Logo Header Antaranews Jateng

Keteguhan "Suryatmaja-Surtikanthi" Jelang Pesta Demokrasi

Senin, 21 Oktober 2013 00:28 WIB
Image Print
Pementasan wayang kulit dengan lakon "Suryatmaja-Surtikanthi" oleh dalang Sih Agung Prasetyo di panggung terbuka Studio Mendut, Kabupaten Magelang dalam rangkaian pergelaran bertajuk "Peristiwa Religius dan Desain Budaya" digarap oleh Komunitas Lima


Kumandang ucapan dalang Sih Agung Prasetyo (27) sambil memainkan tokoh-tokoh wayang kulitnya, beriring tabuhan gamelan oleh para wiyaga, tetap tak berhenti memainkan lakon "Suryatmaja-Surtikanthi" di panggung terbuka di bawah pepohonan rindang Studio Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Sebagian penonton yang terutama warga sekitar Candi Mendut beringsut dari tempat duduknya, mencari tempat teduh, untuk menghindari air hujan.

Pentas wayang dengan lakon itu, dalam rangkaian acara budaya bertajuk "Peristiwa Religius dan Desain Budaya" yang digarap oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, terus berlangsung hingga selesai menjelang tengah malam.

Agenda resmi melalui pementasan wayang kontemporer malam itu, adalah doa bersama ratusan warga Mendut, menjelang akad nikah anak sulung pemimpin paling berpengaruh Komunitas Lima Gunung, Sutanto, yakni Shiki Raya Unisia dengan Bayu Kartika (Karawang, Jawa Barat).

Penabuh gamelan dalam pementasan itu, adalah Kelompok Kamasetra Universitas Negeri Yogyakarta, dengan penata iringan Adi Sulistyo, sedangkan sinden, Wati dan Darti. Hanya Darti yang mengenakan pakaian Jawa, berupa kebaya dengan sanggulnya, sedangkan pengiring gamelan mengenakan berbagai kostum, seperti perawat, TNI, atlet karate, pengusaha, dan guru.

Sebanyak empat orang, yakni Sujono (Sanggar Saujana Keron), Marmujo dan Sumarno (Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor), dan Sucoro (Warung Info Jagat Cleguk Borobudur) tiba-tiba meloncat, naik panggung dan kemudian duduk bersila dengan menempati empat kelir kontemporer lainnya.

Mereka didaulat secara mendadak menjadi dalang pementasan wayang itu, mendampingi dalang utama Sih Agung, yang juga pegiat Komunitas Lima Gunung, Masing-masing memegang tokoh wayang sebagai punggawa Kerajaan Mandaraka.

Dalang Sih Agung yang kemudian memainkan tokoh Prabu Salya (Raja Mandaraka), berdialog dengan para punggawanya yang masing-masing di tangan empat dalang dadakan itu. Mereka menuturkan tentang pembagian tugas terkait dengan rencana pesta pernikahan putri Prabu Salya, Surtikanthi dengan Duryudana dari Kerajaan Astina.

Gelak tawa menandai dialog tersebut, karena empat orang itu, dalam aktivitas seni dan budaya selama ini, bukan sebagai dalang. Sujono adalah pematung dan pemimpin sanggar kesenian petani di satu desa di antara Gunung Merapi dengan Merbabu. Marmujo dan Sumarno, pemain wayang orang dari padepokan seni di kawasan Merapi, sedangkan Sucoro, pegiat budaya masyarakat kawasan Candi Borobudur.

Guyuran hujan pun menjadi bahan dialog kental tawa yang dimainkan Sang Dalang, dalam menyuguhkan lakon itu.

"'Nek udan e punjul limolas menit, iki wayang e bubar ra popo lho. Wong yo ra bayaran'. (Kalau hujan turun lebih dari 15 menit, pentas tak dilanjutkan ya. Toh, dalangnya tidak dibayar, red)," kata Sang Dalang yang juga guru SMA swasta di Kota Magelang itu.

Penonton pun tertawa terbahak-bahak. Hadir pada kesempatan bersama warga Mendut itu, antara lain budayawan Bandung, Andarmanik, penulis budaya Bre Redana, budayawan Yogyakarta Romo Budi Subanar, pianis Jepang Tamon Kato, dan keluarga Mami Kato (istri Sutanto Mendut) yang datang dari Jepang, serta para petinggi Komunitas Lima Gunung.

