Memperkuat Bangunan Perdamaian Melalui Dialog Antariman
Minggu, 18 Maret 2012 15:19 WIB
Dialog lintas-iman tingkat internasional yang berlangsung selama lima hari mulai Minggu (11/3) hingga Kamis (15/3) ini diikuti 15 negara, termasuk Indonesia dengan sekitar 140 peserta.
Acara ini buah dari kerjasama yang baik antara Kementerian Luar Negeri RI, Kementerian Agama RI, dan pemerintah daerah setempat (Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang).
Tidak sekadar dialog, para peserta juga diajak berkunjung ke tempat-tempat ibadah yang ada di Kota Semarang hingga ke Masjid Menara Kudus.
Di Kota Semarang terdapat Masjid Agung Jawa Tengah, Kelenteng Sam Poo Kong, Gereja Katedral, Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel yang dikenal dengan Gereja Blenduk berada di Kawasan Kota Lama, dan Vihara Buddhagaya Watugong.
Beragamnya agama dan tempat ibadah yang ada di Kota Semarang mampu menjadi salah satu bukti bahwa di Indonesia masyarakatnya benar-benar mampu menerapkan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Keanekaragaman di Indonesia, salah satunya dapat dilihat di Kota Semarang, yang bagi sebagian delegasi "Regional Interfaith Dialog" merupakan hal yang sangat menarik seperti diakui oleh Executive Director Australian Centre for Christianity and Culture Rev. Professor James Haire.
"Saya terkesan dengan begitu kuat kerukunan antarumat beragama dan sangat harmonis. Dapat dilihat ada masjid, kelenteng, vihara, gereja untuk umat Katolik dan Protestan. Saya heran, semua agama sangat baik berbeda dengan masa Orde Baru," katanya.
Indonesia di Zaman Orde baru, pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas berbau kebudayaaan dan tradisi Tionghoa di Indonesia, sehingga kelenteng yang menjadi tempat ibadah terpaksa mengubah nama dan menaungkan diri menjadi vihara yang merupakan tempat ibadah agama Budha.
Pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari agama yang diakui.
Akan tetapi di zaman orde reformasi, pemerintah mengakui Agama Konghucu sebagai salah satu agama yang diakui selain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha.
Di Kota Semarang, para delegasi bahkan dapat dengan leluasa melihat patung Laksamana Cheng Ho yang merupakan simbol harmonisasi umat beragama dalam kehidupan sehari-hari untuk saling menghargai dan menghormati.
Patung yang dimaksudkan untuk menambah kesempurnaan kelenteng sebagai potensi wisata tidak hanya domestik tetapi juga mancanegara ini tingginya mencapai 12,7 meter (patung 10,7 meter ditambah dengan tempat patung dua meter).
Selain di Kota Semarang, delegasi "Regional Interfaith Dialogue" juga terkesan dengan Masjid Menara Kudus sekaligus masyarakat dan komunitas Islam setempat yang menghargai umat Hindu dengan tidak menyembelih sapi.
"Saya pertama kali ke Indonesia dan saya melihat komunitas Islam yang menghormati agama Hindu. Ini adalah Interfaith yang benar-benar nyata menghormati agama lain," kata Dilip G Chirmuley, delegasi dari Australia.
Terorisme
Kunjungan ke tempat-tempat ibadah merupakan rangkaian membangun komunitas bersama untuk belajar dan bagian dari tema kegiatan "6th Regional Interfaith Dialogue" yakni "Memperkuat Kolaborasi Komunitas dalam Menciptakan Perdamaian dan Keamanan Dunia" antaragama dalam aksi.
Tema tersebut berbeda dengan tema-tema sebelumnya seperti pada kegiatan pertama Regional Interfaith Dialogue yang dilaksanakan di Yogyakarta tahun 2004 yang mengangkat soal terorisme.
"Pada dialog pertama kali tahun 2004 di Yogyakarta, masih di bawah bayang-bayang kejadian terorisme," kata Prof Paul Morris, delegasi dari New Zealand (Victoria University of Wellington New Zealand).
Pertemuan tahun 2004, berada di bawah bayang-bayang terorisme setelah peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat (11 September 2001) yang memakan korban 3.000 orang.
Juga Tragedi Bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang, kemudian Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003 mengakibatkan 11 orang meninggal dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.
Kemudian Bom Kedubes Australia, 9 September 2004. Ledakan besar terjadi di depan Kedutaan Besar Australia yang mengakibatkan lima orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.
