Logo Header Antaranews Jateng

Ketika Kelas Menengah Kian Merekah

Kamis, 20 Maret 2014 13:45 WIB
Image Print
Ilustrasi kafe. Foto ANTARA


Perubahan mencolok di kota-kota besar dan menengah adalah menjamurnya kafe, mal, tempat hiburan malam, restoran, apartemen, hingga hotel berbintang, yang semuanya itu lebih menunjukkan pada pergeseran gaya hidup yang lebih konsumtif. Pertumbuhan ekonomi memang mengharuskan adanya dorongan konsumsi berkelanjutan pula.

Karakter industri peranti teknologi informasi yang sangat inovatif senantiasa memancing banyak orang membelanjakan uangnya untuk membeli peranti komunikasi keluaran terbaru. Telepon selular, tablet, pad, dan semacamnya tidak lagi hanya dianggap sebagai alat komunikasi, tetapi lebih untuk memenuhi gaya hidup dan kesenangan.

Gaya hidup ini berperan penting dalam mendorong tumbuhnya konsumsi domestik meskipun belum banyak "gadget" buatan Indonesia.

Hampir setiap malam, bukan hanya pada akhir pekan, kafe, tempat hiburan, restoran, mal, dan hotel disesaki anak muda berpenghasilan lebih dari cukup. Sebagian adalah mereka yang ingin melanjutkan negosiasi bisnis dengan mitranya, sebagian besar lagi adalah kaum urban yang ingin mencari kesenangan sambil bermain kata dan gambar di media sosial.

Selain itu, biro perjalanan wisata juga panen rezeki karena semakin banyak warga yang ingin melancong ke berbagai tujuan, termasuk pelesiran ke mancanegara. Kian ramainya bandara di berbagai kota, terutama Bandara Soekarno Hatta, menjadi indikator tambahan bahwa semakin banyak penduduk Indonesia yang makmur.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) bisa menjadi pendukung kian besarnya belanja penduduk Indonesia untuk memenuhi kebutuhan non-pangan. Pada 1999, BPS mencatat sektor makanan menghabiskan porsi pengeluaran sebesar 62,94 persen, kemudian susut menjadi 50,66 persen pada 2013 (Maret).

Sementara itu, pengeluaran untuk non-pangan, seperti belanja barang tahan lama dan rumah beserta fasilitasnya, pada periode sama melonjak dari 37,06 persen pada 1999 menjadi 49,34 persen pada 2013.

Angka tersebut menunjukkan porsi untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non-pangan nyaris seimbang. Mungkin tak perlu lama lagi porsi belanja non-pangan bakal melampaui biaya makanan.

Menyimak berbagai laporan penjualan sepeda motor, mobil, barang elektronik, telepon seluler, perkakas rumah tangga, hingga kredit konsumsi yang melonjak, itu menandakan konsumsi domestik memang sangat kuat dalam menopang pertumbuhan ekonomi. Penjualan sepeda motor tahun ini diperkirakan lebih dari tujuh juta unit, sedangkan mobil melampaui angka 1,2 juta unit.

Lihatlah, kehadiran mobil murah ramah lingkungan (LCGC) langsung disambar kelas menengah baru yang mendambakan memiliki mobil gres.

Konsumsi domestik yang menggelembung diperkirakan masih akan terjadi. Bakal calon presiden Joko Widodo disebut-sebut sebagai sosok yang disukai pasar sehingga investasi bakal menjulang.

Oleh karena itu, dalam beberapa tahun ke depan, pertumbunan ekonomi diperkirakan tetap di atas lima persen. Hal itu juga diperkuat oleh persepsi konsumen Indonesia yang amat optimistis dalam melihat masa depan, dengan tingkat kepercayaan konsumen pada level 124 pada 2013.

Jadi, bila Pemilu dan Pilpres 2014 sukses melahirkan pemimpin politik visioner, Indonesia memiliki modal besar untuk menjadi kekuatan baru ekonomi global bersama China, India, dan Brasil.

Meski demikian, prestasi itu juga masih menyisakan masalah. Jumlah penduduk miskin masih belasan juta jiwa disertai dengan ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan oleh Gini Ratio.

Ini memang merisaukan. Badan Pusat Statistik mencatat Gini Ratio pada 2013 tercatat 0,413, padahal pada 1996 tercatat masih 0,355. Gini Ratio mengindikasikan semakin tinggi koefisien itu kian lebar kesenjangan pendapatan di masyarakat.

Menjadi tugas bagi presiden terpilih mendatang untuk membagi kue pendapatan yang semakin besar tersebut kepada sebanyak mungkin warga agar mereka tidak hanya menjadi penonton atas kemakmuran warga yang lain.

Alangkah tidak elok segelintir warga Indonesia masuk kelompok orang paling tajir sejagad, sementara belasan juta WNI masih berjuang keluar dari kemiskinan.

