Situs Gunung Padang (1): Ilmiah itu Jujur dan Tidak Sombong
Jumat, 17 Januari 2014 09:59 WIB
Dalam dua tahun terakhir terjadi kontroversi ilmiah di cagar budaya Situs Gunung Padang Cianjur, Jawa Barat. Sejalan dengan hiruk pikuknya pro dan kontra, Gunung Padang menjadi pusat perhatian nasional, bahkan dunia sehingga popularitasnya naik tajam. Penelitian ilmiah membuat Gunung Padang menjadi tujuan wisata favorit. Pengunjung yang tadinya puluhan sekarang menjadi ribuan. Jadi, efek penelitian positif. Namun, harus segera dilakukan pengelolaan supaya ledakan wisatawan tidak merusak situs. Selain itu, banyak orang yang dahulunya tidak tertarik kepada sejarah dan kepurbakalaan menjadi antusias. Dunia arkeologi dan geologi pun jadi lebih diminati.
Cagar budaya Situs Gunung Padang adalah situs megalitik yang tersusun dari batu-batu kekar kolom (columnar joints) membentuk lima teras seluas 3 hektare di atas bukit. Semua sependapat bahwa batu-batu berbentuk kolom atau balok memanjang dengan penampang segi 8,5,4,3 itu terbentuk secara alamiah sebagai kekar-kekar (bidang-bidang rekahan) yang terjadi ketika cairan magma panas mengalami pendinginan dan membeku menjadi batu. Namun, di Gunung Padang batu-batu kolom alamiah ini digunakan oleh manusia menjadi sebuah konstruksi batuan yang unik, sering disebut sebagai punden berundak oleh para arkeolog .
Yang menjadi kontroversi sebenarnya masalah fisik yang simpel bukan mengenai teori atau konsep yang abstrak. Ada tiga hal, yaitu tentang luasan penyebaran situs di permukaan, tentang kondisi geologi di bawah permukaan situs, dan tentang umur situs. Ada dua kelompok utama yang bersilang pendapat. Kelompok pertama, berkeyakinan bahwa situs punden berundak megalitik hanya menempati area di puncak bukit tersebut seluas 3 hektare(Kolom GATRA 8 Januari Nina Lubis, Kolom GATRA 14 Januari-Lutfi Yondri) . Kemudian, kelompok ini berkeyakinan bahwa bukit di bawah situs seluruhnya bentukan alamiah geologi. Kelompok ini utamanya mewakili hasil penelitian dari Arkenas dan Badan Geologi, jadi kita sebut saja Kelompok ABG.
Kelompok kedua, berpendapat bahwa situs punden berundak tersebut jauh lebih besar tidak hanya menempati puncak tapi melampar sampai ke bawah bukit seluas 15--25 hektare. Jadi, katakanlah mirip dengan situs Machu Pichu di Peru. Kemudian, hasil penelitian kelompok kedua mengatakan bahwa di bawah situs punden berundak tersebut masih terdapat lapisan situs bangunan atau fitur yang lebih tua, bahkan diduga mempunyai ruang-ruang dan lorong-lorong di bawah tanah. Kelompok kedua ini tergabung dari para peneliti berbagai disiplin ilmu dan institusi dikenal sebagai Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM). Para ahli TTRM meneliti bersama secara sukarela karena hobi memakai dana seadanya dari sumbangan dan kocek kantong sendiri untuk operasional bukan untuk memenuhi program pemerintah. Tim ini difasilitasi oleh Kantor Staf Khusus Presiden, Sekretariat Negara untuk koordinasi, perizinan, dan komunikasi dengan instansi-instansi terkait.
Di media massa dan masyarakat pangkal kontroversi ilmiah yang sebenarnya biasa-biasa saja ini menjadi bias karena terdistorsi oleh bercamputnya banyak isu macam-macam tentang perdebatan piramid, spekulasi keberadaan perangkat teknologi canggih di dalam bukit, dikaitkan dengan hal-hal mistik, sampai dugaan ngawur adanya harta karun berupa emas berton-ton di dalam perut Gunung Padang.
Kontroversi dibuat lebih riuh lagi karena satu kelompok menuduh kelompok lainnya melakukan perusakan situs dalam metoda penelitiannya. Selain itu, perihal otoritas dan prosedur izin penelitian pun dipermasalahkan, padahal semua sudah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, buat apa dipersulit? Agak janggal kenapa itu terjadi karena kedua kelompok ini masing-masing didukung oleh para pakar senior yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan atau diragukan keahliannya di bidang masing-masing dan tentu masing-masing pihak paham akan hal perizinan dan pelestarian situs. Jadi, kita fokus pada argumen-argumen ilmiahnya saja.
