Logo Header Antaranews Jateng

Sadran juga Bentengi Desa dari Gempuran Kuliner

Senin, 12 Mei 2014 12:44 WIB
Image Print
Mustaka Masjid Al Ikhsan Dusun Sonobayan, Desa Banyuurip, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang. (Hari Atmoko/ilustrasi).

Terlihat isi tenong yang dibawa perempuan bernama Romlah (60) itu, antara lain ingkung, nasi, kerupuk, kare, sambal goreng kentang, mi, mangut ikan, tempe bacem, tumis buncis, dan perkedel.

Ia bersama warga berasal dari sejumlah dusun lainnya yang juga membawa menu hampir serupa, mengikuti tradisi sadran di depan Masjid Al Ikhsan Dusun Sonobayan, Desa Banyuurip, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Tradisi yang terutama untuk mendoakan arwah leluhur dikuburkan di makam dusun di kawasan tepi Kali Elo tersebut dijalani warga Dusun Sonobayan, Ngepos, Gondanglegi, Banyuurip, Canguk, bertepatan dengan kalender Jawa, setiap Legi antara 10 dan 15 Rajab. Tahun ini, tradisi sadran mereka jatuh pada hari Senin (12/5) pagi. Kali Elo di desa itu membatasi wilayah Kabupaten dengan Kota Magelang.

Muhammad Zaelani, pemuka warga setempat pada kesempatan itu memimpin pembacaan tahlil. Masing-masing warga mengangkat kedua tangan saat darasan doa itu berkumandang, seakan-akan menyelimuti Dusun Sonobayan.

Saat ini, jumlah warga dusun setempat 198 kepala keluarga atau sekitar 600 jiwa. Sebagian besar warga bekerja sebagai pegawai negeri dan swasta, pedagang, serta sedikit menjadi petani.

Disebut pula dalam doa mereka, nama cikal bakal dusun yang dimakamkan di kampung setempat, sebagai Kiai dan Nyai Polosoro.

Dengan membuka tutup tenong, seakan Romlah dan warga lainnya percaya bahwa doa mereka juga menjadi sentuhan berkah untuk makanan yang akan disantap bersama-sama dalam tradisi sadran.

Warga lainnya, baik lelaki maupun perempuan, saat menjalani tradisi sadran, juga membawa menu makanan dengan menggunakan berbagai wadah, antara lain tenong, rantang, dan tampah.

"Keluarga dari luar desa yang memiliki leluhur dimakamkan di dusun ini juga datang untuk 'nyadran' (menyadran, red.), mendoakan arwah leluhur dan orang tua mereka," kata Kepala Dusun Sonobayan Sholeh.

Mereka yang disebut kadus itu, antara lain datang dari Muntilan, Salatiga, Yogyakarta, Semarang, dan Solo.

Sehari sebelumnya atau Minggu (11/5), warga gotong royong membersihkan kuburan umum dusun, termasuk makam Kiai dan Nyai Polosoro, dilanjutkan dengan tabur bunga, sedangkan doa dan makan bersama sebagai puncak tradisi sadran dilakukan di halaman Masjid Al Ikhsan Dusun Sonobayan, Senin (12/5) pagi.

Ustaz Dusun Sonoboyo Nur Salim memberikan pengajian terkait dengan makna tradisi sadran, terutama bertujuan mengirim doa untuk arwah leluhur, mohon keselamatan warga, dan menguatkan iman mereka melalui infak serta sedekah.

Akan tetapi, tradisi itu juga menguatkan semangat kebersamaan warga dalam hidup sehari-hari yang mewujud dalam makan bersama.

"'Nyadran' jangan menjadi ajang pesta kuliner, tetapi bagian dari doa, sedekah, dan saling berbagi makanan untuk dinikmati bersama-sama," katanya dalam bahasa Jawa.

Seakan Sang Ustaz kampung setempat pada kesempatan tersebut mengkritik merebaknya produk kuliner sebagai industri komersial yang secara instan dengan mudah bisa dinikmati warga.

Menu makanan desa dalam tradisi sadran dinikmati bersama-sama secara ikhlas oleh warga dalam balutan doa syukur.

"Masakan dalam 'nyadran' sebagai sedekah. Masakan saling ditawarkan kepada yang lain. Entah enak atau tidak, makanan itu hasil perjuangan para istri sejak tadi malam, mereka memasak dan menyiapkan dengan semangat bersedekah. Ikhlas pula kita bersama-sama menyantapnya," katanya.

Di antara warga setempat kemudian saling berbagi dan bertukar menu makanan, saat santap bersama setelah pengajian. Suasana terkesan gembira menyeruak dari raut wajah mereka.

Ika Fitriana, warga setempat yang juga menantu Romlah, mengantar sebagian makanan untuk tradisi sadran tersebut ke kampung asalnya di Desa Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang. Jarak Dusun Sonobayan dengan Payaman relatif tidak jauh.

Dengan bakul yang dibungkus kain, dia diantar suaminya menggunakan sepeda motor menuju desa asalnya, untuk mengantar makanan hasil masakan mertuanya, sebagai tanda berbagi berkah.

"'Ater-ater' (mengantar, red.) dulu," katanya.


Pewarta :
Editor: M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025