Tidak sedap pula dipandang mata ketika menyaksikan kelas menengah beraroma wangi setiap akhir pekan nongkrong menikmati segelas kopi seharga Rp80.000/cangkir, sementara jutaan jiwa harus bertarung hidup mati hanya untuk memastikan bahwa esok hari masih ada nasi.

Pendapatan melonjak
Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang mencatat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Meskipun tidak spektakuler, seperti China yang mencapai tujuh persen lebih, pemerintah berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas lima persen. Bahkan ketika perekonomian dunia, termasuk Amerika Serikat dan Eropa, jeblok pada 2008, Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan positif.

Menurut perkiraan Bank Dunia, jumlah kelas menengah di Indonesia pada 2003 tercatat 37,7 persen, kemudian melonjak menjadi 56,6 persen atau setara dengan 134 juta penduduk. Ini berarti lebih dari setengah penduduk Indonesia menghuni kelas sosial ekonomi yang relatif makmur ini. Bila ekonomi Indonesia terus membuncah, jumlah kelas menengah bakal kian merekah, bukan hanya di perkotaan, tapi juga di kota kecil dan perdesaan.

Masa keemasan ini ditunjang oleh kondisi Indonesia yang memasuki periode bonus demografi yang diperkirakan bakal dinikmati bangsa ini selama 25 tahun ke depan hingga tahun 2035. Kepala Bappenas Armida Alisjahbana menyatakan pada 2010 rasio ketergantungan di Indonesia sudah mencapai 50,5 atau setiap 100 pekerja menanggung 50,5 orang penduduk yang bukan usia produktif, di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun.

Profil kelas menengah ini memang tidak seragam dalam jumlah pendapatan dan pengeluaran. Bank Pembangunan Asia (ADB) membagi kelas menengah dalam tiga kelompok berdasarkan besaran pengeluaran per kapita per hari.

Kelas menengah kelompok pertama dengan pengeluaran 2-4 dolar AS (Rp23.000-Rp46.000) per kapita per hari, kemudian kelompok kedua dengan pengeluaran 4-10 dolar AS (Rp46.000-Rp115.000). Kelompok kelas menengah ketiga adalah mereka yang membelanjakan 10-20 dolar AS (Rp115.000-Rp230.000) per kapita per hari.

Menyimak kategorisasi tersebut, maka pekerja bujang dengan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sekitar Rp 1,2 juta per bulan termasuk kelas menengah karena penetapan UMK antara lain didasarkan pada kebutuhan minimal pekerja.

Selain melahirkan puluhan juta kelas menengah baru, menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan juga mampu memangkas angka kemiskinan, dari kisaran 17 persen pada 2004 turun menjadi 11,6 persen pada 2013. Selain itu, pendapatan per kapita dalam 10 tahun terakhir ini juga melonjak, dari sekitar 1.200 dolar AS pada 2004 menjadi 4.000 dolar AS pada 2013.

"Jadi, jangan pernah berpikir negatif pada bangsa ini. Memang masih banyak yang belum tercapai, tapi banyak keberhasilan bangsa kita yang telah kita capai," katanya.

Membengkaknya lapisan kelas menengah tersebut memberi efek berantai (multiplier effects) yang panjang seperti bola salju yang menggelinding dari puncak gunung. Industri otomotif, elektronik, properti, hingga pemilik kafe mulai dari kelas kaki lima hingga eksklusif menikmati gurihnya rezeki dari kelas menengah tersebut.

Ciri kelas menengah baru ini tidak sayang membelanjakan pendapatannya untuk barang dan jasa yang menjadi simbol status atau memberi kesenangan. Kelompok menengah ini juga lebih berani mengambil risiko dalam berinvestasi sehingga sekarang ini mudah menemukan orang muda di bawah usia 40 tahun memiliki rumah lebih dari satu meskipun dibeli dengan cara berutang.

"Imbalan paling pantas setelah bekerja keras dan memeras otak yaitu dengan membeli sesuatu yang saya sukai. Bisa barang elektronik, mobil, atau rumah," kata Agus Santosa, eksportir mebel.

Ayah dua anak yang kini berusia 37 tahun itu menyatakan sudah lama merintis usaha furnitur hingga bisa berkembang seperti sekarang ini sehingga wajar bila dia, istri, dan anak-anaknya menikmati hasil jerih payahnya.

Setelah memiliki tabungan lebih dari sembilan digit, ia mengaku tidak sayang mengambil sebagian tabungannya untuk berlibur ke luar negeri.

Bagi Agus dan kelas menengah baru, bekerja keras pantas diganjar dengan kesenangan. ***

Pewarta :
Editor: Zaenal A.
COPYRIGHT © ANTARA 2025