Logo Header Antaranews Jateng

Komjak RI : Denda damai harus punya landasan hukum kuat

Jumat, 10 Januari 2025 08:25 WIB
Image Print
Webinar bertema "Denda Damai untuk Koruptor, Apakah Bisa dan Layak?" yang digelar lembaga Jejaring Analiytics, Research, and Communication Consulting (Jarcomm) di Solo, Jawa Tengah, Kamis (9/1/2025). ANTARA/Aris Wasita

Solo (ANTARA) - Ketua Komisi Kejaksaan RI Pujiyono Suwadi menegaskan bahwa denda damai harus punya landasan hukum yang kuat.

Pada webinar bertema Denda Damai untuk Koruptor, Apakah Bisa dan Layak? yang digelar lembaga Jejaring Analiytics, Research, and Communication Consulting (Jarcomm) di Solo, Jawa Tengah, Kamis, Pujiyono menyebutkan salah satu yang cukup akrab bagi publik adalah restoratif justice (keadilan restoratif).

Menurut dia, upaya tersebut sebagai formula untuk mencari keadilan yang biasanya dilakukan dalam kejahatan tindak pidana umum.

Meski demikian, bagi masyarakat denda damai ini tidak menarik. Bahkan, bisa jadi publik menolak gagasan tersebut karena merasa tidak familier.

Pujiyono menganalogikan denda damai ini layaknya makan dengan menggunakan tangan kiri.

"Kita biasa makan tangan kanan, terus tiba-tiba lihat orang makan pakai tangan kiri. Tentu menyalahkan bahwa itu sesuatu yang tidak benar," katanya.

Meski demikian, kata dia, pasti ada alasan mengapa orang tersebut makan dengan menggunakan tangan kiri apakah karena tangan kanan mengalami luka, cacat, atau mungkin masalah genetik.

"Logikanya pertama begitu. Analogi itu saya gunakan pada tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi sejak masa reformasi pada tahun 1999—2025, hasilnya jalan di tempat," katanya.

Merujuk pada Corruption Perception Index (CPI) Indonesia pada tahun 2023 sama dengan tahun 2024, yakni dengan skor 34.

"Artinya perjuangan kita untuk pemberantasan korupsi masih jalan di tempat, tidak jalan ke arah yang positif," katanya.

Oleh karena itu, dia menilai penghukuman badan untuk tindak pidana korupsi tidak maksimal.

"Maka, denda pengampunan sebagai cara untuk mengatasi stagnasi penanganan korupsi merupakan ide baik. Akan tetapi, kita tidak boleh terjebak pada denda saja. Jangan berhenti gagasannya. Ada terobosan lain," katanya.

Meski demikian, dia tidak ingin publik salah kaprah dalam menerjemahkan denda damai.

"Denda damai bukan berarti koruptor langsung diminta bayar lantas kesalahannya dianggap selesai," ujarnya.

Pakar ekonomi Izza Mafruhah meminta konsep denda damai harus ada perinciannya.

"Jangan sampai kebijakan ini menjadi masalah baru terjadi korupsi lain. Salah satu yang harus dipastikan adalah uang sitaan dari kejahatan koruptor harus jelas larinya ke negara," kata Izza Mafruhah.

Di luar negeri, kata dia, ada denda pengampunan. Akan tetapi, pengambilannya harta yang dikorupsi harus maksimal.

"Sejauh mana regulasi di Indonesia efektif. Dampak bagi perekenomian harus ada," katanya.



 

Pewarta :
Editor: Teguh Imam Wibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2025