Jejak Budaya Manusia Prasejarah di Pulau Seram
Kamis, 25 September 2014 12:19 WIB
"Jejak-jejak budaya manusia presejarah di Pulau Seram masih samar hingga saat ini, tapi situs Hatusua merupakan lokus potensial untuk menemukan bukti-bukti arkeologis yang dipandang mampu menjelaskan okupasi manusia prasejarah di sana," katanya di Ambon, Kamis.
Marlon menjelaskan, Kepulauan Maluku merupakan kawasan perlintasan antara Daratan Besar Sunda di sebelah barat dan Daratan Besar Sahul di Timur, daerah yang menentukan penemuan bukti-bukti migrasi awal manusia prasejarah menuju Australia.
Sejauh ini bukti-bukti tertua pendudukan manusia prasejarah di kepulauan tersebut baru ditemukan di bagian utara dan tenggara Kepulauan Maluku, yakni di Gebe Maluku Utara dan Kepulauan Aru.
Beberapa penelitian terakhir, menurut Marlon, menunjukkan adanya jejak budaya prasejarah di Kawasan Situs Hatusua yang berada di pesisir selatan bagian barat Pulau Seram dan merupakan bagian dari Kabupaten Seram Bagian Barat.
Lebih lanjut Marlon menjelaskan rekam penelitian di situs Hatusua dimulai oleh dua peneliti Inggris tahun 1976. Pada survei penjajakan tersebut ditemukan gua dengan indikasi arkeologis di dalamnya, termasuk jejak penguburan kuno di Gua Pintu Tujuh yang ada di situs tersebut.
Selepas itu, ekskavasi pertama dilakukan pada 1991 oleh Starks dan Latinis, dua peneliti dari Universitas Hawaii yang bergabung dalam tim peneliti Indonesia-Amerika Serikat melakukan studi pangan lokal di Pulau Seram.
Menurut penelitian terhadap hasil penggalian mereka, situs utu kurang lebih berasal dari masa 1.000 tahun silam atau mewakili masa palaeometalik.
Balai Arkeologi Ambon meninjau situs itu pada 2006, ketika melakukan serangkaian survei potensi purbakala di wilayah Seram Bagian Barat.
Studi atas situs Hatusua lalu dilanjutkan pada 2009 dengan ekskavasi yang dilakukan di lahan terbuka di sebelah selatan kawasan situs yang berada di Desa Hatusua tersebut.
Menurut Marlon, tim yang melakukan penggalian tahun 2009 menemukan kerangka manusia dan jejak penguburan tempayan, di mana bekal kubur berupa tempayan diletakan di bagian tempurung lutut dan sebagai alas kepala si mati,
"Namun tidak diperoleh data kronologi maupun analisis lebih lanjut dari hasil studi tersebut," katanya.
Jejak Megalitik
Di kompleks Situs Purbakala Hatusua juga ada Situs Hatuhuran, yang menurut Marlon memiliki karakter masa megalitik.
"Situs ini memiliki karakter megalitik, sebagaimana ditandai dengan keberadaan dolmen (meja batu) sebagai penanda situs," katanya.
Situs yang dikelilingi bebatuan gamping dan goa-goa yang berindikasi menjadi hunian berulang itu, ia menjelaskan, menjadi titik pengamatan ketiga timnya ketika melakukan ekskavasi di Hatusua pada 16 Mei 2014.
Pada lokus tersebut terdapat dolmen berdiameter 1 x 1,4 meter dengan tiga buah batu di sampingnya. Batu-batu itu diduga merupakan pilar penyangga dolmen.
Dalam kebudayaan masyarakat Hatusua, meja batu yang bentuknya hampir menyerupai bangun ruang segitiga sama kaki tersebut melekat dengan salah satu sejarah tutur mereka, dan lokasi tempatnya berada pun dianggap sebagai kawasan keramat.
Situs Hatusua bisa dijangkau dengan berjalan kaki sekitar 15 menit dari Pelabuhan Waipirit yang merupakan pintu masuk ke Kabupaten Seram Bagian Barat.
Perjalanan ke sana bisa dilakukan menggunakan kendaraan bermotor selama sekitar satu jam dari pusat Kota Ambon ke Pelabuhan Hunimua di Desa Liang, Kabupaten Maluku Tengah, lalu naik feri dua jam ke Pelabuhan Waipirit.
Pemerintah daerah setempat berencana menjadikan Situs Hatusua sebagai taman purbakala.
