Dambakan Pemimpin "Nggetih Pinilih"
Jumat, 6 April 2012 18:13 WIB
Umat Paroki Kebonarum Klaten dalam memperingati wafatnya Isa Almasih dengan membuat salib sepanjang tujuh meter dari bahan bekas seng atau kaleng bekas mewarnai renungan peringatan yang dikenang sebagai Hari Jumat Agung ini.
Pada peringatan yang dilakukan kompleks Paroki Kebonarum tersebut diawali dengan merenungkan kisah sengsara Isa Almasih atau Yesus Kristus, kemudian arak--arakan jalan salib yang diiringi alunan gamelan dan suasana adat jawa.
Umat Paroki kebonarum menjalani kelihatan khusuk dan meresapi seperti kisah sengsara yang dijalani oleh Yesus ketiha disalib.
Umat Paroki tersebut memperagakan secara dramatis kisah sengsara Yesus di setiap pemberhentian jalan salib, dengan dimaknai dalam konteks renungan yang baru. Betapa angkara murka dunia telah membinasakan hati nurani dan belas kasih manusia.
Pada kisah tersebut, hingga akhirnya datanglah Yesus Kristus ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia.
Meskipun, Yesus harus mati disalib, tetapi dia mampu bangkit dari kematian dan mengalahkan selaga kuasa jahat danm angkara murka dunia.
Hal tersebut sebuah peragaan atau ekspresi yang dilakukan sejumlah umat Paroki Kebonarum sebagai perenungan kisah sengsara Yesus yang dimaknai dalam konteks yang baru.
Menurut Romo Vincentius Kirjito yang memimpin acara perenungan di Paroki Kebonarum Klaten, bahwa Jumat Agung mengenang perjalanan sengsara hingga wafatnya Yesus Kristus.
Prosesi acara tersebut, kata dia, dimaknai untuk menyadarkan bahwa manusia sebetulnya dikarunia suatu semangat dasar perjuang total atau disebut "Nggetih". Hidup ini berpotensi mempunyai perjuang tanpa pamrih.
"Karunia itu, juga ada pada pohon-pohonan dan hewan yang harus mutlak kita bangkitkan," katanya.
Menurut Romo Kirjito prosesi tersebut menyadarkan bahwa manusia dikarunia semangat "Nggetih Pinilih" yang artinya mereka berjuang tanpa pamrih sampai titik darah penghabisan demi keselamatan umat manusia.
"Makna yang kita peroleh marilah kita dalam hidup ini, menghidupi panggilan Nggetih itu, untuk mencari kebahagiaan, keberhasilan, dan kesejahteraan," katanya.
Romo Kirjito mencontohkan, orang tua sudah melakukan nggetih, yakni dengan mendidik anak-anaknya setiap hari hingga menjadi orang yang mandiri.
Selain itu, mereka juga bekerja total untuk menghidupi keluarganya, yakni mau berkorban untuk dicurahkan kepada orang lain.
"Pemimpin atau pejabat seperti setingkat Menteri, DPR, kepala daerah dan lainnya merupakan panggilan untuk melakukan nggetih. Mereka tidak hanya konsumtif, mencari nama atau populiritas dan kekuasaan belaka," katanya.
Manusia hidup bukan hanya untuk kebutuhan sendiri, tetapi juga berbagai dengan orang lain seperti pohon hidup bukan untuk dia sendiri. Namun, pohon berbuah bisa untuk mahluk lainnya.
Menurut dia, panggilan karunia tersebut kini sering tenggelam, karena mereka diberikan iming--iming, pemalas, pengaruh harta, dan kekuasaan oleh hiruk pikuk kehidupan manusia sekarang.
"Bakat alam potensi Nggetih Pinilih sudah ada, sehingga jika mereka melakukan itu akan terpilih sebagai pemimpin di lingkungannya," katanya.
Hal tersebut, kata dia, juga digambarkan oleh Suraji yang membuat patung Yesus disalib dengan bahan kaleng bekas. Barang bekas ini yang sering dilupakan dibuat kembali sebuah karya yang bermakna.
Kenapa yang dibuat salib, karena bertepatan Jumat Agung mengenang wafatnya Yesus. Yang berani mati tetapi untuk hidup. Nilai-nilai ini yang kita angkat menjadi tema "Nggetih Pinilih"," kata Romo Kirjito.
Salah seorang umat yang menggagas pembuatan salib dari kaleng bekas Yustinus Suraji, mengatakan, salib tinggi tujuh meter memaknai seluruh rangkaian perenungan umat. Rumusan makna yang ditetapkan adalah kata dalam Bahasa Jawa "Nggetih Pinilih" yang artinya sanggup berkorban bagi sesamanya hingga berdarah-darah seperti Yesus yang terpilih sebagai umat Allah yang terselamatkan.
"Saya sendiri yang membuat salib itu, dengan tinggi tujuh meter dan lebar tiga koma tiga meter selama 21 hari," kata Suraji.
Menurut dia, bahan yang digunakan mengapa kaleng bekas, karena memanfaatkan barang yang sudah dibuang oleh manusia untuk mendaur ulang menjadi sesuatu yang bermakna atau berguna.
"barang yang tidak berguna kita kembalikan menjadi berguna, hal ini akan mensejahterakan manusia," kata Suraji.
Meskipun, seng atau kaleng bekas tersebut sudah tidak berguna, tetapi dengan semangat total bekerja keras dan berjuang dapat dibuat menjadi salib.
Menurut P.Kasiman Ketua Paguyupan Imus Paroki Kebonarum, jika dimaknai dalam konteks sekarang, bahwa manusia membutuhkan atau mendambakan seorang pemimpin berani Nggetih tanpa pamrih, artinya mau berkorban demi mensejahterakan rakyatnya.
"Kami memang mendambakan pemimpin yang mau berkorban untuk mensejahterakan rakyatnya," katanya.
Menurut dia, tema Nggetih tersebut diawali dilakukan oleh umat Paroki Kebonarum, mereka dapat menjadi tauladan atau pemimpin di keluarga, masyarakat, dan lingkungannya, maka mereka diyakini kehidupan ke depan akan mendapat ketentraman.
"Masyarakat yang berani nggetih di lingkungan, maka mereka dipercaya akan bisa hidup sejahtera," katanya.
Ia menjelaskan, ekspresi perjalanan salib yang digambarkan peragaan kesewenang-wenanganan manusia atau penguasa yang memiliki keinginan dengan memaksa agar dipatuhi.
Menurut dia, salah satu renungan yang diperagakan oleh umat dalam peringatan Wafatnya Isa Almasih itu, antara lain menggambarkan Tuhan yang menciptakan alam dan manusia. Tuhan menghendaki alam seisinya agar dijaga untuk kebutuhan manusia.
Pada perjalanannya, kata dia, kehidupan manusia tergoda dan jatuh dalam dosa tidak ada lagi prioritas komunikasi dengan Tuhan, maka yang terjadi hanya kekejaman dan kekuasaan manusia yang tidak terkendali.
"Pada akhirnya di tempat Yesus disalib, menggambarkan mencari para tokoh sebagai penyelamat atau para pemimpin yang berani berjuang tanpa pamrih untuk menyelamatkan rakyatnya," katanya.
Pewarta : Bambang Dwi Marwoto
Editor:
D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025