Logo Header Antaranews Jateng

Meluruskan sejarah hari jadi Provinsi Jateng dan momentum berbenah

Senin, 19 Agustus 2024 12:38 WIB
Image Print
Ilustrasi - Kantor Gubernur Jawa Tengah. ANTARA/Zuhdiar Laeis
Semarang (ANTARA) - Hari jadi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti hari saat pertama kali digunakan, selesai, atau diresmikan, sedangkan hari ulang tahun adalah hari yang bertepatan dengan tanggal atau bulan lahir.

Meski tidak sepenuhnya bermakna sama, kedua istilah tersebut kerap digunakan secara silih berganti di kalangan masyarakat, termasuk ketika merujuk pada pertama kalinya pemerintah daerah diresmikan.

Sebagai contoh, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang kebetulan pada tahun ini berulang tahun yang ke-79. Sebuah babakan usia yang tak lagi muda dalam fase kehidupan manusia.

Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jateng Nomor 7/2004 telah menetapkan bahwa Hari Lahir Provinsi Jateng adalah 15 Agustus 1950, yang didasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Tengah.

Namun, Kepala Biro Pemerintahan Otonomi Daerah dan Kerja Sama Sekretariat Daerah Provinsi Jateng Muhamad Masrofi mengungkapkan bahwa Hari Jadi Provinsi Jateng bukan lagi tanggal 15 Agustus.

Apabila Hari Jadi Jateng diadakan pada 15 Agustus 1950, berarti ada dua gubernur yang tidak diakui. Padahal, kedua Gubernur Jateng itu telah dibentuk oleh Pemerintah sejak 1945.

Keduanya, yakni Raden Pandji Soeroso sebagai Gubernur pertama sejak 5 September 1945 hingga Oktober 1945 dan Raden Mas Tumenggung Wongsonegoro dari 13 Oktober 1945 sampai 1945.

Ada fakta sejarah pendukung, yakni hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945 yang membagi wilayah Indonesia ke dalam delapan provinsi, salah satunya Jateng.

Lalu, dilanjutkan hasil sidang kedua yang sekaligus menentukan gubernur di masing-masing provinsi dan departemen-departemen. Sidang menetapkan R. Pandji Soeroso sebagai Gubernur Jateng pertama.

"Artinya, Provinsi Jawa Tengah secara legal formal dibentuk menjadi provinsi, sejak hasil sidang PPKI tersebut diterapkan. Setelah dikaji oleh DPR RI, diubahlah Provinsi Jateng dibentuk 1945, yaitu 19 Agustus. Itu selaras dengan PPKI," ujarnya.

Saat ini, telah terbit UU Nomor 11/2023 tentang Provinsi Jateng, yang pada Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa 19 Agustus sebagai hari jadi Provinsi Jateng sehingga bukan lagi 15 Agustus, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Perda Nomor 5/2023.

Hari Jadi Provinsi Jateng, diungkapkan Masrofi, merupakan perwujudan identitas, jati diri, tonggak, dan simbol dimulainya pemerintahan daerah yang perlu diterapkan dan dapat diperingati sebagai momentum bersejarah.


Andil warga Jateng dalam kemerdekaan

Hari jadi suatu bangsa atau wilayah juga tidak bisa dilepaskan dari kemerdekaan, sebab Jateng sebagai provinsi merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejarawan Universitas Diponegoro Semarang Prof Yety Rochwulaningsih menyampaikan bahwa warga Jateng juga mempunyai andil besar dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

"Syarat berdirinya suatu negara ada wilayah, ada pemerintahan, ada pengakuan dari negara lain. Dalam konteks satu dan dua, ditetapkanlah berapa provinsi di Indonesia, salah satunya di Jateng. Ini mempunyai makna filosofis yang kuat," ujarnya.

Mengenai sumbangsih perjuangan warga Jateng, disebutkannya sejumlah peristiwa bersejarah, di antaranya Pertempuran Lima Hari di Semarang, Pertempuran Palagan Ambarawa, dan Serangan Umum Surakarta.

Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan bukti heroik bahwa betapa warga bersama dengan kekuatan militer dan kepolisian di Jateng turut mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Artinya, warga Jateng juga memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang panjang dalam melawan penjajah hingga kemudian dijadikan sebagai salah satu dari delapan provinsi oleh PPKI.

"Ini merupakan bukti konkret masyarakat Jateng ikut ngrungkepi Proklamasi 17 Agustus 1945. Bagaimana pemerintahan di level provinsi sampai kabupaten, mereka punya kontribusi yang tidak kecil, saling bersinergi," imbuhnya.

