Di Balik LSM Penerima Bantuan Asing
Jumat, 20 September 2013 11:57 WIB
Lepas benar atau tidak tudingan miring tersebut, pernyataan Ketua Komisi IV DPR RI Mochammad Romahurmuziy di Jakarta, Kamis (19/9), patut menjadi renungan anak bangsa untuk lebih menggelorakan lagi semangat kebangsaan.
Soal nasionalisme ini mengemuka ketika Mochammad Romahurmuziy yang juga Sekretaris Jenderal DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyampaikan responsnya atas aktivitas lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing, seperti Greenpeace dan World Wildlife Fund (WWF).
Romahurmuziy lantas mengingatkan LSM penerima bantuan asing untuk mengedepankan semangat kebangsaan. Nasionalisme lembaga swadaya masyarakat harus menjadi prioritas agar bisa melihat segala sesuatu lebih jernih.
"Jadi, tidak asal bekerja berdasarkan pesanan negara yang memberikan pendanaan bagi NGO (non-governmental organization, red.) bersangkutan," kata Romahurmuziy.
Direktur Eksekutif Yappika (Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi) Fransisca Fitri pun mengakui bahwa keberadaan dana atau bantuan asing bagi sebuah organisasi masyarakat sipil sering kali menimbulkan persepsi negatif.
Ada semacam tuduhan bahwa jika suatu organisasi menerima bantuan asing, organisasi tersebut menjalankan agenda atau memajukan kepentingan pihak luar negeri itu.
Kemudian ada pula yang mengkhawatirkan bahwa dana asing merupakan sarana untuk mengintervensi dinamika kehidupan sosial politik dalam negeri.
Bantuan asing dipandang sebagai instrumen politik luar negeri suatu negara, khususnya untuk memajukan kepentingan ekonomi-politik negara bersangkutan.
"Dengan argumen 'self-interest', tindakan agen sosial--dalam hal ini negara--selalu didasarkan pada perhitungan untung rugi, hal ini bisa jadi benar adanya," kata Iko, sapaan akrab Fransisca Fitri.
Namun, yang sering terlewat adalah argumentasi etis yang mendasari bantuan luar negeri tersebut bahwa negara maju tidak boleh mendiamkan kemiskinan, kelaparan, ketidakadilan sosial di negara-negara berkembang, dilanda konflik, tertimpa bencana, dan pascaperang.
Dua pokok argumen etis itu dikemukakan oleh Vernon W. Ruttan (1987), yaitu pertama, keadilan distributif, yakni perlunya kompensasi negara-negara maju kepada negara-negara berkembang atas ketidakadilan yang muncul dari dominasi politik dan eksploitasi ekonomi.
Kedua, penyebaran atau distribusi kekayaan alam yang secara global tidak merata sehingga kelebihan perlu dibagi kepada yang kekurangan. Keadilan distributif ini menyatakan pula bahwa sebagian keuntungan atau manfaat ekonomi yang dinikmati negara-negara maju bersumber dari keuntungan yang didapatkan dari negara-negara berkembang.
Selain itu, negara-negara maju terikat dengan Monterey Consensus yang mewajibkan mereka mengalokasikan dana sebasar 0,7 persen gross domestic product (GDP) atau produk domestik bruto (PDB) untuk bantuan luar negeri.
Telah jamak dipraktikkan bahwa pengucuran dana bantuan internasional mengikuti apa yang dikenal dengan kerangka kerja strategis. Kerangka kerja ini pada dasarnya menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, harus disusun rencana strategis yang dibangun berdasarkan analisis kekuatan dan kelemahan yang mereka miliki serta tantangan dan kesempatan yang tersedia dalam lingkungan eksternal (negara/daerah tempat dilaksanakannya rencana).
Dalam praktiknya, penyusunan rencana strategis lembaga donor tidak hanya didasarkan pada "assessment" dan konsultasi dengan para pihak. Namun, juga melibatkan para pihak yang potensial menerima atau menindaklanjutinya.
Lebih jauh, kerja sama antara donor dan "recipient" (penerima) tidak didasarkan pada pesanan pekerjaan (job order) dari donor, tetapi pada kesamaan agenda strategis antara donor dan "recipients".
Pada kondisi yang pertama, agenda datang dari pemberi pekerjaan (job offerer), sementara yang kedua, agenda datang dari "recipient" dan diterima karena sesuai dengan agenda strategis mereka (donor).
"Jadi, bisa kita lihat bahwa bantuan luar negeri sebenarnya bukan alat penaklukan politik domestik oleh kekuatan asing, tetapi lebih sebagai instrumen pelaksanaan keadilan distributif secara global dan sarana pencapaian tujuan keadilan sosial secara domestik," papar Iko.
