Logo Header Antaranews Jateng

PKPU, Caleg, dan Budaya Malu

Sabtu, 28 September 2013 18:51 WIB
Image Print
Ilustrasi (ANTARA Jateng/Kliwon)


Namun, sepanjang budaya malu tidak dimiliki oleh calon anggota legislatif (caleg), baik calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, maupun DPRD Kabupaten/Kota, alat peraga kampanye tersebut masih terlihat di tempat umum.

Sikap caleg yang merasa malu terhadap rakyat jika melanggar aturan kampanye perlu mereka perlihatkan dengan mematuhi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas PKPU No. 01/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Di dalam PKPU No. 15/2013 Pasal 17 Ayat (1) Huruf b Angka 5 sudah ditegaskan bahwa kampanye pemilu dalam bentuk pemasangan alat peraga di tempat umum mulai berlaku satu bulan setelah peraturan ini diundangkan.

PKPU No.15/2013 masuk dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1060 atau mulai diundangkan pada tanggal 27 Agustus 2013. Dengan demikian, peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 27 September 2013.

Jika masih memiliki budaya malu, caleg akan melepas baliho bergambar dirinya di setiap titik jalan atau di tempat umum. Pasalnya, sejak PKPU berlaku, ada larangan pemasangan baliho bagi calon anggota DPR dan DPRD, sebagaimana ketentuan di dalam Pasal 17 Ayat (1) Huruf b Angka 1.

Ketentuan itu menyebutkan bahwa baliho atau papan reklame (billboard) hanya diperuntukan bagi partai politik satu unit untuk satu desa/kelurahan atau nama lainnya memuat informasi nomor dan tanda gambar partai politik dan/atau visi, misi, program, jargon, foto pengurus partai politik yang bukan calon anggota DPR dan DPRD.

Adapun caleg perseorangan, sebagaimana ketentuan di dalam Pasal 17 Ayat (1) Huruf b Angka 2, disebutkan bahwa calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat memasang baliho atau papan reklame (billboard) satu unit untuk satu desa/kelurahan atau nama lainnya.

Pemasangan alat peraga di tempat umum itu merupakan salah satu cara berkampanye, di samping caleg bisa memasang iklan pada media massa cetak dan media massa elektronik, melakukan pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan Kampanye pemilu kepada umum, rapat umum, dan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan perundang-undangan.

Pemberlakuan aturan main kampanye itu pun mendapat penilaian positif dari kalangan politikus. Di antara mereka, ada yang berpendapat bahwa PKPU No. 15/2013 ini memberi peluang sama terhadap seluruh calon anggota legislatif, baik petahana maupun caleg baru.

Alasan mereka, di antara caleg tidak saling berlomba dalam pemasangan alat peraga kampanye, baik dari sisi ukuran maupun jumlah baliho dan spanduk serta alat peraga kampanye lainnya.

Hal itu pun sudah ditegaskan di dalam Pasal 17 Ayat (1) Huruf b Angka 4, yakni pemasangan spanduk oleh partai politik dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan ukuran maksimal 1,5x7 meter hanya satu unit pada satu zona atau wilayah yang ditetapkan oleh KPU, KPU/KIP Provinsi, dan atau KPU/KIP Kabupaten/Kota bersama pemerintah daerah.

"Saya sependapat dengan ketentuan tersebut. Karena selama ini reklame hanya didominasi oleh caleg bermodal (duit) besar dan tak terjangkau caleg bermodal pas-pasan sehingga menghasilkan ketimpangan sosialisasi," kata Ketua Bidang Kajian dan Perencanaan DPW PKS Jawa Tengah Imam Mardjuki di Semarang, Jumat (27/9).

Pernyataan senada juga diutarakan oleh Sekretaris DPD I Partai Golkar Jawa Tengah Dr. H.M. Iqbal Wibisono, S.H., M.H. Dia mengatakan bahwa PKPU No. 15/2013 memberi peluang sama terhadap caleg, baik mereka yang punya modal besar maupun yang modalnya "pas-pasan".

Iqbal yang juga calon anggota DPR RI nomor urut 1 dari Dapil Jateng VI (Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, dan Kota Magelang) mengungkapkan bahwa mereka yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tidak terlepas dari "3 D", yakni doa, dukung, dan duit.

Namun, lanjut Iqbal, keberadaan PKPU No. 15/2013 ini menjadikan unsur "duit" tidak pertama lagi sehingga tidak memberi peluang caleg bermodal besar untuk menggencarkan kampanye di sejumlah media dan membuat alat peraga kampanye dengan jumlah banyak dan ukuran besar.

"Aturan main kampanye yang termaktub dalam PKPU itu lebih menekankan kepada para caleg untuk bertemu langsung konstituennya," kata mantan Ketua Komisi E (Bidang Kesra) DPRD Provinsi Jateng itu.

Dengan turun ke bawah (turba), menurut Iqbal, calon pemilih akan lebih mengenal calon anggota legislatif dari dekat, di samping caleg bersangkutan mengetahui secara langsung apa saja kebutuhan masyarakat di daerah pemilihannya.

Imam Mardjuki yang juga caleg nomor urut 2 di Daerah Pemilihan Kota Semarang III (Kecamatan Gayam Sari, Genuk, dan Pedurungan) menegaskan, "Ketentuan reklame hanya untuk partai/pimpinan partai sangat tepat karena secara institusi kemampuan semua partai relatif sama."

Terkait dengan ketentuan PKPU soal spanduk dan banner tiap caleg satu unit per kelurahan itu, Imam yang juga Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Semarang itu memandang perlu KPU melakukan komunikasi intensif dengan partai-partai dan caleg.

"Secara umum, KPU perlu menyosialisasikan ketentuan-ketentuan dalam PKPU secara komprehensif sehingga gagasan integral KPU soal peraturan kampanye bisa ditangkap secara utuh oleh para caleg/partai," katanya.

PKS pun berharap KPU menyatukan pemahaman mengenai hal itu dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan panwas sebagai sesama penyelenggara pemilu.

Kesatuan pemahaman terhadap objek yang sama seperti yang dikemukakan oleh politikus PKS itu suatu keniscayaan yang mutlak bagi penyelenggara dan peserta pemilu agar kelak di kemudian hari tidak terjadi silang pendapat di antara mereka. Apalagi, sampai menghambat kelancaran pelaksanaan pemilu di Tanah Air.

Di lain pihak, yang tidak kalah pentingnya adalah tingkat kepatuhan calon wakil rakyat terhadap aturan main kampanye. Hal ini pun akan memberikan kontribusi terhadap kelancaran pemilu sekaligus mengukur kadar budaya malu mereka.

Mulai Sabtu (28 September 2013) hingga hari-H Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, 9 April 2014, rakyat akan menilai mereka yang akan duduk di kursi legislatif periode 2014--2019 apakah "urat malu"-nya sudah terputus atau masih memiliki budaya malu.


Pewarta :
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025