Untuk dialog kali ini sudah lebih dewasa, tema sudah berubah dengan mengangkat mengenai bagaimana menciptakan perdamaian dan keamanan dunia dengan aksi tidak sekadar dialog.
Delegasi dari Australia, Dilip G Chirmuley menambahkan bahwa dengan Regional Interfaith Dialogue dapat menjadi ajang untuk memasukkan pentingnya nilai-nilai agama dan menegaskan bahwa nilai-nilai yang dibawa teroris tidak benar.
"Nilai-nilai dari teroris bukan mewakili dari komunitas agamanya, sehingga komunitas tidak perlu mengakuinya," katanya.
"Plan of Action"
Kegiatan "6th Regional Interfaith Dialogue" menghasilkan "Semarang Plan of Action" sebagai perwujudan komitmen untuk melaksanakan sejumlah kegiatan untuk peningkatakan kesepahaman, toleransi, dan saling menghargai keberagaman bagi penguatan perdamaian serta keamanan kawasan.
"Semarang Plan of Action" ini dibuat dengan mempertimbangkan deklarasi-deklarasi terdahulu dalam kegiatan yang sama yakni di Yogyakarta, Indonesia (2004); Cebu, Filipina (2006); Waitingi, New Zealand (2007); Phnom Penh, Kamboja (2008); dan Perth, Australia (2009).
Rencana aksi tersebut akan melanjutkan upaya dialog, kemitraan, dan kerjasama yang fokus pada kegiatan pada tatanan akar rumput, pelatihan calon pemimpin muda, pembangunan sumber daya manusia, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dengan mengoptimalkan Regional Interfaith Dialogue dengan komunikasi dan kolaborasi.
Isi dari rencana aksi tersebut meliputi lima aspek yakni aksi untuk para pemimpin kelompok-kelompok agama; untuk masyarakat sipil; pemuda; pendidikan; serta rencana untuk media dan komunikasi.
Elga Joan Sarapung, delegasi dari Indonesia mengatakan dari masing-masing dari lima aspek tesebut ada usul atau program konkritnya.
Perwakilan dari New Zealand lainnya Todd Nachowitz mengatakan bahwa "Interfaith Dialogue" ini sangat penting di antaranya tidak hanya untuk meningkatkan toleransi tetapi juga dapat meningkatkan keterlibatan aktif dari para pemimpin komunitas Agama.
Hasil dari Regional Interfaith Dialogue tersebut, Indonesia tahun ini akan langsung merealisasikannya.
Ada dua rencana aksi yang akan direalisasikan yakni aksi untuk pemuda dan aksi untuk media dan komunikasi.
Terkait dengan aksi untuk pemuda adalah dengan pemberian beasiswa kepada calon pemimpin agama yang masih muda dari 15 negara peserta Regional Interfaith Dialogue untuk belajar mengenai keberagaman agama.
Direktur Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Indonesia Kusuma Habir menjelaskan program beasiswa selama tujuh minggu (Mei hingga Juli 2012) tersebut akan digelar di Yogyakarta, Indonesia.
Para calon pemimpin agama muda tersebut akan mengikuti banyak mengikuti acara dan pertemuan dengan sejumlah komunitas yang ada di Yogyakarta.
Karena di Kota Pelajar tersebut ada pusat-pusat studi dan mereka juga akan diajak berkunjung ke Kota Semarang untuk melihat keanekaragaman agama dan tempat ibadah yang ada di Ibu Kota Jawa Tengah ini.
Harapannya, para calon pemimpin agama akan dapat banyak belajar, mengetahui, dan mengenal antarkomunitas serta membangun jaringan dan akan dapat berbagi pandangan mengenai budaya dan keberagaman dari negara lain, hingga mencari solusi terhadap sebuah masalah.
Realisasi rencana aksi berikutnya adalah rencana aksi untuk media dan komunikasi dengan akan menggelar "workshop" untuk 15 wartawan muda dari 15 negara peserta "Regional Interfaith Dialogue" untuk memberikan pemahaman kepada para wartawan pentingnya untuk ikut menjaga perdamaian dunia.
"Para wartawan akan mendapatkan pemahaman mengenai situasi terkait dan perlunya menyampaikan informasi kepada masyarakat dengan cara seimbang, tidak hanya satu sisi serta bisa menjadi solusi. Waktunya semester kedua tahun ini dan tempatnya belum ditentukan," demikian Kusuma Habir.
Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025