Logo Header Antaranews Jateng

Ketika "Kidung Karmawibhangga" untuk Suguhan Politikus

Sabtu, 5 Oktober 2013 16:48 WIB
Image Print
Satu adegan Sendratari "Kidung Karmawibhangga" yang disuguhkan para seniman rakyat grup "Iromo Turonggo" Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang kepada Anggota Komisi X DPR RI saat kunjungan kerja di kawasan Candi Borobudur, Kamis (3/10). (Hari Atmok


Kiranya para "politikus Senayan" itu, perlu bertanya lebih dalam untuk mengetahui pesan masyarakat melalui grup kesenian tradisional "Iromo Turonggo" Dusun Gopakan, Desa Genita, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang mementaskan sendratari berdurasi sekitar setengah jam tersebut.

Sekitar 60 seniman rakyat kelompok yang dipimpin Suratno itu, baik sebagai penari maupun penabuh gamelan, memainkan sendratari "Kidung Karmawibhangga" di bawah tenda terpal warna biru di halaman rumah warga Dusun Tegal Wangi, Desa Tegal Arum, Kecamatan Borobudur, sekitar tiga kilometer barat Candi Borobudur.

Pada Kamis (3/10) siang itu, rombongan Komisi X DPR RI dipimpin wakil ketuanya, Utut Adianto, melakukan kunjungan kerja spesifik di kawasan candi yang dibangun sekitar abad ke-8, masa Dinasti Syailendra.

Kehadiran mereka ke kawasan setempat, untuk menyerap berbagai aspirasi masyarakat sekitar Candi Borobudur, terkait dengan perlunya pengembangan pengelolaan menjadi terpadu antara berbagai pemangku kepentingan atas warisan peradaban dunia itu.

Sendratari yang terinspirasi dari relief Karmawibhangga di lantai dasar bagian selatan Candi Borobudur itu, meliputi sejumlah adegan, bercerita tentang mimpi Wirapati Yudha Mahendra (Danang Saputra) bertemu dengan Dyah Ayu Pudya Wardani (Nanik Suhartiyah).

Tarian dengan adegan mimpi itu, ditandai dengan Wirapati yang bersila dengan posisi tangan semadi, sedangkan Dyah Ayu diiringi para penari perempuan dengan dua laki-laki sebagai pandita, menari-nari dalam sejumlah konfigurasi di depan lelaki tersebut.

Lelaki sakti yang tinggal di Padepokan Brajanala sekejap kemudian --dalam iringan gamelan yang keras dan dinamis dipimpin Sukarman-- terhenyak dari mimpinya. Ia bertekad mewujudkan impiannya, ingin bertemu dan kemudian meminang Dyah Ayu menjadi isterinya.

Usaha bertemu Dyah Ayu ditandai dengan perjuangan keras Wirapati. Ia bertemu dengan para buta dan kemudian terjadi peperangan. Tidak ada yang kalah dan menang dalam pertempuran mereka.

Wirapati yang sakti dan memiliki senjata berupa pecut bernama "Samandiman" berubah bentuk menjadi "Banaspati", sedangkan buta menjadi "Singobarong". Mereka melanjutkan peperangan.

Dengan dukungan pasukan berkuda yang ditandai dengan tarian jaran kepang oleh para seniman lainnya, Wirapati mengalahkan pasukan raksasa atau buta dalam kisah sendratari yang ditonton para anggota dewan itu dengan duduk santai dari teras rumah warga dusun setempat.

Seorang anggota grup "Iromo Turonggo" yang bertindak sebagai wirasuara, Sumadi, memperkuat pengisahan sendratari "Kidung Karmawibhangga" melalui lantunan sejumlah tembang berbahasa Jawa, seiring dengan berbagai langgam tabuhan gamelan.

Pada akhir cerita, dikisahkan bahwa Wirapati pun bertemu dan menyunting Dyah Ayu. Dan masyarakat pun berkumpul untuk mengungkapkan gembira dalam gerak tarian sebagai simbol upacara serta pesta pernikahan.

