Mampukah Produk Pemilu 2014 Wujudkan Cita-Cita Bangsa?
Rabu, 12 Februari 2014 05:55 WIB
Anak bangsa harus menyakini kebenaran yang diajarkan oleh agama; mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta melaksanakan peraturan perundang-undangan secara konsisten dan konsekuen; norma yang berlaku di tengah masyarakat; dan kebenaran keempat adalah hati nurani.
Bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur bakal tergapai asalkan semua anak bangsa bertekad mewujudkan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum atau bersama; mencerdaskan kehidupan bangsa; ikut berperan aktif dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Karena cita-cita bangsa ini termaktub di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, idealnya semua peraturan perundang-undangan harus tetap berada di koridor UUD 1945. Hal ini pun ditegaskan di dalam Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) juncto Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa secara hierarki kedudukan UUD 1945 adalah lebih tinggi dari UU. Oleh karena itu, setiap ketentuan UU tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam hal suatu UU diduga bertentangan dengan UUD, termasuk peraturan perundang-undangan terkait dengan pelaksanaan pemilihan umum, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Misalnya, dalam perkara pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945.
Dalam amar Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, MK mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Amar putusan ini berlaku untuk penyelenggaraan pemilu tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya.
Dalam putusan tersebut, MK menolak permohonan pemohon (Effendi Gazali, Ph.D., M.P.S.I.D., M.Si.) untuk selain dan selebihnya, kemudian memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud Md. selaku ketua merangkap anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, dan Anwar Usman masing-masing sebagai anggota, pada hari Selasa, 26 Maret 2013.
Putusan itu diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, 23 Januari 2014, selesai diucapkan pukul 14.53 WIB oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku ketua merangkap anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, Anwar Usman, dan Patrialis Akbar, masing-masing sebagai anggota dengan didampingi oleh Luthfi Widagdo Eddyono sebagai Panitera Pengganti. Terhadap putusan Mahkamah ini, satu hakim konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).
Politik Transaksional
Dalam amar putusan itu juga memuat pernyataan Effendi Gazali (pemohon). Pria kelahiran Padang, 5 Desember 1965, yang pekerjaannya sebagai seniman atau aktivis menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang secara signifikan menghambat kemajuan negara Indonesia, antara lain politik transaksional yang terjadi berlapis-lapis (bertingkat-tingkat), umumnya antara partai politik dengan individu yang berniat menjadi pejabat publik, serta antara parpol untuk pengisian posisi pejabat publik tertentu.
Dikaitkan dengan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, politik transaksional bisa terjadi empat sampai lima kali, yakni pada saat mengajukan calon-calon anggota legislatif; pada saat mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden karena ketentuan "presidential treshold".
Setelah diketahuinya hasil putaran pertama Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (jika dibutuhkan putaran kedua); pada saat pembentukan kabinet; pada saat membentuk semacam koalisi di Dewan Perwakilan Rakyat yang kemudian menjadi sejenis prototipe untuk koalisi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (tingkat I dan II), antara lain untuk alokasi jabatan.
Effendi Gazali juga menyinggung biaya politik yang relatif amat tinggi, mubazir, tidak dilaksanakan dengan transparan dan jujur oleh para pelaku dan donaturnya, serta tidak dapat diawasi dengan efektif oleh institusi yang berwenang melakukannya. Di dalamnya terdapat komponen biaya promosi/publikasi dan kampanye yang amat berlebihan.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebutkan bahwa untuk kampanye Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Jawa Timur telah dihabiskan biaya sekitar Rp1 triliun (dalam acara "ILC" HUT TV One, 14 Februari 2013).
Ia juga menilai politik uang yang meruyak. Akibat politik transaksional di antara elite politik dan para calon pejabat publik disertai penghamburan biaya politik yang amat berlebihan, akhirnya berlanjut dengan strategi instan "membeli suara publik" dan hal ini--pada sisi lain--dilihat sebagai kesempatan oleh sebagian publik untuk juga melibatkan diri dalam politik uang (money politics), baik untuk ikut serta dalam aneka acara kampanye dan pencitraan maupun untuk menawarkan pilihannya dalam suatu pemilu.
Sementara itu, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Dewi Aryani menilai demokrasi transaksional hanya akan menghasilkan kepemimpinan koruptif. "Suara rakyat adalah suara yang suci untuk masa depan negeri," ucapnya.
Dewi yang juga Duta Universitas Indonesia (Duta UI) untuk Reformasi Birokrasi meminta politikus dan berbagai pihak, termasuk seluruh lapisan masyarakat hendaknya menyadari bahwa politik transaksional adalah fondasi buruk bagi keberlangsungan negara ini.
"Untuk menjadi negara dan bangsa yang kuat, harus dibangun demokrasi yang ideologis, bukan transaksional," kata Dewi, peraih gelar doktor dengan lulus tercepat dan mendapat nilai cum laude program doktoral Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. R. Siti Zuhro, M.A., Ph.D. berharap produk pemilu mendatang tidak melahirkan pemimpin transaksional, tetapi pemimpin transformatif.
Prof. Wiwieq--sapaan akrab R. Siti Zuhro--mengemukakan bahwa pemimpin transaksional dalam mengambil keputusan mempertimbangkan untung-rugi, seperti proses perdagangan, bukan benar-salah atau tepat-melenceng.
"Mereka mengandalkan 'hard power', antara lain perintah, 'rewards', hukuman, dan kepentingan pribadi (self-interest)," kata dosen tetap pada Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Riau itu.
Adapun pemimpin transformatif, kata almunus Curtin University, Perth, Australia itu, berorientasi pada perubahan demi tercapainya tujuan dengan sejauh mungkin melibatkan pengikutnya.
"Mereka memanfaatkan 'soft power', yakni dengan memberi contoh, memotivasi pengikut untuk memiliki idealisme dalam upaya mencapai tujuan," kata Prof. Wiwieq yang juga dikenal sebagai pakar otonomi daerah.
Apa yang dikemukakan oleh Prof. Wiwieq, Dewi Aryani, maupun Effendi Gazali juga diasakan oleh seluruh anak bangsa bahwa pemilu mendatang produknya tidak saja memenuhi aspek yuridis, tetapi juga melahirkan pemimpin bangsa yang sidik (jujur), amanah, fatanah, dan tablig.
Mampukah produk Pemilu 2014, baik Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (9 April 2014) maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI (9 Juli 2014), mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia? Di sinilah rakyat, khususnya yang punya hak pilih, ikut menentukan siapa di antara anak bangsa yang layak untuk duduk di kursi wakil rakyat dan menjadi presiden.
Jika tetap berada dalam bingkai empat kebenaran (agama, peraturan perundang-undangan, norma yang berlaku di tengah masyarakat, dan hati nurani), pemilih pada Pemilu 2014 tidak mudah terjebak janji-janji politik para caleg maupun bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mengedepankan politik transaksional.
Cita-cita bangsa pun insya Allah akan mudah terwujud jika pemilu mendatang melahirkan wakil rakyat, presiden, dan wakil presiden yang sidik, amanah, fatanah, dan tablig.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor:
Kliwon
COPYRIGHT © ANTARA 2025