Logo Header Antaranews Jateng

Gebyuran Bustaman : Simfoni budaya dan spiritualitas di kota lumpia

Kamis, 20 Februari 2025 15:41 WIB
Image Print
Gebyuran Bustaman. (Yvonne Sibuea)

Semarang (ANTARA) - Kota Semarang, dengan segala pesona sejarah dan budaya yang dimilikinya, kembali mempersembahkan kepada dunia Festival Gebyuran Bustaman, sebuah tradisi yang tidak hanya menjadi kebanggaan warga lokal, tetapi juga lambang kebersamaan dan semangat pelestarian kearifan lokal.

Tahun 2025 ini, festival yang sudah berusia lebih dari tiga abad ini akan digelar pada 21-23 Februari 2025 di Kampung Bustaman, Purwodinatan, Semarang, dengan serangkaian acara yang semakin memukau.

Perayaan ini tidak hanya sekadar ritual tahunan, tetapi sebuah momen spiritual yang terus mengalir di dalam darah masyarakat Semarang.

Sejak pertama kali dirintis pada tahun 1742 oleh Kyai Bustam, tradisi Festival Gebyuran Bustaman telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Semarang. Berawal dari ritual sederhana yang dilakukan oleh Kyai Bustam untuk menyiram cucunya sebagai simbol pembersihan diri, festival ini kini berkembang menjadi perayaan besar yang melibatkan seluruh masyarakat.

Momen ini menandai persiapan menuju bulan suci Ramadhan, dengan inti acara berupa penyucian diri dan pengakuan akan kesalahan yang pernah dilakukan.

Meski sempat terhenti akibat modernisasi, festival ini kembali menggeliat sejak 2012 berkat semangat masyarakat yang ingin melestarikan tradisi ini. Festival Gebyuran Bustaman kini tidak hanya menjadi ajang ritual, tetapi juga simbol keberlanjutan budaya yang terus mekar meskipun di tengah arus perubahan zaman.

Festival Gebyuran Bustaman menyimpan makna mendalam di balik setiap aktivitasnya. Acara dimulai dengan pencoretan wajah menggunakan lima warna: hijau, merah, putih, biru, dan kuning. Masing-masing warna ini melambangkan dosa dan kesalahan dalam kehidupan manusia.

Proses ini merupakan langkah pertama untuk membersihkan hati dan pikiran sebelum melangkah ke acara inti. Setelah itu, air berwarna-warni yang telah disiapkan akan digebyurkan ke tubuh peserta, sebuah simbol pembersihan diri dari beban masa lalu.

Air dalam banyak tradisi keagamaan dan budaya di dunia dianggap sebagai medium penyucian dan pembaruan spiritual. Selain itu, festival ini juga mempererat hubungan antarwarga, tanpa memandang status sosial, sebagai bentuk kebersamaan yang tak terpisahkan dari tradisi ini.
 
Selain di Indonesia, ada beberapa tradisi serupa yang juga menggunakan unsur air dan warna dalam ritualnya. Di Thailand, festival Songkran yang dikenal dengan perang air merayakan pergantian tahun dalam kalender tradisional mereka.

Seperti Festival Gebyuran Bustaman, Songkran juga berfungsi sebagai momen penyucian diri dan mempererat hubungan keluarga serta masyarakat.

Di India, Holi, festival warna yang merayakan kemenangan kebaikan atas kejahatan, juga memiliki kemiripan dengan festival ini, di mana warna-warni menjadi simbol pembersihan dan kebersamaan.

 Hal ini menunjukkan bahwa tradisi yang mengusung nilai-nilai spiritual dan sosial ini bukan hanya milik satu budaya saja, tetapi memiliki esensi universal yang bisa ditemukan di berbagai penjuru dunia.

Semarang, dengan keanekaragaman budaya yang dimilikinya, kini tengah berusaha menjadikan Festival Gebyuran Bustaman sebagai daya tarik wisata unggulan. Melalui kolaborasi antara pemerintah kota, komunitas budaya, dan industri pariwisata, festival ini semakin dikenal baik di tingkat nasional maupun internasional.

Partisipasi masyarakat, khususnya generasi muda, dalam festival ini juga membuka peluang bagi pengembangan ekonomi kreatif, seperti dalam bidang fashion, seni, kuliner, dan lainnya. Dengan semakin banyaknya pengunjung yang tertarik untuk merasakan langsung festival ini, diharapkan dapat memberi dampak positif bagi sektor pariwisata lokal dan perekonomian kreatif Semarang.

