Turun dari Shalat Id lalu "Gending-Gending Caosan"
Jumat, 9 Agustus 2013 10:00 WIB
Kegembiraan mengiringi taburan balon tradisional yang mengudara, dipekikkan ratusan masyarakat laki-laki, perempuan, anak-anak, remaja, dan pemuda di halaman Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sekitar tujuh kilometer barat daya puncak Gunung Merapi.
Mereka baru saja turun dari shalat Id dengan imam dan khatib, Ahmad Latief (22), seorang ustadz berasal dari Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang. Shalat Id mereka gelar secara takzim di halaman padepokan seni budaya yang berdiri pada 1937.
Shalat Id oleh warga Dusun Tutup Ngisor berlangsung selama beberapa saat, sejak sinar matahari Kamis (8/8) pagi itu, menyembul dari posisi yang seakan persis di antara Gunung Merapi dengan Merbabu. Gema takbir dari pelantang di mushalla setempat juga membuat suasana takzim makin membalut dusun itu.
Pesan-pesan tentang jalan kebaikan disampaikan Sang Ustadz berusia muda itu saat shalat Id warga setempat, antara lain pentingnya mensyukuri kehidupan sebagai kaum Muslim, peningkatan ketakwaan terhadap Allah SWT, menjauhi segala larangan-Nya, dan menjalankan perintah-Nya secara ikhlas hati.
"Pagi ini kita mendapat kenikmatan sehingga bisa menjalankan shalat Idul Fitri di tempat ini. Rasullulah (Nabi Muhammad SAW, red) mengajarkan kebaikan, saling tolong-menolong sebagai sifat alami manusia, menjaga kebersamaan, dan menghargai perbedaan. Hari raya ini menjadi lembaran hidup baru untuk melangkah ke hari mendatang," kata Ustadz Ahmad saat khutbah menggunakan bahasa Jawa.
Turun dari ibadah itu, Kepala Dusun Tutup Ngisor Martejo kemudian memimpin masyarakat untuk menggelar bancakan yang mereka sebut sebagai "wilujengan".
Setiap warga kembali ke rumah masing-masing, lalu para kepala keluarga datang ke rumah kepala dusun setempat dengan membawa wadah berisi nasi, sayuran, dan lauk-pauk, sebagai sarana "wilujengan".
Warga setempat yang hampir semua hidup dari pertanian sayuran di kawasan Gunung Merapi itu, kemudian juga secara bersama-sama bergembira melepas balon tradisional dari halaman padepokan yang didirikan oleh Romo Yososudarmo (1885-1990).
Lebaran tahun ini, mereka melepas tiga balon tradisional yang salah satunya berukuran raksasa, dengan diameter sekitar tujuh meter dan tinggi sekitar 10 meter, dari halaman padepokan.
Balon-balon tradisional mereka turut mewarnai langit biru cerah di kawasan gunung berapi di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta itu.
Keluarga padepokan yang saat ini dipimpin oleh Sitras Anjilin, dengan mengenakan pakaian adat Jawa, yakni surjan, bebet, dan belangkon, bersila di depan perangkat gamelan yang tertata rapi di depan panggung terbuka.
Mereka bersiap menjalani tradisi penabuhan gamelan yang dinamai "Gending-Gending Caosan", setelah selesai rangkaian shalat Id hingga pelepasan balon tradisional oleh masyarakat setempat.
Persembahan "Gending-Gending Caosan" oleh keluarga Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor berlangsung sejak 1950. Penabuhan gamelan setelah warga turun dari shalat Id itu, menjadi bagian proses pembentukan agenda kesenian dan kebudayaan yang dirintis Romo Yososudarmo.
Suasana padepokan terkesan hening dan damai oleh lantunan gamelan yang mereka tabuh, setelah shalat Id, sedangkan warga lainnya memulai berhalalbihalal di rumah-rumah dusun di tepian alur Kali Senowo, yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi.
Sedikitnya 11 gending gamelan mereka lantunkan, yakni "Ladrang Wilujeng", "Ketawang Subakastawa", "Sri Kacaryos", "Sri Rejeki", "Sri Dandang", "Sri Katon", "Puspawarna", "Asmarandana", "Uler Kambang Jineman", "Kutut Manggung", dan "Pangkur Lombo".
Sebanyak 10 gending merupakan karya para pujangga keraton para masa lalu, sedangkan gending "Sri Dandang" dengan laras pelog patet "sanga" (sembilan, red), kata Sitras, sebagai karya Romo Yososudarmo, untuk permohonan warga agar selalu beroleh keselamatan dan sebagai tolak balak.
Mereka yang menabuh gamelan "Gending-Gending Caosan" itu, antara lain Untung, Markayun (demung), Martejo (bonang), Marwondo, Widyo Sumpeno, Saparno (saron), Danang (peking), Suwonto (gong), Marmujo (kenong), Sugiyono (slentem), dan Darmawan (kendang).
Sejumlah sajian gending, mereka ikuti dengan lantunan tembang-tembang berbahasa dan langgam Jawa.
"'Parabe Sang Asmarabangun. Sepat dumbo kalioya. Ojo dolan lan wong priyo. Gurameh nora prasojo'," demikian salah satu tembang yang berulang-ulang dilantunkan oleh Marmujo dan Suwonto sambil masing-masing memainkan kenong dan tabuhan gong.
Syair berupa "wangsalan" atas tembang itu, menurut Sitras yang juga salah satu petinggi kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) tersebut, untuk menyebut tentang tokoh legenda Panji Asmarabangun sebagai seorang lelaki, sedangkan ikan sepat yang berukuran besar adalah gurami.
Sajian "Gending-Gending Caosan" usai warga shalat Id memang tak lepas dari permohonan doa dan ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maka Kuasa atas kehidupan di Bumi Merapi.
"Yang penting juga, ini menjadi bagian dari persembahan kami kepada leluhur dan tentunya jalan kebudayaan yang kami lakukan," kata Sitras Anjilin.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024