Marlon berharap selanjutnya pengelolaan situs itu bisa dilakukan secara menyeluruh sehingga kegiatan penelitian tetap bisa dilakukan secara intensif.
Marlon menjelaskan, Kepulauan Maluku merupakan kawasan perlintasan antara Daratan Besar Sunda di sebelah barat dan Daratan Besar Sahul di Timur, daerah yang menentukan penemuan bukti-bukti migrasi awal manusia prasejarah menuju Australia.
Sejauh ini bukti-bukti tertua pendudukan manusia prasejarah di kepulauan tersebut baru ditemukan di bagian utara dan tenggara Kepulauan Maluku, yakni di Gebe Maluku Utara dan Kepulauan Aru.
Beberapa penelitian terakhir, menurut Marlon, menunjukkan adanya jejak budaya prasejarah di Kawasan Situs Hatusua yang berada di pesisir selatan bagian barat Pulau Seram dan merupakan bagian dari Kabupaten Seram Bagian Barat.
Lebih lanjut Marlon menjelaskan rekam penelitian di situs Hatusua dimulai oleh dua peneliti Inggris tahun 1976. Pada survei penjajakan tersebut ditemukan gua dengan indikasi arkeologis di dalamnya, termasuk jejak penguburan kuno di Gua Pintu Tujuh yang ada di situs tersebut.
Selepas itu, ekskavasi pertama dilakukan pada 1991 oleh Starks dan Latinis, dua peneliti dari Universitas Hawaii yang bergabung dalam tim peneliti Indonesia-Amerika Serikat melakukan studi pangan lokal di Pulau Seram.
Menurut penelitian terhadap hasil penggalian mereka, situs utu kurang lebih berasal dari masa 1.000 tahun silam atau mewakili masa palaeometalik.
Balai Arkeologi Ambon meninjau situs itu pada 2006, ketika melakukan serangkaian survei potensi purbakala di wilayah Seram Bagian Barat.
Studi atas situs Hatusua lalu dilanjutkan pada 2009 dengan ekskavasi yang dilakukan di lahan terbuka di sebelah selatan kawasan situs yang berada di Desa Hatusua tersebut.
Menurut Marlon, tim yang melakukan penggalian tahun 2009 menemukan kerangka manusia dan jejak penguburan tempayan, di mana bekal kubur berupa tempayan diletakan di bagian tempurung lutut dan sebagai alas kepala si mati,
"Namun tidak diperoleh data kronologi maupun analisis lebih lanjut dari hasil studi tersebut," katanya.
Jejak Megalitik
Di kompleks Situs Purbakala Hatusua juga ada Situs Hatuhuran, yang menurut Marlon memiliki karakter masa megalitik.
"Situs ini memiliki karakter megalitik, sebagaimana ditandai dengan keberadaan dolmen (meja batu) sebagai penanda situs," katanya.
Situs yang dikelilingi bebatuan gamping dan goa-goa yang berindikasi menjadi hunian berulang itu, ia menjelaskan, menjadi titik pengamatan ketiga timnya ketika melakukan ekskavasi di Hatusua pada 16 Mei 2014.
Pada lokus tersebut terdapat dolmen berdiameter 1 x 1,4 meter dengan tiga buah batu di sampingnya. Batu-batu itu diduga merupakan pilar penyangga dolmen.
Dalam kebudayaan masyarakat Hatusua, meja batu yang bentuknya hampir menyerupai bangun ruang segitiga sama kaki tersebut melekat dengan salah satu sejarah tutur mereka, dan lokasi tempatnya berada pun dianggap sebagai kawasan keramat.
Situs Hatusua bisa dijangkau dengan berjalan kaki sekitar 15 menit dari Pelabuhan Waipirit yang merupakan pintu masuk ke Kabupaten Seram Bagian Barat.
Perjalanan ke sana bisa dilakukan menggunakan kendaraan bermotor selama sekitar satu jam dari pusat Kota Ambon ke Pelabuhan Hunimua di Desa Liang, Kabupaten Maluku Tengah, lalu naik feri dua jam ke Pelabuhan Waipirit.
Pemerintah daerah setempat berencana menjadikan Situs Hatusua sebagai taman purbakala.
Marlon berharap selanjutnya pengelolaan situs itu bisa dilakukan secara menyeluruh sehingga kegiatan penelitian tetap bisa dilakukan secara intensif.
Pewarta : Antaranews
Editor : Totok Marwoto
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Akademisi Unsoed: Kampung Cibun siap menjadi ikon Kampung Cinta Budaya Nusantara Banyumas
29 October 2024 17:41 WIB