah di Mina sampai tanggal 12 atau 13, setelah itu kembali ke hotel untuk istirahat baru tawaf ifadah. Ini bukan hanya tugas bagian kesehatan dan konsultan ibadah, tetapi tugas semua agar jamaah bisa melaksanakan ibadah nyaman dan kembali ke Tanah Air dengan selamat," tutup Arsyad.
Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor:
Teguh Imam Wibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2024