
Prof. Izzuddin tawarkan solusi penyatuan awal-akhir Ramadhan

Semarang (ANTARA) - Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia Prof Dr H Ahmad Izzuddin menyebut bahwa
perbedaan yang biasa terjadi pada penentuan awal dan akhir Ramadhan selama ini lebih karena disebabkan perbedaan makna rukyah (rukyat).
“Pada dasarnya perintah untuk kita memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan itu di antaranya ada hadis Bukhari-Muslim. Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal dan jikalau terhalang mendung, maka sempurnakan bulan syakban atau Ramadhan 30 hari,” katanya dalam Talkshow Ramadan dengan tema “Mengapa Awal Akhir Ramadan Bisa Berbeda” di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Minggu (2/3/2025).
Dalam pertunjukan wicara yang dihadiri ratusan orang itu, Izzuddin mengungkapkan bahwa sebagian golongan memahami harus dengan pengamatan, baik secara langsung maupun dengan alat seperti teleskop atau kamera.
“Golongan yang lain bisa dengan pemaknaan secara teori bahwa hilal atau bulan sudah ada dalam posisi secara perhitungan, secara matematika bisa ditentukan. Kemudian muncul perbedaan antara metode hisab dengan rukyatul hilal secara langsung,” ungkapnya seperti dalam rilis MAJT.
Nurhadi, peserta dari Banten, meminta
solusi agar ada titik temu antara metode hisab dan rukyat. “Dengan adanya titik temu kedua metode ini, diharapkan tidak ada lagi perbedaan diawal Ramadhan di Indonesia ,” katanya.
Menanggapi pertanyaan itu, Izzuddin mengatakan, terdapat dua cara, yaitu pertama, perlu ada kemauan bersama dari masing-masing ormas membangun kesepakatan untuk membangun kriteria bersama. “Kemudian, kita tinggalkan kriteria masing-masing,” katanya.
Kedua, perlu ada kesepakatan siapa yang diberi wewenang untuk mengisbatkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah di Indonesia.
“Kalau dua kesepakatan ini bisa dilakukan, saya yakin pelan-pelan akan bisa bersama-sama dalam mengawali dan mengakhiri bulan Ramadan,” jelas Ketua panitia Gebyar Ramadan 1446 H MAJT itu.
Meski demikian, jelas Izzuddin, dalam stigma fikih berbeda itu boleh, namun sebenarnya konsep fikihnya cukup jelas yaitu kalau berbeda, tidak perlu dipublikasikan. Dia menilai, pemerintah melalui Kementerian Agama sudah berupaya maksimal sehingga ada yang disebut dengan pelaksanaan Sidang Isbat Pemerintah. ***
Pewarta : Zaenal
Editor:
Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2025