Logo Header Antaranews Jateng

Demi Masa Depan, Tak Harus Tunggu Lebaran

Rabu, 30 April 2014 14:26 WIB
Image Print


Posisi demokrat saat ini masih menunggu pertengahan Mei untuk bersikap apakah mencalonkan Presiden apakah berkoalisi ataukah memilih di luar pemerintahan dengan beroposisi dengan cerdas. Sebenarnya kalau kita mau berpikir agak jernih, saat Presiden dijabat SBY saja Partai Demokrat hanya menempatkan beberapa kader di kabinet.

Dari hal itu saja tidak mungkin ada upaya dari SBY untuk bicara berbagi kursi andai bertemu dan berkomunikasi dengan Megawati dan tokoh partai lainnya. Sebagai tokoh politik yang dua kali memenangi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI tentunya keinginan pertemuan itu dilihat sebagai energi positif bagi tokoh-tokoh partai untuk bertukar pikiran, bukan hanya bagaimana memenangi pilpres, melainkan bagaimana mengelola pemerintahan dan negara ini dalam sistem politik yang baru kita tempuh.

Kombinasi presidensial dengan sistem multipartai adalah pilihan yang penuh kompleksitas dan penuh potensi yang membahayakan stabilitas demokrasi. Beberapa negara Amerika Latin, terutama Chile yang bisa bertahan lama dalam kombinasi ini. Kita pernah gagal dengan kombinasi ini hingga hasil Pemilu 1955 hanya bertahan empat tahun saat Soekarno mendekretkan konstitusi kembali ke UUD 1945.

Sebetulnya presidensial sudah menjadi pilihan sejak proklamasi. Namun, sistem satu partai dan multipartai adalah dua pilihan yang serba sulit walau akhirnya Hatta mengeluarkan maklumat multipartai dan keinginan Soekarno satu partai tidak terwujud. Semua punya argumen sama: bangsa ini plural dan sangat beragam. Keberagaman miliki potensi ketidakpastian jika gagal mengelolanya sehingga perlu satu partai saja untuk mengelolanya. Di lain fihak, keberagaman itu tidak mungkin dipaksakan dalam satu wadah karena chemistry sudah sejak dahulu kalanya berbeda, tetapi sepakat di dalam wadah berbeda berkonsensus bersatu dan bersama.

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) hampir saja tidak ada kata sepakat, tetapi pilihan lebih penting kemerdekaan mampu menyatukan. Akan tetapi, konstituante dibubarkaan Soekarno karena tidak berhasil bermufakat. Sejak itu multipartai bukan lagi jalan yang dipilih hingga 1998. Artinya, penyederhanaan partai dan fusi pada era Soeharto walau mampu bertahan lama, tetapi itu api dalam sekam. Kepatuhan yang dipaksakan yang akhirnya multipartai kembali menjadi pilihan mendampingi presidensial.

Kombinasi ini kenapa cukup problematik karena sulit mendapatkan partai dominan pemenang pemilu (51 persen) sehingga PDI Perjuangan, Golkar, dan Demokrat dalam empat pemilu pada era reformasi hanya menjadi partai suara terbesar. Konsekuensinya kita lihat presidensial menyesuaikan diri dengan kekuatan parlemen dan koalisinya.

Oleh karena itu, Kabinet Nasional selalu menjadi pilihan ketimbang kabinet ahli. Kelebihan kabinet ahli adalah fokus pada promatik. Inilah negara kita, inilah bangsa kita yang majemuk. Stabilitas demokrasi menempuh jalan "sharing" kekuasaan. Politik adalah seni mengatur keseimbangan. Apalagi, penyebaran kekuatan politik juga sebarannya tidak seragam di berbagai daerah. Beroposisi di Jakarta tetapi bisa satu jalan di daerah-daerah.

Pemilu 1999, PDI Perjuangan menjadikan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden setelah koalisi yang mengagalkan Megawati sebagai presiden meninggalkan Gus Dur dan bergabung dengan PDI Perjuangan hinggaa Mega menjadi Presiden. Pilihan Rakyat 2004 dan 2009 dengan segala dinamikanya sudah terbukti bahwa meski kompleks dan membahayakan stabilitas demokrasi, mampu menunjukkan presidensial bisa berdampingan dengan multipartai.

Mahatir Muhammad bukanlah tokoh yang tepat menjadi dosen sistem politik kita. Karena Malaysia bukan negara demokrasi. China juga bukan negara yang bisa dirujuk karena sistemnya berbeda. Bahkan Amerika yang presidensialis sekalipun meski multi partai namun pada prakteknya sistem dua partai.

Presiden kita mendatang harus sadar sistem politik kita dan sudah beralihnya sebagian besar hak prerogatif ke parlemen. Terlepas pro dan kontra, kita harus mendukung upaya SBY untuk duduk bersama Megawati dan tokoh politik lainnya membicarakan bangsa ini ke depan. Segala yang mengandung upaya persatuan harus kita dukung. Kalau diibaratkan penerjun, SBY lah yang baru tercatat sebagai penerjun yang mulus mendarat, dan menata daerah pendapatan dengan stabil, banyak perkembangan positif meski belum seluruhnya tercapai seperti yang diinginkan.

Capres saat ini siapa pun nantinya harus menjadi penerjun yang sukses dan menguasai wilayah pendaratannya. Tidak harus menunggu Lebaran atau natalan untuk para pemimpin kita duduk bareng dengan niat Indonesia yang lebih baik ke depan.

(*) Staf Khusus Presiden RI

Pewarta :
Editor: Kliwon
COPYRIGHT © ANTARA 2025