"Ini kisah perjuangan masyarakat (Mewujudkan mimpi, red.). Untuk mencapai cita-cita kegembiraan, hidup sejahtera (Pesta pernikahan, red.), harus berjuang. Semoga anggota dewan yang terhormat mengerti usaha keras masyarakat untuk hidup sejahtera," kata Suratno.

Pemimpin komunitas Borobudur "Warung Info Jagat Cleguk" yang memprakarsai kehadiran Komisi X DPR RI ke kawasan itu, Sucoro, mengatakan kisah dan tokoh-tokoh dalam sendratari itu tidak lepas dari cerita di relief Karmawibhangga di bagian dasar Candi Borobudur, sebelah selatan.

Sendratari itu, salah satu karya mereka setelah mengikuti loka karya bertajuk "Relief Borobudur Sumber Inspirasi Karya Seni Pertunjukkan" dalam rangkaian agenda budaya tahunan WIJC, "Ruwat Rawat Borobudur" pada 2 Mei-16 Juni 2013.

"Dikisahkan dalam relief Karmawibhangga tentang berbagai keadaan kehidupan masyarakat. Tentang sebab dan akibat, tentang lelaki dengan perempuan yang menjadi lambang persatuan. Ada kisah tentang fondasi kebersamaan, juga cerita tentang perjuangan masyarakat mewujudkan cita-cita kebersamaan," katanya.

Ia menjelaskan bahwa garapan sendratari itu sebagai cara ungkap orang desa atas kehidupan keseharian dengan kesederhanaan mereka, termasuk bagaimana mereka menggambarkan romantisme desa, dengan bersumber dari Candi Borobudur.

Kalau PT Taman Wisata Candi Borobudur mempunya sendratari "Mahakarya Borobudur" yang menceritakan sejarah pembangunan Candi Borobudur dengan kemegahannya, katanya, masyarakat biasa mempunyai sendratari "Kidung Karmawibhangga" yang bertutur tentang kehidupan sehari-hari.

Terkesan tak banyak ungkapan bernas para "politikus Senayan" saat mengapresiasi "Kidung Karmawibhangga" dengan pesan maknawi yang dibalut dalam sendratari itu, kecuali kalimat pujian sebagaimana disampaikan Utut Adianto.

"Ini tampilan luar biasa, dilakukan dengan sepenuh hati. Komisi X terkesan dan akan memperjuangkan agar Borobudur menjadi lebih baik," katanya.

Anggota DPR RI lainnya yang berasal dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah VI (Kabupaten dan Kota Magelang, Kabupaten Purworejo, Temanggung, dan Wonosobo), Abdul Kadir Karding, juga terkesan dangkal mengapresiasi makna sendratari itu.

"Kami bangga dan senang, masih ada tradisi budaya yang kuat di Candi Borobudur. Kami akan mendorong upaya pengembangan kelompok-kelompok seni di Borobudur ini menjadi lebih baik, agar Borobudur menjadi lebih bermanfaat untuk masyarakat sekitarnya," katanya.

Seorang anggota dewan lainnya, Dedi Suwandi Gumelar, mengemukakan betapa luhur suatu penciptaan saat itu, yang terwujud menjadi Candi Borobudur.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Candi Borobudur, katanya, kemudian mampu ditransformasikan oleh masyarakat kawasan setempat, melalui media sendratari tersebut.

"Saya secara teknis keseniannya tidak paham. Hanya itu diceritakan bahwa koreografi itu diambil dari cerita relief di Candi Borobudur. Jadi ada perebutan atau apapun. Saya kira itu sebuah kisahnya," katanya.

"Kidung Karmawibhangga" sebagai karya sendratari, sudah tentu maknanya terbalut secara simbolis, sedangkan daya ungkap pesan melalui seni drama dan tarian menjadi cerminnya. Tinggal bagaimana setiap penyaksi melihat cermin itu, yang tentu dengan perspektif masing-masing.

Akan tetapi, kiranya boleh dikatakan bahwa sendratari "Kidung Karmawibhangga" mengungkap betapa masyarakat memiliki cita-cita hidup bahagia dan sejahtera. Dan, dengan berbagai kesulitannya, masyarakat berjuang keras mewujudkan cita-cita itu.


Pewarta :
Editor: M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025