Netralitas TNI Versi Buku Saku Prajurit
Jumat, 13 Juni 2014 08:47 WIB
Tentara Nasional Indonesia (TNI) tampaknya tidak main-main dalam masalah ini. TNI, khususnya Komando Daerah Militer IV/Diponegoro, telah menunjukkan kesungguhannya menjaga netralitas dalam pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan menerbitkan "Buku Saku Netralitas TNI dalam Pemilu Prajurit Kodam IV/Diponegoro".
Penerbitan buku saku ini jauh hari sebelum kasus dugaan keterlibatan oknum Bintara Pembina Desa (Babinsa) dalam kampanye Pilpres muncul ke permukaan, atau sebelum pelaksanaan Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), 9 April lalu.
Di dalam kata pengantar buku saku yang diterbitkan pada bulan Maret 2014 itu, Panglima Komando Daerah Militer IV/Diponegoro Mayjen TNI Sunindyo mengatakan bahwa buku saku itu merupakan himpunan dari buku-buku dan referensi tentang netralitas TNI yang dikemas secara khusus untuk dapat digunakan sebagai pedoman oleh para perwira, bintara, tamtama, dan pengawai negeri sipil (PNS) jajaran Kodam IV/Diponegoro dalam melaksanakan tugas di mana pun mereka berada.
"Sikap netral dan tidak memihak akan dilaksanakan secara konsisten dan bertanggung jawab oleh setiap prajurit dan PNS Kodam IV/Diponegoro yang berada di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta," kata Pangdam Mayjen TNI Sunindyo.
Terkait dengan hal itu, lanjut Pangdam IV/Diponegoro, keberadaan buku tersebut tentunya akan sangat bermanfaat dalam rangka mewujudkan netralitas TNI di wilayah Kodam IV/Diponegoro.
Dalam buku saku setebal 20 halaman plus 22 halaman tambahan itu, disebutkan bahwa netralitas TNI merupakan amanah dalam pelaksanaan reformasi internal TNI sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Makna lema "netral" dalam buku tersebut adalah tidak berpihak, tidak ikut, atau tidak membantu salah satu pihak. Kemudian, yang dimaksud dengan "netralitas TNI", yakni TNI bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Khusus bagi keluarga prajurit TNI (istri/suami/anak), hak memilih merupakan hak individu selaku warga negara. Dalam hal ini, institusi atau satuan dilarang memberi arahan di dalam menentukan pelaksanaan dari hak pilihan tersebut.
Larangan lainnya, prajurit TNI tidak diperkenankan memobilisasi semua organisasi sosial, keagamaan, dan ekonomi untuk kepentingan partai politik dan kandidat tertentu. Di samping itu, prajurit dilarang sebagai juru kampanye serta larangan lain yang sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
Tugas Pokok TNI
Adapun tugas pokok TNI, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 UU TNI, adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Tugas pokok itu dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang (OMSP). Tugas yang terakhir atau OMSP, antara lain untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata; mengatasi pemberontakan bersenjata; mengatasi aksi terorisme; dan mengamankan wilayah perbatasan.
Selain itu, mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya.
Tugas lainnya, yakni memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; membantu tugas pemerintahan di daerah; membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.
Tidak saja itu, TNI juga membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan; membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta membantu Pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
Di dalam Pasal 7 Ayat (3), disebutkan bahwa ketentuan tersebut di atas dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Pola Gerak Diubah
Kendati demikian, Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo memandang perlu mengubah sementara pola gerak Babinsa menjelang pemilihan umum, baik pemilu anggota legislatif maupun Pilpres. Sebab, struktur TNI tidak harus selalu paralel dengan organisasi pemerintah.
Hal itu termaktub dalam penjelasan Pasal 11 Ayat (2) tentang TNI bahwa dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis dan penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.
"Artinya, tugas dan fungsi Babinsa juga perlu dievaluasi dan pola gerak menjelang pemilu anggota legislatif dan Pilpres harus diubah sementara dan tetap dalam pengawasan tugas komandan, atasannya," kata Tjahjo.
Terkait dengan dugaan oknum Babinsa terlibat kampanye, Ketua Tim Kampanye Nasional Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla itu mengatakan, "Sebagai manusia, seorang Babinsa wajar khilaf dalam menjalankan tugas. Kendati demikian, harus terus diingatkan karena bisa merusak kehormatan institusi."
Tjahjo yang juga anggota Komisi I (Bidang Pertahanan) DPR RI menekankan, "Apa pun komandan harus bertanggung jawab. Jangan semata dikorbankan anak buah saja."
Menurut dia, oknum Babinsa yang melakukan kesalahan prosedur pada tahap pertama cukup ditegur atau peringatan keras saja dan tidak perlu diberi sanksi hukuman atau sampai penundaan kepangkatan.
"Kalau oknum tersebut melakukan untuk kali kedua, baru ada sanksi," kata Tjahjo ketika merespons atas pengaduan sejumlah keluarga yang mengaku didatangi oknum Babinsa yang meminta mereka untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu pada hari Minggu (8/6).
Ia menandaskan bahwa TNI, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Huruf d UU TNI, adalah tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
"Tugas pokok TNI terbatas pada OMP (operasi militer untuk perang) dan OMSP (operasi militer selain perang), artinya tidak ada dasar hukum bagi prajurit TNI (Babinsa) melakukan pendataan masyarakat, khususnya terkait dengan Pilpres," kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu.
Pada Pilpres 9 Juli mendatang akan diikuti oleh dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, di samping pasangan Jokowi-JK yang diusung PDI Perjuangan, Partai NasDem, PKB, Partai Hanura, dan PKPI, juga pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang diusung Partai Gerindra, PAN, Partai Golkar, PKS, PPP, dan PBB.
Pilpres yang diikuti dua peserta tersebut agaknya perlu langkah-langkah antisipasi untuk meminimalkan konflik antarapendukung.
Keberadaan Babinsa di tengah masyarakat yang akan berpesta demokrasi pada tanggal 9 Juli mendatang agaknya tetap diperlukan guna mengantisipasi dan mewaspadai setiap perkembangan situasi di lingkungannya. Langkah antisipasi ini juga termaktub dalam Buku Saku Netralitas TNI.
Para komandan/kepala satuan di jajaran TNI juga diperintahkan melaksanakan temu cepat dan lapor cepat secara hierarki apabila ada kejadian atau kegiatan yang berindikasi menghambat, mengganggu, atau langkah menggagalkan pemilu dan pilkada.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor:
Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2025