Luasan Situs Punden Berundak
Kelompok ABG berpendapat bahwa situs Gunung Padang hanya menempati area datar di puncak bukit saja karena mereka mengklaim tidak melihat ada struktur punden berundak di lereng bukit, tetapi hanya batu-batu kolom yang berserakan tidak beraturan sehingga dianggap lapisan hasil proses alamiah saja, yaitu karena pelapukan, erosi, dan longsor. Ini kesimpulan yang logis kalau diasumsikan ada tubuh batuan sumbat lava berstruktur kekar kolom sebagai sumber batu-batunyadi bawah lapisan tanah dan bongkah batu-batu kolom tersebut.
Perlu diketahui bahwa lereng bukit dipenuhi pohon-pohon dan semak belukar. Sebagian lagi, sudah dijadikan kebun-kebun penduduk sehingga sebenarnya tidak mudah untuk menyimpulkan status apakah batu-batu tersebut berserakan acak atau memang (tadinya) ada struktur teras-teras. Butuh penelitian dan pemetaan yang lebih detil dan komprehensif.
Lain halnya dengan TTRM, menurut intuisi seorang arsitek struktur teras-teras besar di atas bukit logikanya harus ditopang sampai ke bawah agar dapat lestari sampai ribuan tahun. Faktanya banyak sekali ditemukan batu-batu kolom di lereng-lereng sampai ke sungai-sungai di bawahnya, dan di beberapa lokasi masih ditemukan teras-teras batu yang tersamar karena ditutupi oleh semak belukar.
Tanpa sengaja ketika Tim TTRM pada pertengahan tahun 2012 melakukan pembersihan semak belukar untuk jalur lintasan survei georadar (GPR=Ground Penetration Radar) tertampak jelas teras-teras batu kolom membentuk undak berundak dari atas sampai ke bawah lereng pada lereng timur di bawah Teras 5 (pojok selatan).
Pada bulan Juni--Juli 2013, temuan ini dilanjutkan dengan pembersihan semak belukar di lereng Timur untuk melihat penyebaran teras-teras batu tersebut bekerja sama dengan Tim Badan Pengelola Cagar Budaya Serang. Hasilnya positif menampakan struktur teras-teras batu meskipun memang banyak juga bagian yang sudah berserakan tidak beraturan. Akan tetapi, arkeolog dari kelompok ABG berkilah bahwa teras-teras batu yang terlihat dibuat oleh para petani untuk berladang, bukan bagian dari situs punden berundak.
Solusinya, para ahli sosial-sejarah dapat mencari kebenaran apakah dahulu ada para petani yang membuat teras-teras batu di lereng bukit Gunung Padang dari batu-batu kolom yang berserakan. Para arkeolog yang berbeda pendapat, barangkali bisa dibantu oleh arsitek dan ahli lainnya, untuk sama-sama meneliti dan mendiskusikan fakta-faktanya di lapangan. Dari kacamata geologi, untuk membantu perbedaan pendapat ini adalah dengan meneliti batuan dasar di bawah lapisan tanah yang mengandung banyak batu-batu kolom. Apabila ternyata tidak ada batuan sumber di bawah lapisan tanah, mustahil batu-batu itu berserakan begitu saja secara alamiah.
Jumlah batu-batu kolom yang berserakan di lereng-lereng sampai ke sungai tersebut volumenya sangat besar. Artinya, kalau dianggap akibat longsoran, harus ada sumber batuan atau pangkal longsornya di bagian atas. Dan, hal itu tidak ditemukan, selain argumen bahwa batu-batu kolom tersebut besar dan berat sekali sehingga tidak mudah untuk bergerak longsor sampai jauh, paling merayap sedikit-sedikit ke bawah.
Lapisan Geologi vsLapisan Budaya
Untuk mengerti kontroversi harus mengerti hubungan batu kekar kolom dalam kaitannya dengan struktur geologi. Arah kekar kolom yang terbentuk ketika lava membeku akan selalu tegak lurus terhadap permukaan pendinginannya (cold fronts) atau persentuhan udara/air dengan permukaan luar tubuh cairan magma. Artinya, secara umum dapat dikatakan bahwa arah kolom akan tegak lurus permukaan magma atau bidang lapisan (kalau sudah membeku jadi batu). Lapisan batuan gunung api berstruktur kekar kolom yang teratur disebut collonade.
