Mereka Inginkan Negerinya Tak Direbut
Sabtu, 8 Februari 2014 17:43 WIB
"'Sinarkara kinarya mengeti Indonesia, anggenira merdhika kaping pitulas yo tanggale nuju wulan Agustus sing sangang atus. Anenggih bangsa kita Indonesia, Sukarno-Hatta makili kanthi dhasar Pancasila'," begitu syair tembang langgam dandanggula itu.
Lantunan tembang itu mengiring pembukaan pementasan kesenian tarian tradisional "Campur", mengusung lakon "Baladewa Kembar".
Tarian bernuansa drama itu, dimainkan oleh sekitar 40 penari dengan dukungan penabuh gamelan dari grup kesenian tradisional "Cipto Trimanunggal" Dusun Peden, Desa Baturono, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, pimpinan Sutrisno.
Tarian tersebut, bernama "Campur" karena berupa garapan atas sejumlah tarian rakyat, seperti "Grasak", "Jatilan", "Bancak Doyok", "Wayang Orang", dan "Rontek Prajurit".
Pementasan berlangsung sekitar 1,5 jam di panggung kecil Taman Lumbini Candi Borobudur pada hari Sabtu (8/2) setelah zuhur.
Para wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara yang hendak naik ke Candi Borobudur, tampak sejenak waktu menghentikan langkah mereka menuju pelataran Zona I candi yang juga warisan peradaban dunia itu untuk menonton pementasan.
Satu nomor gerak tarian mewarnai para anggota grup berperforma prosesi buku "Dari Luar Pagar Taman Borobudur", tulisan Sucoro yang juga pemimpin komunitas "Warung Info Jagad Cleguk" Borobudur.
Komunitas tersebut, menjadi fasilitator dengan PT Taman Wisata Candi Borobudur untuk berbagai grup kesenian tradisional berasal dari beberapa desa di Kabupaten Magelang berkesempatan mementaskan tarian tradisional mereka di Taman Lumbini, Zona II Candi Borobudur.
Setelah pementasan, penembang macapat bernama Darmadi tersebut, dengan kesan lantang bertutur kepada Antara tentang makna tembang bernuansa keindonesiaan itu.
Dengan berbahasa Jawa, dia menjelaskan bahwa tembang tersebut tak sekadar mengingatkan masyarakat bahwa Indonesia sudah merdeka melalui proklamasi 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Mohammad Hatta.
"Sudah merdeka, dengan UUD 45 sampai sekarang ini. Mau dibentuk apa saja tidak bisa karena sudah berlaku seperti itu. Tidak bisa direbut dan dipecah belah siapa saja," katanya.
Baladewa palsu, katanya, dikalahkan oleh Baladewa asli. Begitu kira-kira, dia ingin menyambungkan antara makna tembang yang dilantunkannya dengan pesan yang ingin disampaikan melalui tarian "Campur" mengusung cerita "Baladewa Kembar" yang dimainkan para seniman rakyat dari desa itu.
Tarian itu bertutur tentang peperangan dua Baladewa. Baladewa palsu dibawakan penari bernama Sujono, ingin menduduki Kerajaan Manduro, sedangkan yang asli, Sono, ingin mempertahankan negerinya dari upaya pendudukan.
Prabu Baladewa, baik yang asli maupun palsu, membawakan lakon itu dengan tarian dan sederet barisan penari keprajuritan masing-masing.
Perang tanding antara dua Baladewa, akhirnya dimenangkan oleh Baladewa asli, disusul dengan gerak tarian beriring tabuhan gamelan terdengar makin semarak yang menggambarkan kegembiraan rakyat.
"Akhirnya Baladewa palsu bersama prajurit Manduro palsu 'badar' (kembali berubah seperti sediakala, red.) oleh kesaktian Baladewa asli dan kekuatan prajurit Manduro asli. Kami bersama-sama menggarap lakon carangan ini," kata pembina peguyuban itu yang juga Kepala Dusun Peden, Parwoto.
Ketua peguyuban, Sutrisno, memperkuat kekinian makna lakon "Baladewa Kembar" terkait dengan tahun politik Indonesia karena akan berlangsung Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, 9 April 2014, dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI pada tanggal 9 Juli 2014.
Masyarakat kecil, seperti mereka yang tergabung dalam peguyuban kesenian rakyat desa itu, berharap sungguh-sungguh bahwa negeri ini tidak terpecah belah meski sedang berada pada tahun politik.
Mereka berharap prosesi politik Indonesia pada tahun 2014, menempatkan secara demokratis dan dewasa, para elitenya ke kursi kekuasan sehingga kepemimpinannya menjadi bermanfaat untuk kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat umum.
"Melalui lakon ini, kami mengingatkan bahwa negara kita ini mau pilihan (pemilu, red.) supaya tidak 'pancal-pancalan' (berseteru karena berebut kekuasaan, red.). Tahun politik ini, bukan semata-mata cari kedudukan di negeri ini," katanya.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024