Selain itu, festival ini juga menjadi wadah untuk menjaga dan merawat warisan budaya agar tetap hidup dan relevan di era modern.
Di tengah bonus demografi yang sedang dialami Indonesia, di mana mayoritas penduduknya berusia produktif, melestarikan tradisi budaya seperti Festival Gebyuran Bustaman menjadi tanggung jawab kolektif semua kalangan.

Generasi muda, sebagai penerus bangsa, memiliki kewajiban besar untuk tidak melupakan atau mengabaikan akar budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Tradisi seperti Gebyuran Bustaman tidak hanya mengajarkan nilai kebersamaan, tetapi juga membangun kesadaran akan pentingnya melestarikan budaya lokal sebagai identitas bangsa.

Dalam menghadapi tantangan globalisasi, budaya lokal seringkali terpinggirkan oleh pengaruh budaya asing yang lebih dominan. Oleh karena itu, sangat penting bagi generasi muda untuk terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan seperti ini.

 Festival Gebyuran Bustaman menjadi sarana yang sangat efektif untuk mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai budaya kepada anak muda, agar mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga menjadi pelaku yang menjaga dan mengembangkan budaya Indonesia.

Dengan begitu, festival ini bukan hanya menjadi ajang perayaan semata, tetapi juga gerakan sosial yang bertujuan untuk menciptakan kesadaran dan kebanggaan terhadap warisan budaya yang ada. Melalui peran aktif kaum muda, budaya tradisional seperti Gebyuran Bustaman dapat terus berkembang dan menjadi bagian integral dari perjalanan sejarah bangsa.
 
Tahun ini, ada sesuatu yang baru dalam Festival Gebyuran Bustaman. Sebelumnya, acara gebyuran hanya digelar dengan ritual penyucian, namun kali ini, sehari sebelum acara utama, akan diadakan  serangkaian  kegiatan yang memamerkan kreativitas seni dan budaya, seperti street art, fashion show, serta penampilan musik jalanan. Kegiatan ini akan menghadirkan  ekspresi  seni  dari para artisan lokal maupun nasional

Di bawah koordinasi Samuel Wattimena (Anggota DPR RI Komisi VII), festival ini bekerja sama dengan berbagai pihak seperti Kemenpar, Kemenparekraf, Kemen UMKM, serta Hysteria, yang memberikan sentuhan yang fresh dan berbeda pada festival ini.
 
JADWAL ACARA FESTIVAL GEBYURAN BUSTAMAN 2025

Festival ini berlangsung selama lima hari, dengan berbagai acara yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat:
  Hari Pertama (15 Februari 2025): Diskusi interaktif dan seminar yang membahas isu-isu penting tentang pengembangan budaya dan pariwisata.
  Hari Kedua (20 Februari 2025): Acara keagamaan dan ritual di musholla Kampung Bustaman, memperingati Maulid Nabi dan Arwah Jama'.
  Hari Ketiga (21 Februari 2025): Ziarah ke makam Kyai Kertoboso Bustam dan kegiatan sosial lainnya.
  Hari Keempat (22 Februari 2025): Kirab budaya dan parade dengan kostum unik dan busana khas Kampung Bustaman, sebagai simbol kebersamaan.
  Hari Kelima (23 Februari 2025): Puncak acara dengan perang air yang diawali dengan simbolisasi tamu undangan dan pemangku adat kampung.

Selain itu, Festival Gebyuran Bustaman 2025 juga menampilkan berbagai penampilan musik dan tari, seperti dari grup Schelper, Prapatan Hip-hop, dan Band Koes Plus, serta pertunjukan tari tradisional seperti Topeng Ireng Kaya Rimba dan Tari Gambang Semarang.
 
Melalui Festival Gebyuran Bustaman, Semarang tidak hanya merayakan tradisi yang telah diwariskan selama tiga abad, tetapi juga menegaskan pentingnya menjaga warisan budaya sebagai identitas bangsa. Tradisi ini adalah simbol kekuatan kebersamaan yang mampu menjembatani perbedaan antarwarga, mempererat hubungan sosial, dan mengingatkan kita akan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan.

Mari kita dukung dan lestarikan festival ini, agar Festival Gebyuran Bustaman terus berkembang menjadi magnet budaya yang tidak hanya berharga bagi masyarakat Semarang tetapi juga Indonesia.

 




Editor: Teguh Imam Wibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2025