Tentu ada banyak variasi proses alam yang dapat membuat orientasi kolom menjadi lebih acak. Misalnya, apabila lava panas masuk ke dalam air sehingga cold fronts-nya menjadi kurang teratur dan menghasilkan arah-arah kekar kolom yang terlihat acak juga. Lapisan kekar kolom yang berorientasi acak disebut lapisan entablature. Apabila intrusi magma alirannya berubah arah dari vertikal menjadi horizontal, struktur kolom yang terbentuk pun akan terlihat seperti kipas, dari horizontal menjadi vertikal mengikuti arah aliran/lapisannya.
Jadi, pada prinsipnya hubungan arah orientasi batu kolom dan kedudukan lapisan batuannya dapat dijadikan patokan untuk menentukan apakah batu-batu kolom yang tersusun dalam kondisi alamiah atau tidak? Ciri alamiah lain, permukaan kolom-kolom batunya bersinggungan rapat saling mengunci satu sama lain, dan tidak ada material pengisi di antaranya.
Geolog Kelompok ABG berpendapat bahwa seluruh bentukan bukit Gunung Padang adalah alamiah, yaitu merupakan tubuh intrusi vertikal batuan beku - sumbat lava yang berstuktur kekar kolom (Kolom GATRA 8 Januari Sutikno Bronto). Sumbat lava adalah cairan magma yang naik vertikal melalui leher (utama) kepundan gunung api purba dan membeku, kemudian badan gunung api di sekelilingnya tererosi sehingga tersisa tubuh batuan sumbat lava, biasanya berbentuk silindris menjulang vertikal ke atas seperti contohnya the Devil Tower Columnar Joints di USA yang sangat terkenal. Dengan catatan, kekar kolom Devil Tower arahnya vertikal, mungkin dekat dengan cold-front di atasnya, yaitu batas permukaan sumbat lava dengan udara di atas.
Hipotesa ini tidak didukung oleh bentuk morfologi bukit. Kemudian, keberadaan sumbat lava hanya berdasarkan singkapan batuan gunung api yang sudah terubah oleh proses-proses hidrothermal di kaki bukit bagian utara yang diasumsikan terjadi karena dekat dengan leher kepundan gunung api purba itu. Tidak ada tubuh batuan sumbat lava yang tersingkap di Gunung Padang. Juga tidak ada data survei bawah permukaan yang menunjang bahwa sumbat lava tersebut benar-benar ada. Akan tetapi, walaupun apa yang dihipotesakan itu benar, data singkapan geologi hanya bisa diekstrapolasikan interpretasinya untuk bentukan geologi, tidak bisa dipakai untuk melihat apakah ada struktur nongeologi di atasnya. Untuk mengetahui itu tetap diperlukan survei bawah permukaan.
Belakangan dalam acara seminar dari kelompok ABG yang diadakan Puslit Geoteknologi pada tanggal 15 Januari 2014 di Kampus LIPI Bandung, geolog kelompok ABG tersebut mengubah kesimpulannya, dibilang bahwa sumbat lavanya bukan di bukit Gunung Padang, melainkan di bawahnya lagi. Yang membentuk Gunung Padang adalah material longsoran, katanya. Dia menjelaskan bahwa studi geologinya masih tahap pendahuluan butuh penelitian lanjutan sehingga saat ini belum dapat dipastikan apa sesungguhnya struktur/lapisan geologi yang membentuk Gunung Padang.
Lubang eskavasi arkeologi yang dilakukan Arkenas pada tahun 2003 di Teras-1 menembus lapisan batu-batu kekar kolom yang tersusun sangat rapih secara horizontal. Di acara seminar arkeolog ABG menerangkan bahwa lapisan susunan batu kolom di bawah permukaan tanah ini adalah batuan alamiah/induk columnar joints yang menjadi sumber batuan dari batu-batu kolom yang dipakai membangun situs punden berundak di atasnya. Akan tetapi, tidak dapat memberi penjelasan lebih lanjut jenis batuan alamiah tersebut apa apakah termasuk yang dimaksudkan dengan lapisan batuan longsoran gunung api atau mengacu ke hipotesa sebelumnya, yaitu batuan sumbat lava berkekar kolom?
