Sedekah untuk Kedung Penuh Material Merapi
Minggu, 4 Mei 2014 16:56 WIB
Mereka yang lain, puluhan warga Dusun Gleyoran, Desa Sambeng, Kecamatan Borobudur, sekitar 4 kilometer timur Candi Borobudur itu, turut berdoa dari tepi Kali Progo, di dekat tempat yang mereka beri nama secara turun-temurun sebagai "Kedung Winong".
Lelaki tua yang memimpin doa itu bernama Mujiyoto (70). Dia mengenakan belangkon, bebet, dan surjan warna biru saat bersama puluhan warga setempat lainnya melakukan prosesi ritual "Sedekah Kedung Winong". Terik matahari siang itu seakan sedang menyentuh persis di atas kepala.
Tradisi itu juga sekaligus pembuka rangkaian agenda budaya tahunan, Ruwat-Rawat Borobudur, mulai 4 Mei hingga 15 Juni 2014, bertempat di berbagai dusun di kawasan candi yang juga warisan budaya dunia itu.
Hadir pada pembukaan Ruwat-Rawat Borobudur di tengah dusun setempat, antara lain Camat Borobudur Nanda Cahyadi, Kepala Unit PT Taman Wisata Candi Borobudur Bambang Irianto, Koordinator Kelompok Kerja Pengamanan Balai Konservasi Borobudur Sugiyono.
Selain itu, Ketua Forum Rembuk Klaster Kepariwisataan Borobudur Sukirno dan Ketua Sekolah Lapangan Kawasan Borobudur "Ngudi Kawruh" Eri Kusuma Wardhani.
Setelah sejenak waktu berdoa, Mujiyoto melarung di Kali Progo itu, kendil berisi air dan bunga mawar warna merah dan putih. Air di dalam kendil tersebut diambil dari satu mata air Desa Sambeng, tidak jauh dari dusun setempat.
Dengan didampingi sejumlah orang lainnya, dia memotong tumpeng terbuat dari nasi berwarna kuning, mengambil lauk-pauk dan sayuran dari tandu yang dibawa empat pemuda dusun setempat, lalu melarungnya di sungai yang mengalir dengan tampak tenangnya itu.
Sejumlah orang menaburkan bunga mawar merah dan putih, saat prosesi larungan di Sungai Progo itu.
"'Supados warga pikantuk keslametan anggenipun ngupadi panguripan' (Supaya warga beroleh keselamatan dalam mencari penghidupan, red.)," katanya.
Warga setempat berjumlah sekitar 400 jiwa atau 90 kepala keluarga. Sebagian besar warga sebagai pencari batu di kali itu untuk dibuat kricak. Harga kricak untuk satu tomblok ukuran relatif besar saat ini sekitar Rp1.500.
Dari sekitar Kedung Winong itu, masyarakat setempat baik laki-laki maupun perempuan, mengumpulkan batu-batu sungai untuk dibuat kricak secara manual.
"Namanya 'Kedung Winong', karena di atas kedung itu ada tebing tinggi yang di atasnya berupa tegalan, warga mencari batu untuk kricak di dekat kedung," katanya.
Saat ini, kedung di ruas Kali Progo itu telah terisi material baik batu maupun pasir dari Gunung Merapi saat terjadi banjir lahar hujan pada tahun 2011 setelah fase erupsi Merapi pada akhir 2010.
Muara Sungai Pabelan yang menjadi salah satu jalur banjir lahar hujan dari Gunung Merapi adalah Sungai Progo. Aliran air Sungai Progo menuju Samudera Indonesia, antara lain melewati Dusun Gleyoran, Desa Sambeng di kawasan Candi Borobudur.
Pada masa lalu, Kedung Winong di Sungai Progo itu dengan kedalaman sekitar 10 meter dan banyak macam ikan, seperti tombro, beong, dan wader hidup di tempat itu. Warga juga sering mencari ikan di tempat tersebut.
"Dulu warga juga sering menjaring dan memancing ikan di Kedung Winong," kata Pitoyo, seorang tokoh warga setempat yang juga pegiat "Warung Info Jagad Cleguk", komunitas Borobudur yang memprakarsai agenda tahunan "Ruwat-Rawat Borobudur".
Ia menyebut secara turun-temurun tradisi sedekah itu dilakukan masyarakat setempat pada setiap awal Mei.
Warga setempat, katanya, memandang bahwa banjir lahar hujan pada 2011 yang membawa material vulkanis dari Gunung Merapi hingga Sungai Progo di dekat dusun setempat sebagai berkah untuk mereka saat ini.
"Ini menjadi berkah yang kami syukuri. Meskipun Kedung Winong telah mengalami pendangkalan akibat banjir lahar Merapi, tetap kami kenang dan kami bersyukur atas kedung ini. Batu-batu dari Merapi sampai di sini menjadi rezeki kami," katanya.
Rangkaian tradisi Sedekah Kedung Winong, antara lain pentas beberapa kesenian tradisional dari kawasan Candi Borobudur, seperti jatilan putri, topeng ireng, warok bocah bajang, dan tarian campur, serta musik pitutur.
Eri Kusuma menyebut tradisi masyarakat Dusun Gleyoran yang terus mereka hidupi terkait dengan Kedung Winong menjadi bagian dari usaha warga untuk menguatkan kehidupan sosial dan budaya kawasan Candi Borobudur.
"Pelestarian Borobudur tidak hanya menjaga dan memperbaiki kerusakan bangunan candi yang adiluhung itu, tetapi juga mengakomodasi dinamika masyarakat dengan interaksi sosial dan budayanya, alam, dan lingkungannya," katanya.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025