Logo Header Antaranews Jateng

Apa itu trading halt dan apa dampaknya?

Selasa, 18 Maret 2025 15:57 WIB
Image Print
ilustrasi- Seorang pria memantau pergerakan saham melalui gawainya di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (21/2/2025). Pada penutupan perdagangan akhir pekan IHSG ditutup pada level 6.803 atau naik 0,22 persen. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/rwa/pri.

Jakarta (ANTARA) - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan tajam yang menyebabkan Bursa Efek Indonesia (BEI) atau Indonesia Stock Exchange (IDX) memberlakukan mekanisme penghentian perdagangan sementara atau yang dikenal sebagai trading halt.

Keputusan ini bukanlah langkah yang diambil secara tiba-tiba, melainkan sudah diatur dalam peraturan bursa sebagai bagian dari sistem perlindungan pasar.

Trading halt diberlakukan agar perdagangan tidak semakin anjlok akibat kepanikan, sekaligus memberikan waktu bagi investor untuk mencerna situasi dan mengambil keputusan dengan lebih rasional.

Mekanisme trading halt bukan hanya diterapkan di Indonesia, tetapi juga di banyak bursa saham di dunia, termasuk Amerika Serikat, China, Jepang, dan Korea Selatan.

Fungsinya sama, yaitu sebagai rem otomatis untuk menghindari jatuhnya indeks secara berlebihan dalam waktu singkat.

Sejarah menunjukkan bahwa pasar saham cenderung bereaksi secara emosional terhadap berita buruk, sehingga mekanisme ini membantu menenangkan situasi dan mencegah aksi jual yang lebih besar.

Dalam sistem perdagangan di Indonesia, trading halt dipicu oleh beberapa kondisi. Jika IHSG mengalami penurunan lebih dari 5 persen dalam satu sesi perdagangan, maka bursa akan menghentikan perdagangan selama 30 menit.

Jika setelah perdagangan dibuka kembali IHSG masih mengalami penurunan lebih dari 10 persen, maka perdagangan akan dihentikan kembali selama 30 menit.

Jika koreksi terus berlanjut hingga lebih dari 15 persen, maka perdagangan dapat dihentikan hingga akhir sesi atau bahkan diperpanjang ke hari berikutnya dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Dalam kasus terbaru, IHSG mengalami koreksi lebih dari 6 persen dalam satu hari, yang langsung memicu mekanisme trading halt selama 30 menit.

Kejadian ini menarik perhatian banyak investor, terutama bagi mereka yang baru pertama kali mengalami situasi ini.

Fenomena ini juga mengingatkan pasar pada kejadian serupa pada Maret 2020, saat pandemi COVID-19 mengguncang pasar keuangan global dan membuat perdagangan di BEI dihentikan beberapa kali dalam satu bulan.


Kombinasi faktor

Penyebab utama dari penurunan tajam IHSG kali ini adalah kombinasi dari faktor domestik dan global.

Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman menyampaikan bahwa volatilitas IHSG lebih disebabkan oleh berbagai faktor dari tingkat global.

Menurutnya, kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) terhadap negara mitra dagangnya telah menyebabkan dampak negatif ke berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.

Dari sisi eksternal ini memang tekanan cenderung berasal dari ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi, kebijakan moneter ketat yang diterapkan bank sentral utama dunia, serta kondisi geopolitik yang bergejolak.

Namun, tekanan besar juga datang dari faktor domestik, terutama serangkaian kebijakan ekonomi yang dianggap kontroversial oleh pasar.

Investor domestik dan asing semakin khawatir terhadap stabilitas ekonomi Indonesia setelah sejumlah keputusan yang mempengaruhi sektor keuangan dan perbankan.

Pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut saham sebagai bentuk perjudian telah memicu reaksi negatif dari pasar.

Pasar modal sangat bergantung pada kepercayaan investor, dan pernyataan semacam ini dapat menimbulkan ketidakpastian yang berujung pada aksi jual besar-besaran.

Selain itu, sejumlah kebijakan juga dianggap berpengaruh terhadap sentimen pasar termasuk di antaranya penghapusan pencatatan utang program, yang memunculkan kekhawatiran terhadap transparansi dan kesehatan keuangan perbankan nasional, terutama bagi bank yang memiliki eksposur besar terhadap kredit UMKM.