Sebelum pentas wayang orang, mereka juga disuguhi pementasan musik islami dari Grup Marawis, Sukorejo, Kabupaten Kendal (Gunung Prahu) pimpinan Taufik, tari Gambyong (Siti, Nana Ayom, Puput, dan Rifda), serta musik kontemporer mahasiswa pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Adegan goro-goro dalam pentas wayang yang juga penuh canda, dimainkan melalui dialog Sang Dalang dengan tiga orang lainnya sebagai tokoh wayang orang, masing-masing sebagai Gareng (Pangadi dari Sanggar Wonoseni Bandongan), Petruk (Dian Sutopo dari Sanggar Andong Jinawi, Gunung Andong), dan Bagong (Timbul dari Sanggar Lumaras Budoyo Petung, Gunung Merbabu). Dalam adegan itu, Sang Dalang memainkan wayang kulit dengan lakon Semar.

Pentas wayang dengan lakon "Suryatmaja-Surtikanthi" bertutur tentang kisah cinta kedua tokoh itu. Suryatmaja adalah anak Dewi Kunti dengan Batara Surya, sedangkan Surtikanthi, putri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati.

Prabu Salya menjodohkan Surtikanthi dengan Duryudana, tetapi Surtikanthi lebih mencintai Suryatmaja meskipun lelaki itu hanyalah anak kusir kereta. Keduanya sering melakukan pertemuan rahasia di taman keraton.

Pada suatu pertemuan, prajurit kerajaan memergoki mereka. Suryatmaja kabur, sedangkan prajurit kemudian melapor kepada Prabu Salya. Surtikanthi pun menjalani sidang keluarga.

"'Tresna punika, mboten ngetang derajat, pangkat, lan bondho, sarta jejer rupa pawakan, nanging cocoking ati'. (Cinta bukan memperhitungkan derajat, pangkat, harta benda, dan wajah. Akan tetapi kecocokan dan getaran hati, red.)," demikian kalimat pembelaan Surtikanthi di depan ayahnya dalam adegan sidang keluarga itu.

Prabu Salya dikisahkan tetap ingin menjodohkan putrinya itu dengan Duryudana. Dikisahkan, Suryatmaja ditangkap Raden Permadi yang sedang merias Surtikanti untuk uparaca perkawinan dengan Duryudana. Keduanya dihadapkan kepada Prabu Salya.

Dalam pertemuan mereka dengan Prabu Salya, diceritakan Surtikanthi berikrar untuk sehidup semati dengan Suryatmaja. Prabu Salya luluh dan menerima kenyataan bahwa mereka benar-benar saling mencintai.

Datang raja raksasa, Prabu Karnamandra dari Kerajaan Awangga ke Mandaraka, untuk memaksakan diri memperistri Surtikanthi. Karnamandra terlibat perang tanding dengan Suryatmaja. Kemenangan Suryatmaja, membuat dia dengan Surtikanthi mendapatkan Kerajaan Awangga dan dikisahkan hidup bahagia di kerajaan itu.

"Kisahnya memang tentang cinta dua tokoh utama itu, akan tetapi sifat keteguhan hati, tak sekadar menyangkut cinta antara manusia. Keteguhan juga untuk soal menentukan pilihan," kata Sang Dalang.

Hari-hari ke depan hingga awal 2014, suasana kehidupan masyarakat kental dengan persoalan pemilihan umum, sedangkan warga Kabupaten Magelang pada 27 Oktober 2013, akan memilih kepala daerahnya.

"Keteguhan untuk menggunakan hak suara, juga dibutuhkan untuk memilih pemimpin secara benar," katanya.

Ketua Komunitas Lima Gunung, Supadi Haryanto, mengemukakan terlalu sederhana kalau memahami lakon itu, sebagai sekadar soal percintaan antara lelaki dengan perempuan.

"Itu adalah juga cerita tentang sikap teguh terhadap suatu pilihan. Ini akan pesta demokrasi, masyarakat harus menentukan pilihan untuk menjatuhkan suaranya. Lakon 'Suryatmaja-Surtikanthi' memberi pelajaran nilai politik juga. Siapkan dengan teguh suara untuk dibawa dalam pesta demokrasi," katanya.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025