Keberadaan dana Official Development Assistance (ODA) yang masuk ke Indonesia pun, kata dia, telah melalui persetujuan Kementerian Luar Negeri. Dengan demikian, dapat disimpulkan ODA telah melewati tahapan uji bahaya (harm test) terhadap kepentingan bangsa.
Kelahiran UU Ormas
Berangkat dari dugaan miring tersebut, kata Iko, beberapa pihak menuntut pengaturan yang lebih ketat atas aliran dana asing. Perspektif inilah yang salah satunya memengaruhi pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Ketentuan bantuan asing itu juga termaktub di dalam Pasal 37 UU No. 17/2013 tentang Ormas. Undang-undang ini membolehkan ormas menerima sumbangan dari orang asing atau lembaga asing yang pengelolaan keuangannya harus transparan dan akuntabel.
Ketika menyinggung soal transparansi dan akuntabilitas organisasi masyarakat sipil dalam hal keuangan, menurut Iko, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menjadikan pula organisasi masyarakat sebagai badan publik nonpemerintah (Pasal 1 Angka 3) yang dikenai sejumlah kewajiban.
Adapun definisi badan publik sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Angka 3 adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Pasal 7 Ayat (1) UU KIP menyebutkan bahwa badan publik wajib menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
Selain itu, badan publik wajib menyediakan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan (Ayat 2); untuk melaksanakan kewajiban itu badan publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah (Ayat 3).
Diatur pula di dalam Ayat (4), badan publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas informasi publik. Adapun pertimbangan itu, antara lain memuat pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
Dalam rangka memenuhi kewajiban tersebut sampai, badan publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik.
"Jadi, soal transparansi dan akuntabilitas itu sudah diatur di dalam Pasal 7 UU KIP," kata Iko yang juga Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB).
Bahkan, kata Iko, UU No. 16/2001 tentang Yayasan dan UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16/2001 tentang Yayasan memerintahkan organisasi berbadan hukum yayasan untuk melakukan transparansi dan akuntabilitas.
Ikhtisar laporan tahunan yayasan diumumkan di papan pengumuman di kantor yayasan (Angka 1) dan di surat kabar harian berbahasa Indonesia bagi yayasan yang memperoleh bantuan negara, luar negeri, dan/atau pihak lain sebesar Rp500 juta atau lebih dalam satu tahun buku (Angka 2 Huruf a); atau mempunyai kekayaan di luar wakaf sebesar Rp20 miliar atau lebih (Angka 2 Huruf b). Yayasan juga diperintahkan agar laporan keuangannya wajib diaudit oleh akuntan publik (Angka 3).
Tanpa UU Ormas maupun revisinya, menurut Iko, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana atau bantuan asing sudah diatur lebih dari cukup oleh kedua undang-undang tersebut. Jika dianggap masih tidak cukup pengaturan di dalam dua UU tersebut, semestinya kedua UU tersebutlah yang direvisi.
"Bukan menghadirkan UU Ormas baru yang bermasalah sejak kelahirannya. Alhasil pasal-pasalnya tumpang-tindih dan menimbulkan konflik norma," kata Iko.
Selama ini, berbagai organisasi masyarakat sipil telah melakukan audit keuangan dan mempublikasikannya melalui website atau dalam laporan tahunan organisasi.
Bagi organisasi yang belum melakukannya, kata Iko, tidak berarti bahwa mereka tidak ingin transparan dan akuntabel. Yang perlu dipahami adalah pelaksanaan audit oleh akuntan publik dan publikasi di media bukanlah sesuatu yang murah sehingga memerlukan Pemerintah untuk memberikan insentif bagi pelaksanaan audit keuangan dan publikasi di media.
"Jadi, bisa kita lihat, persoalan transparansi dan akuntabilitas organisasi masyarakat tidak terletak pada kekosongan hukum, tetapi pada penegakannya dan bagaimana Pemerintah bisa berkontribusi memfasilitasi pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas organisasi tersebut," ucapnya.
"Oleh karena itu," kata dia, "dalam perhitungan saya tidak akan ada perubahan dalam hal transparansi dan akuntabilitas yang disebabkan oleh kehadiran UU Ormas baru."
Sementara soal keterbukaan, menurut dia, memang harus dilakukan oleh siapa pun yang mengelola dana dari pihak lain. Dalam hal ini, bangsa Indonesia tidak kekurangan instrumen hukum yang mewajibkan dilakukannya transparansi dan akuntabilitas tersebut, yaitu UU KIP dan UU Yayasan.
Selain itu, kata dia, UU No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai solusi kekhawatiran dana asing dimanfaatkan untuk spionase (mata-mata) negara asing.
Kendati demikian, sentilan dari Ketua Komisi IV DPR RI Mochammad Romahurmuziy soal nasionalisme patut dapat tempat di hati anak bangsa yang tengah aktif di lembaga swadaya masyarakat maupun yayasan yang notabene organisasi kemasyarakatan.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor:
D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025