Lubang gali tim arkeologi TTRM di lereng Timur juga menemukan lapisan batuan yang sama. Kedudukan batu kolomnya juga (hampir) horizontal dan berorientasi hampir barat-timur, sama dengan yang ditemukan di bawah Teras-1 tersebut. Artinya, dalam perspektif geologi lapisan ini akan ditafsirkan sebagai collonade. Susunan batu kolom di bawah tanah itu benar-benar rapih dan kompak tapi setiap kolomnya terbungkus oleh lapisan material halus dengan ukuran diameter kolom sangat beragam, tidak seragam seperti batu kekar kolom di alam. Dengan matriks batuan yang sangat rapih dan kompak seperti itu jelas mustahil dikatakan sebagai hasil longsoran. Akan tetapi, juga sulit untuk dikatagorikan sebagai batu kekar kolom primer. Satu cara pembuktian lebih gamblang, harus tahu struktur di bawah permukaannya apakah ada tubuh batuan intrusi yang vertikal di bawah Teras -1? Karena kedudukan batu kekar kolomnya horizontal.
Kelebihan TTRM dibanding Kelompok ABG, sudah melakukan survei geofisika bawah permukaan. Hasil survei georadar dan geolistrik yang melintas di dua galian arkeologi tersebut memperlihatkan bahwa susunan batu-batu kolom di bawah tanah tersebut merupakan lapisan batuan horizontal di bawah Teras atau sejajar permukaan di lerengnya, dengan tebal hanya beberapa meter. Jadi, dari memahami hubungan antara kedudukan kekar kolom dan lapisannya dapat lebih tegas disimpulkan bahwa lapisan batuan itu bukan batuan alamiah primer berkekar-kolom, melainkan disusun oleh manusia.
Data bor memberikan data tambahan bahwa lapisan batuan tersebut ternyata dilandasi oleh satu lapisan pasir-kerikilan lepas setebal puluhan sentimeter. Dalam penampang georadar atau radargram lapisan pasir kerikilan tersebut terlihat sebagai garis tebal hitam karena perubahan tajam dielectric constant yang tinggi (lapisan kompak batu kolom) ke dielectric constant rendah (lapisan pasir). Lintasan-lintasan georadar di seluruh teras memperlihatkan bahwa lapisan pasir tersebut melandasi seluruh teras-teras situs pada kedalaman sekitar 4--5 meter, sangat konsisten.
Singkatnya dapat disimpulkan sangat kuat bahwa lapisan kedua susunan batu kolom yang dicirrikan oleh ukuran diameter sangat beragam, mempunyai sisipan atau terbungkus material ukuran lempung, tersusun horizontal paralel dengan kedudukan lapisannya setebal beberapa meter di atas hamparan pasir dibuat manusia atau merupakan lapisan situs budaya, bukan lapisan geologi. Konstruksi susunan batu-batu kolom tersebut terlihat lebih rapih dan kompak dibanding yang terlihat pada situs megalitik di permukaan tanah.
Lapisan kedua di bawah tanah ini kemungkinan besar sama dengan yang tersingkap dipermukaan, yaitu pada dinding tinggi yang memisahkan antara Teras 1 dan Teras 2, berupa dinding batu berundak-undak tersusun sangat rapih oleh batu-batu kolom yang difungsikan seperti batu bata. Suatu konstruksi bangunan yang sama sekali berbeda gaya konstruksinya dengan situs punden berundak yang disusun lebih sederhana dan didekorasi oleh batu-batu kolom yang diposisikan berdiri tegak. Jadi, situs di permukaan pun kelihatannya harus dipetakan dan dipilah-pilah lagi karena mungkin tidak berasal dari satu fasa/generasi.
Inilah perlunya kerja sama terpadu keahlian arkeologi dan geologi. Arkeologi meneliti aspek tinggalan budayanya, geologi mengkaji unsur-unsur alamiahnya dan membantu membedakan mana alamiah mana tidak. Tidak bisa disalahkan apabila arkeolog sukar membedakan susunan batu kolom alamiah dan yang disusun manusia karena bisa sangat mirip kalau tidak paham geologi. Ahli geologi Kelompok ABG bukannya bodoh apabila salah menginterpretasikan struktur bawah permukaan Gunung Padang karena mereka tidak punya data bawah permukaan dan tidak pernah juga melihat dengan mata-kepala sendiri singkapan bawah permukaan pada lubang galian arkeologi. (BERSAMBUNG)
*)Ketua Tim Terpadu Riset Mandiri