Logo Header Antaranews Jateng

FPDIP Kecam Penyerangan Manula Korban G-30-S/PKI

Minggu, 27 Oktober 2013 21:14 WIB
Image Print
Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Eva Kusuma


"Saya mengecam dan menyesalkan tindak anarkis kembali dimenangkan oleh Polri yang tidak mampu melakukan pencegahan (pembiaran) walau sudah mengetahui informasi penyerangan sebelumnya," kata Eva melalui pesan elektroniknya kepada Antara Jateng, Minggu malam.

Eva mengemukakan hal itu terkait dengan pertemuan eks dan keluarga tahanan politik 1965 di Padepokan Santi Dharma, Dusun Bendungan, Desa Sidoagung, Kecamatan Godean, Sleman, Minggu (27/10) siang, yang dibubarkan oleh puluhan orang yang diduga dari Front Anti-Komunis Indonesia (FAKI).

Kelompok anarkis itu, kata Eva, harus diproses karena telah melakukan tindakan-tindakan pelanggaran hukum secara nyata, termasuk melukai lima orang yang berusia lanjut.

Ia lantas mengimbau para korban Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G-30-S/PKI) melakukan pertemuan-pertemuan di kantor-kantor polisi setempat mengingat polisi tidak mampu memberikan perlindungan di luar kantor mereka.

Eva mengemukakan bahwa para pencari keadilan akibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) itu, sesuai dengan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), berhak melakukan pertemuan-pertemuan guna menentukan strategi-strategi untuk meminta keadilan dari negara.

Polri sebagai pelindung rakyat, menurut dia, wajib memberikan perlindungan kepada para korban politik "stigma" G-30-S/PKI yang notabene sebagian besar manula. Dalam hal ini Polri berkewajiban menindak secara tegas kelompok-kelompok anarkis.

Sebaliknya, lanjut dia, Presiden tidak boleh hanya sibuk mengurus Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI), Bunda Putri, atau permasalahan-permasalahan internal Partai Demokrat sehingga mengabaikan perintah undang-undang untuk membereskan masalah-masalah pelanggaran HAM masa lalu yang menyebabkan konflik horizontal di tengah masyarakat.

"Apalagi, tuntutan para korban amat sederhana, yaitu rehabilitasi, bukan kompensasi seperti korban-korban pelanggaran HAM Australia atau Belanda," kata anggota Komisi III (Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan) DPR RI itu.

Para korban, kata Eva, paham bahwa negara sudah terbebani utang luar negeri yang mencapai lebih dari Rp2.000 triliun sehingga tidak ingin dibayar dari utang yang membebani anak cucu mereka juga.

Pewarta :
Editor: Kliwon
COPYRIGHT © ANTARA 2024