'Sedekah Kedung Winong' Kuatkan Pembuat Kricak Manual
Minggu, 5 Mei 2013 20:09 WIB
Lelaki yang juga pemuka warga kawasan Candi Borobudur di Dusun Gleyoran, Desa Sambeng, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bernama Pitoyo itu, menjelaskan bahwa setelah peristiwa belasan tahun lalu tersebut masyarakat kemudian memperkuat agenda tradisi budaya tahunan merawat lingkungan Kali Progo di dusun setempat melalui prosesi "Sedekah Kedung Winong".
Kedung Winong sebagai sebutan masyarakat setempat untuk satu ruas Sungai Progo yang melewati Dusun Gleyoran, sekitar 4 kilometer timur Candi Borobudur, di kawasan Pegunungan Menoreh, Kabupaten Magelang. Aliran air di lubuh itu lebih tenang ketimbang tempat lainnya di alur Sungai Progo.
Sebelum Merapi meletus 2010, kedalaman air sungai setempat mencapai sekitar 10 meter, sedangkan pascaerupsi gunung berapi itu disusul dengan banjir lahar secara intensif hingga 2011, kedalamannya menjadi sekitar 3 meter karena banyak kiriman material dari bagian hulu.
Beberapa ikan yang relatif cukup banyak ditemukan warga setempat, khususnya sebelum erupsi Merapi 2010, antara lain, "beong", "wader", "tawes", "tombro", dan "kathing".
Aliran Kali Progo di kawasan setempat menjadi tempat pertemuan sejumlah sungai, seperti Pabelan, Elo, dan Sileng. Aliran air Sungai Pabelan berhulu di Gunung Merapi dan menjadi salah satu jalur utama banjir lahar pascaletusan gunung tersebut pada tahun 2010.
Seorang pemuka warga setempat lainnya, Bandi (56), mengatakan bahwa tradisi "Sedekah Kedung Winong" digelar sejak zaman nenek moyang, untuk memohon kepada Tuhan agar masyarakat selalu beroleh keselamatan, mudah mendapatkan penghidungan, dan terbebas dari segala bentuk musibah.
"Sejak saya kecil sudah ada tradisi ini, setiap bulan sekali warga membawa tumpeng ke Masjid Nurul Huda di dusun kami, untuk tahlilan, lalu disantap bersama. Untuk 'wilujengan" (keselamatan, red.), 'merti' (bersih, red.) dusun, dan melestarikan tradisi," katanya didampingi seorang tokoh warga lainnya, Sujak (55).
Bandi selama 27 tahun menjabat sebagai kepala dusun setempat, dia meletakkan jabatan itu pada tahun 2011.
Warga setempat saat ini berjumlah sekitar 400 jiwa atau 90 kepala keluarga. Sebagian besar warga baik laki-laki maupun perempuan bekerja sebagai pembuat kricak secara manual dengan mengambil batu dari Kedung Winong di aliran Sungai Progo. Mereka juga berkebun, khususnya palawija dan beternak kambing.
Sejak 2006, mereka mengemas tradisi "Sedekah Kedung Winong" secara lebih besar setiap tahun sekali, bertepatan dengan agenda budaya "Ruwat-Rawat Borobudur" yang diprakarsai komunitas Borobudur "Warung Info Jagat Cleguk" pimpinan Sucoro.
Tradisi "Sedekah Kedung Winong" pada tahun 2013 mereka gelar, Minggu (5/5), sebagai rangkaian agenda "Ruwat-Rawat Borobudur" sejak 2 Mei hingga 16 Juni 2013, kerja sama WIJC Borobudur dengan Yayasan Soloensis dan Peguyuban Kepala Desa se-Kecamatan Borobudur.
Sebelum warga setempat diiringi sejumlah grup kesenian tradisional, seperti warok bocah, kuda lumping, dan buto ijo, berprosesi mengusung tumpeng dari dusun setempat menuju Kedung Winong, puluhan lelaki yang telah berumur tua mementaskan "sholawat jawi" di rumah seorang warga, Purwadi.
Tembang berjudul "Ayun-Ayun" (ayo, red.) dalam langgam slendro dan pelog mereka lantunkan dengan iringan tabuhan, antara lain, jedor, terbang, kentongan, dan kendang.
