Logo Header Antaranews Jateng

Catatan Akhir Tahun - RUU Masuk Prolegnas Hingga Belasan Tahun

Senin, 31 Desember 2012 06:07 WIB
Image Print
ilustrasi


Sebagai contoh RUU mengenai revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berdasarkan informasi dari anggota Komisi III (Bidang Hukum, Perundang-undangan, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan) DPR RI, Eva Kusuma Sundari, selama 12 tahun, RUU itu masih tercantum di dalam Prolegnas, sementara Pemerintah tidak kunjung memberikan drafnya.

Pada tahun ini, lembaga legislatif dan eksekutif hanya mampu menelurkan 30 undang-undang. Berdasarkan nomor urut, secara keseluruhan ada 32 UU. Namun, dua UU pertama, yaitu UU Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengesahan Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir dan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum disahkan pada tahun 2011.

Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri mengatakan bahwa capaian Prolegnas 2012 masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah dan DPR kembali tidak mencapai target Prolegnas, yakni dari target 69 UU hanya 30 RUU yang disahkan menjadi UU sepanjang tahun ini.

Menurut Eva K. Sundari yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, tidak tercapainya target tersebut karena ada masalah dalam penyusunan Prolegnas.

"Sebenarnya ada masalah dalam penyusunan prolegnas. Ambisius, tanpa persyaratan yang jelas. Dan, tidak mengukur 'feasibility'-nya (kemungkinan yang akan terjadi, red.)," katanya.

Ia pun meminta Badan Legislasi (Baleg) DPR RI harus selektif, atau hanya menerima yang bahan-bahannya sudah siap dibahas, yaitu naskah akademik dan draf rancangan undang-undang.

"Prolegnas 2011 dan 2012 setor judul saja diterima sehingga jadi beban," ujarnya.

Eva juga mengemukakan bahwa faktor penghambat dalam pembahasan suatu RUU itu bisa dari Pemerintah atau DPR. Misalnya, revisi UU Keuangan, Peradilan Militer yang diblok dan diboikot Pemerintah sehingga setiap tahun "nongkrong" melulu di Prolegnas. Kemudian, RUU Keamanan Nasional, problemnya ditolak oleh DPR RI.

Hambatan lain, khususnya di lembaga legislatif, menurut Eva, adalah kecakapan para pemimpin Panitia Khusus (Pansus) DPR RI.

Ia mengutarakan bahwa ada di antara mereka yang tidak membuat perencanaan pembahasan secara efisien dan efektif. Akumulasi berbagai persoalan tersebut akhirnya berpengaruh pada produktivitas.

"Jadi, statement DPR malas adalah salah karena yang 'bikin' UU adalah dua pihak, yakni Pemerintah bersama DPR. Yang harus disalahkan Pemerintah juga. Apalagi, setiap RUU punya problem spesifik masing-masing," kata Eva.

Kendati demikian, Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK Ronald Rofiandri menilai capaian 30 UU itu merupakan jumlah terbanyak jika dibandingkan dengan produk dua tahun terakhir, yaitu 16 UU pada tahun 2010 dan 24 UU pada tahun 2011.

Mayoritas Kumulatif Terbuka
Berdasarkan data PSHK, jumlah capaian yang tinggi pada tahun 2012 ternyata tidak seluruhnya merupakan RUU yang bersifat substanstif (nonkumulatif terbuka) karena secara mayoritas merupakan UU kumulatif terbuka, seperti UU yang mengatur mengenai APBN, UU pengesahan perjanjian internasional, dan UU pemekaran wilayah.

Dari 30 UU capaian, 20 UU atau 33 persen di antaranya adalah UU kumulatif terbuka, dan 10 UU (67 persen) merupakan UU nonkumulatif terbuka.

Selain itu, hampir seluruh UU yang disahkan pada tahun 2012 merupakan UU baru, yaitu sebanyak 29 UU, sedangkan UU perubahan hanya satu (UU No. 4 Tahun 2012 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012).

Pada tahun ini, mayoritas UU yang dihasilkan merupakan usul inisiatif dari DPR, yaitu sebanyak 18 UU (60 persen), sedangkan UU yang diusulkan oleh Pemerintah hanya 12 UU (40 persen).

Dari 18 UU yang diusulkan oleh DPR, 12 UU di antaranya (60 persen) merupakan UU pemekaran wilayah, sedangkan UU yang diusulkan oleh Pemerintah didominasi oleh UU perjanjian internasional dan UU terkait dengan APBN, yang memang merupakan kewenangan Pemerintah untuk mengusulkannya.

Dalam proses pembahasannya, 30 RUU tersebut masing-masing melibatkan alat kelengkapan di DPR. Tercatat ada 10 alat kelengkapan yang berhasil menghasilkan UU pada tahun 2012, yaitu Komisi I sebanyak 3 UU, Komisi II (13 UU), Komisi III (2) UU, Komisi IV (1), Komisi VI (2), Komisi VIII (2), Komisi IX (1), Komisi X (1), Komisi XI (3), dan Pansus DPR RI (2).

Sementara itu, alat kelengkapan komisi yang tidak mengeluarkan UU pada tahun 2012 adalah Komisi V dan Komisi VII.

Dari segi pengelompokan substansi UU atau clustering, 30 UU yang disahkan pada tahun 2012 tersebar dalam cluster yang ada. Pembagian cluster yang digunakan dalam hal ini adalah cluster yang biasa digunakan oleh Baleg DPR RI dan cluster yang dibentuk oleh PSHK sendiri.

Berdasarkan cluster Baleg, Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Polhukham) pada posisi pertama sebagai cluster yang memiliki UU terbanyak, yaitu 20 UU.

Cluster itu memiliki UU yang banyak karena berisikan UU pemekaran wilayah yang berjumlah 12 UU. Cluster Ekonomi dan Industri (Ekuin) serta Kesejahteraan Rakyat (Kesra) berada pada posisi berikutnya dengan enam UU dan empat UU.

Clustering versi PSHK, bidang yang mengakomodasi UU pemekaran wilayah pada posisi pertama, yaitu otonomi daerah dengan 13 UU plus UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kemudan, berturut-turut pengelompokan sebagai berikut: Politik Hukum sebanyak 3 UU; Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Perdagangan (3 UU); Kewarganegaraan, Anak, dan Perempuan (3); APBN (3); Hankam (2); Tata Kelola SDA (1); Sosial Budaya (1 UU); Lain-lain (1).



Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025