Ditambah lagi dengan kebijakan penghapusan utang UMKM, investor semakin khawatir akan dampak jangka panjangnya terhadap profitabilitas bank.

Pasar juga bereaksi terhadap rencana pembentukan 80.000 koperasi desa melalui skema pendanaan sebesar Rp400 triliun dari bank BUMN.

Investor melihat potensi risiko kredit macet yang tinggi dari program ini, yang dapat semakin membebani sektor perbankan nasional.

Jika tidak ada mekanisme mitigasi risiko yang jelas, hal ini bisa berpotensi mengganggu stabilitas sektor keuangan dalam jangka panjang.

Kombinasi dari faktor-faktor ini membuat IHSG mengalami aksi jual besar-besaran, terutama di sektor perbankan, yang selama ini menjadi penopang utama indeks.

Saham-saham unggulan seperti BMRI, BBRI, BBCA, dan BBTN mengalami koreksi tajam dalam beberapa bulan terakhir, dengan beberapa saham anjlok lebih dari 40 persen.

Ini memberikan dampak domino pada sektor lainnya, termasuk sektor teknologi, bahan baku, properti, dan energi, yang juga mengalami koreksi signifikan.


Instrumen penting

Dalam situasi seperti ini, trading halt menjadi instrumen penting untuk mencegah kejatuhan yang lebih dalam dan memberikan waktu bagi pasar untuk menenangkan diri.

Penghentian sementara perdagangan memungkinkan investor untuk mengkaji ulang strategi mereka, sekaligus memberikan kesempatan bagi otoritas pasar dan pemerintah untuk merespons kondisi ini dengan lebih baik.

Meskipun terjadi tekanan besar, investor sebaiknya tidak langsung panik. Dalam sejarahnya, pasar modal telah mengalami banyak guncangan serupa, tetapi selalu berhasil pulih dalam jangka panjang.

Krisis finansial 1998, krisis subprime mortgage 2008, dan trading halt akibat pandemi COVID-19 pada 2020 adalah beberapa contoh bagaimana pasar bisa kembali bangkit setelah melewati masa-masa sulit.

Dalam jangka pendek, langkah yang perlu diambil oleh pemerintah dan otoritas keuangan adalah memperkuat komunikasi dan memberikan kejelasan mengenai kebijakan ekonomi yang diterapkan.

Kepercayaan investor harus dipulihkan dengan menunjukkan komitmen terhadap stabilitas ekonomi dan transparansi dalam kebijakan fiskal maupun moneter.

Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan juga perlu memastikan bahwa likuiditas pasar tetap terjaga, sehingga tekanan jual yang berlebihan dapat diredam.

Bagi investor, momen seperti ini bisa menjadi peluang untuk masuk ke saham-saham berkualitas yang sedang berada di level harga yang lebih rendah.

Investor jangka panjang sering memanfaatkan kondisi seperti ini untuk melakukan akumulasi aset, dengan mempertimbangkan faktor fundamental perusahaan yang masih solid.

Pasar saham selalu bergerak dalam siklus, dan penurunan tajam sering kali menjadi awal dari fase pemulihan yang lebih kuat.

Ke depan, stabilitas pasar akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah dan regulator menangani situasi ini.

Jika kebijakan yang lebih kredibel dan pro-investor dapat diterapkan, maka pemulihan pasar bisa terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan.

Sebagai respons jangka pendek, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Sufmi Dasco Ahmad ditemani Ketua Komisi XI DPR RI Muhamad Misbakhun serta jajaran anggota DPR lainnya melakukan kunjungan ke Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa (18/03) siang.

Ketua Komisi XI DPR RI Muhamad Misbakhun menyampaikan kunjungan itu sebagai bentuk dukungan DPR RI terhadap BEI dan pasar modal Indonesia.

Dalam kondisi seperti ini memang yang terpenting bukanlah panik, melainkan mengambil keputusan yang rasional dan berbasis data.

Dengan strategi yang tepat, pasar saham Indonesia masih memiliki peluang besar untuk kembali ke jalur pemulihan dan pertumbuhan.


Editor: Slamet Hadi Purnomo

Pewarta :
Editor: Edhy Susilo
COPYRIGHT © ANTARA 2025