"'Yun ayun, yun sedhandhung, angiyun rasaning ati. Eling-eling ngelingana. Tak eling badan kawula. Badan siji ginawa mati. Aneng ndoya kakehan dosa, aneng akhir dipun siksa. Allah Tuhan ngapura, Allah Tuhan pundi mergine. Mergine teng swarga luwih angel, luwih rumpil. Tatarana rimpilana. Anganggo puji kalawan dhikir'," demikian syair tembang tersebut.
Maksud syair tembang tersebut kira-kira mengingatkan manusia yang kelak akan mati. Jika manusia banyak dosa akan masuk neraka. Jalan ke surga yang tidak mudah, tetap harus ditempuh dengan petunjuk Tuhan dan rajin berdoa.
Rombongan seniman "sholawat jawi" atau "pitutur madya" yang masing-masing berpakaian adat Jawa itu juga ikut prosesi "Sedekah Kedung Winong" menuju Kali Progo.
Sejumlah perempuan tua yang berpakaian kebaya juga ikut dalam prosesi itu, antara lain, membawa "tomblok", wadah dari rangkaian bambu untuk mengangkut batu dan tumpeng.
Beberapa lelaki menggunakan tandu, membawa tumpeng ukuran relatif besar berisi, antara lain, nasi berbentuk gunungan, sayuran, jajan pasar, dan ingkung, sedangkan seorang lelaki bernama Trimo, membawa kendil berisi air kembang, kembang mawar, dan aneka sesaji lainnya berjalan paling depan dalam prosesi tersebut.
Mereka juga menaburkan kembang mawar warna merah dan putih saat prosesi dari dusun setempat menuju Sungai Progo, dalam iringan tabuhan musik tradisional "sholawat jawi".
Sesepuh warga lainnya, Parme (52), memimpin masyarakat setempat untuk berdoa bersama-sama secara islami di tepi Sungai Progo. Selanjutnya Trimo dengan lincah tampak berenang menuju tengah Kedung Winong untuk melarung sesaji di dalam kendil tersebut. Sejumlah orang berpakaian kesenian jatilan mencelupkan beberapa kuda lumping di air sungai setempat.
"Kalau sudah menjalani 'naluri' (tradisi, red.) ini, kami jadi lega untuk terus menjadi pembuat kricak," kata seorang perempuan dusun setempat Susanti (59) dengan didampingi sejumlah perempuan lainnya, Mundariyah (58), Yatmi (60), dan Suramah (39), usai prosesi itu. Prosesi tersebut dilanjutkan pementasan beberapa kesenian tradisional, seperti warok bocah, jatilan, buto ijo, dan buto-butoan.
Mereka adalah bagian dari perempuan setempat yang setiap hari turut bekerja sebagai pembuat kricak secara manual, dengan alat berupa palu dan penjepit batu dari potongan ban bekas, di dusun setempat.
Pekerjaan memecah batu untuk dibuat kricak, bagi kalangan perempuan setempat, sebagai sambilan, sedangkan pekerjaan lainnya sebagai ibu rumah tangga, berkebun, dan mengurus anak-anak mereka.
Harga kricak satu tomblok ukuran kecil Rp1.500, sedangkan ukuran besar Rp3.000. Kricak satu tomblok umumnya seberat 25 kilogram. Kricak produk manual warga setempat, selain untuk bahan bangunan rumah mereka, juga dibeli pihak kontraktor proyek bangunan dan pengusaha depo material bangunan di berbagai daerah, seperti Yogyakarta, dan sejumlah tempat di Magelang.
"Kricak buatan manual lebih baik kualitasnya daripada gilingan. Nempelnya untuk cor bangunan lebih baik. Kami tahu betul, dahulu rumah kami dari dinding 'gedhek' (anyaman bambu, red.), sekarang dengan tembok batu dan cor dari batu kricak buatan sendiri," kata Susanti dalam bahasa Jawa.
Jika di dusun setempat dibangun instalasi pemecah batu menjadi kricak menggunakan mesin penggiling, dipastikan banyak warga di daerah itu kehilangan penghasilan dari pekerjaan membuat kricak secara manual.
"Kami tidak mempunyai pekerjaan itu lagi kalau ada 'depo' (pabrik kricak, red.). Sejak dahulu warga sini menolak karena kami ini tetap seperti ini membuat kricaknya," katanya.
Tradisi "Sedekah Kedung Winong" selain wujud doa, khusus untuk keselamatan masyarakat dari musibah dan pelestarian lingkungan alam kawasan Sungai Progo, ternyata juga menguatkan jalan budaya ekonomi mereka, yakni mempertahankan cara manual memproduksi kricak.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025