Karena itu, pada Hari Jadi Ke-79, Yety berharap, warga Jateng, terutama anak muda, memahami sejarah yang telah ditorehkan pendahulu bangsa, serta mampu mengisi kemerdekaan dengan mencintai produk lokal, dan tidak melupakan sejarah.

"Momentum peringatan hari lahir Jawa Tengah diharap dapat membangun kesadaran kolektif, untuk merasa memiliki Jawa Tengah. Kalau punya rasa memiliki, akan mencintai dan menimbulkan kerelaan untuk berbuat sesuatu," tegasnya.

Sampai saat ini, Jateng telah mengalami 15 pergantian kepemimpinan, dimulai dari R Pandji Soeroso, RMT Wongsonegoro, dilanjutkan R Boedijono (1949-1954), RMTP Mangoennegoro (1954-1958), R Soekardjo Mangoenkoesoemo (1958-1960), Munadi (1966-1974), Soeparjo Roestam (1974-1983).

Kemudian, Mochtar (1960-1966), HM Ismail (1983-1993), Soewardi (1993-1998), Mardiyanto (1998-2007), Ali Mufiz (2007-2008), Bibit Waluyo (2008-2013), Ganjar Pranowo (2013-2023), dan mulai 5 September 2023 dipimpin Penjabat Gubernur Jateng Nana Sudjana.

Di bawah kepemimpinan Nana Sudjana, Pemprov Jateng memusatkan peringatan Hari Jadi Ke-79 di Kota Salatiga, 18-20 Agustus 2024 dengan menggelar berbagai kegiatan, mulai dari ajang Jateng Expo, Festival Jamu dan Kuliner, hingga pentas seni budaya, serta festival band pelajar.


Momentum berbenah majukan daerah

Hari jadi adalah tetenger atau identitas yang memiliki arti penting bagi orang atau lembaga, termasuk Provinsi Jateng yang kemudian melakukan peringatan pada setiap tahun.

Diungkapkan Prof Dhanang Respati Puguh yang juga sejarawan Undip, bahwa perubahan Hari Jadi Jateng sebagai upaya pelurusan sejarah merupakan hal yang tepat dan lumrah karena hari jadi adalah identitas.

Sebenarnya, pada 2003 telah dilakukan penelusuran tentang Hari Jadi Provinsi Jateng oleh Tim Undip yang diketuai Prof Djuliati Suroyo, dan hasil keputusannya memberikan beberapa opsi berdasarkan fakta-fakta historis.

Namun, keputusan tetap berada di tangan pemerintah daerah dan DPRD ketika itu memilih menetapkan tanggal 15 Agustus sebagai Hari Jadi Jateng, apalagi sudah ada UU Nomor 10/1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Tengah.

"Keputusan politik saat itu (diambil, red.) berdasarkan aspek yuridis formal, sedangkan fakta historis kurang dipilih. Ya, enggak apa-apa," kata Ketua Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Undip itu.

Ternyata, Pengurus Dewan Harian Daerah 1945 Provinsi Jateng menyampaikan aspirasi kepada Pemprov dan DPRD Jateng mengenai Hari Jadi Provinsi Jateng sehingga pada tahun lalu diadakan pembahasan ulang.

"Saat akan diadakan pembahasan ulang, saya hanya hadir saat dengar pendapat dengan DPRD. Proses selanjutnya diikuti Prof Yety karena beliau menjadi Tim Penelusuran 2003 dan yang merespons surat-surat dari Pengurus Harian 1945," ungkapnya.

Akhirnya, setelah 20 tahun terjadi perubahan Hari Jadi Jateng dari semula tanggal 15 Agustus menjadi tanggal 19 Agustus, sebagai keputusan yang lebih menekankan pada fakta-fakta historis.

Namun, Dhanang mengingatkan bahwa sejarah sebenarnya tidak hanya berhenti pada masa lalu, tetapi yang lebih penting untuk masa kini, dan menjadi panduan untuk menapak di masa depan.

Peringatan hari jadi yang dilakukan setiap tahun juga bukan dilakukan tanpa tujuan, tetapi menjadi momentum untuk berbenah diri dan berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya.

"Untuk apa mengubah hari jadi kalau tidak mampu mengubah semangat atau spirit menjadi lebih baik lagi? Bagaimana kemudian, misalnya, Jateng di usianya yang ke-79 ternyata masih menjadi provinsi termiskin kedua," katanya.

Artinya, perubahan Hari Jadi Pemprov Jateng harus diejawantahkan dalam berbagai program dengan memaksimalkan potensi dan sumber daya yang dimiliki provinsi ini untuk semakin menyejahterakan masyarakat.

Editor: Achmad Zaenal M

 


Editor: Edhy Susilo
COPYRIGHT © ANTARA 2024