Siti Zuhro: Pelaksanaan Otonomi Daerah Sangat Elitis
Sabtu, 23 November 2013 16:38 WIB
Tak pelak, kualitas pelayanan publik dan program penyejahteraan rakyat terhalang oleh konflik kepentingan yang dimenangkan oleh elite untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya, kata Wiwieq, sapaan akrab Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A., ketika dihubungi dari Semarang, Sabtu.
Wiwieq mengemukakan hal itu terkait dengan upaya Pemerintah memperbaiki pilkada atas kenyataan yang disampaikan oleh Dirjen Otda Kemendagri Djohermansyah Djohan bahwa 310 dari 530 kepala daerah tersangkut masalah hukum--86 persennya karena kasus korupsi--dan 90 persen pilkada berakhir di Mahkamah Konstitusi.
Menyinggung kasus korupsi dan konflik yang terjadi di daerah, dia meminta masalah tersebut harus direspons secara serius, cepat ditangani, dan diberikan solusinya agar tidak membuat daerah-daerah makin terpuruk.
Penulis buku "Konflik dan Kerja Sama Antardaerah" (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2004) itu lantas mempertanyakan mengapa kasus-kasus korupsi dan konflik dalam jumlah yang cukup spektakuler tersebut terjadi?
Di samping pelaksanaan otda sangat elitis, menurut Wiwieq, demokratisasi lokal belum menyentuh birokrasi daerah sehingga transparansi dan akuntabilitas birokrasi tidak terwujud.
"Kalaupun ada sejumlah daerah yang mampu melakukan terobosan positif bidang birokrasi, jumlahnya masih sangat minim," kata penulis buku "Menata Kewenangan Pusat-Daerah yang Aplikatif Demokratis" (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2005) itu.
Wiwieq yang juga dikenal sebagai pakar otonomi daerah menilai pilkada oleh rakyat ternyata bukan untuk rakyat, melainkan untuk kepentingan segelitir elite saja. Hal ini juga berpengaruh terhadap pelaksanaan otda.
Selain itu, kata Wiwieq, masalah ketidakadilan dan kesenjangan di daerah tidak teratasi secara memadai sehingga endemi konflik yang ada di tengah masyarakat tersulut kembali oleh realitas ini.
Diperparah lagi dengan "law enforcement" dan pengawasan yang sangat lemah dan tidak efektif. Hal ini, menurut dia, membuat pelanggaran terhadap hukum makin marak karena penalti yang diterima si pelanggar (koruptor) tidak memberikan efek jera.
Pada saat yang sama, kata penulis buku "Demokrasi Lokal: Peran Aktor dalam Demokratisasi (Yogyakarta: Ombak, 2009) itu, tokoh yang meneladani jumlahnya juga masih minim.
"Tidak banyak elite, pejabat, tokoh, pemimpin, atau penguasa yang bisa dijadikan 'role model' bagi masyarakat untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat," kata Wiwieq.
Pewarta : Kliwon
Editor:
D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2024