Padahal, sebelum Presiden Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga premium dan solar bersubsidi, masing-masing Rp2.000/liter pada 18 November 2014, harga barang dan jasa sudah naik lebih dulu. Koor kenaikan harga barang seolah menjadi ritual setiap pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi.

Semula, rakyat berharap pasar dengan mekanisme sendirinya akan mengoreksi harga barang dan jasa setelah harga BBM turun dua kali dalam tiga pekan terakhir Januari 2015 karena biaya produksi dan operasional produsen otomatis juga menyusut.

Akan tetapi, setelah ditunggu-tunggu sejak penurunan pertama harga BBM bersubsidi pada awal 2015, ternyata reaksi pasar tenang-tenang saja alias harga tidak mengalami penurunan.

Begitu pula beberapa hari setelah pemerintah menurunkan kembali harga BBM pada 19 Januari 2015 dini hari, ternyata reaksi pasar juga relatif anteng. Artinya, kali ini tidak ada korelasi signifikan antara variabel harga BBM dengan harga kebutuhan ketika harga BBM turun. Korelasi itu hanya berlaku ketika harga BBM naik.

Keterangan yang dikumpulkan dari sejumlah pasar konvensional di Jawa Tengah hingga Kamis (22/1) menunjukkan sebagian besar harga sembako masih bertahan, bahkan harga beras malah menanjak, seperti terekam di sejumlah pasar konvensional skala besar di Kabupaten Kebumen.

Harga beras mentik wangi yang sebelumnya Rp9.500/kg kini menjadi Rp10.200 atau naik Rp700, beras IR64 dari Rp8.500/kg menjadi Rp8.800 atau naik Rp300/kg.

"Kenaikan harga beras kemungkinan disebabkan stok yang berkurang karena belum memasuki lagi masa panen," kata kata Kepala Seksi Perlindungan Konsumen Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pasar Kebumen Agung Patuh di Kebumen, Kamis (22/1).

Kentang dari Rp9.000/kg menjadi Rp10.000, wortel dari Rp10.000/kg menjadi Rp12.000, cabai superpedas (setan) masih bertengger dengan harga Rp70.000/kg, sedangkan daging ayam ras merangkak dari Rp28.000 menjadi Rp30.000.

Dari pasar konvesional di Kota Semarang juga diperoleh keterangan relatif sama. Bahkan, harga gula pasir justru naik Rp5.000/karung.

"Sebelumnya per karung isi 50 kg seharga Rp440 ribu, saat ini Rp445 ribu," kata pedagang sembako di Pasar Bulu Semarang Nur Hanifah.

Dari pengamatan, harga daging sapi di pasar konvensional dan swalayan modern juga bertahan dalam kisaran Rp105.000-Rp110.000/kg untuk jenis daging kualitas baik (topside). Padahal, sebelum ada kenaikan harga BBM, daging mutu sama berkisar Rp95.000/kg.

Komoditas yang harganya nyata-nyata turun adalah semen produksi badan usaha milik negara dan gas epliji ukuran 12 kg. Harga semen turun Rp3.000/sak (isi 40 kg) dari sebelumnya Rp58.000, sedangkan gas elpiji 12 kg Rp137.500 belum termasuk ongkos antar ke rumah.

Harga barang kebutuhan sehari-hari tetap bertahan tinggi ketika pemerintah menurunkan harga BBM dirasakan telah memukul secara telak jutaan pekerja berpenghasilan setara upah minimum kabupaten/kota.

"Uang Rp50.000 sekarang habis hanya untuk beli sayur, tahu, tempe, bumbu dapur, dan seperempat kilogram daging ayam. Itu berarti hanya sekali makan, padahal kita butuh tiga kali makan sehari," gerutu Surtiyah, ibu rumah tangga, di Pasar Meteseh Tembalang.

Beberapa ekonom menganalisis faktor psikologis kenaikan harga BBM yang memicu produsen dan pelaku usaha yang terlibat dalam mata rantai perdagangan bahan kebutuhan menaikkan harga, yang kadang melampaui kalkulasi kenaikan biaya produksi akibat kenaikan harga BBM.

Namun, faktor tersebut tidak berlaku ketika harga BBM menurun. Inilah yang menyebabkan orang awam sering menuduh produsen dan pedagang "bermain" curang: hanya mau naik, tapi tidak mau turun sekalipun harga BBM sudah dipangkas harganya.

Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Dr Nugroho SBM juga memiliki dugaan serupa. Produsen dan pedagang tidak bakal dengan ikhlas menurunkan harga barang dan jasa kendatipun harga BBM sudah turun.

"Setiap ada kenaikan harga BBM, banyak spekulan yang bermain dengan berusaha mengeruk untung besar. Namun, ketika harga BBM turun, mereka tidak serta merta mau menyesuaikan dengan harga baru," katanya.

Dalam sistem mekanisme pasar seperti sekarang, menurut dia, akan sia-sia kalau hanya menunggu kebaikan para produsen, pedagang, dan spekulan untuk menurunkan harga.

"Satu-satunya jalan untuk mengendalikan harga pasar agar tidak semakin liar, ya dengan intervensi pasar. Operasi pasar besar-besaran, tepat sasaran, dan berkelanjutan," katanya ketika dihubungi di Semarang, Kamis (22/1).

Ia menambahkan operasi pasar itu harus dilakukan secara masif dan serentak di semua daerah dalam kurun waktu cukup lama. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa pemerintah memiliki stok cukup untuk menstabilkan harga sembako.

Kalau cuma satu-dua kali dan menjangkau hanya beberapa daerah, menurut dia, hal tersebut tidak efektif karena kebijakan seperti itu menyerupai pasar murah pada momentum-momentum tertentu.

Ia menyebut para spekulan yang berada di balik harga bahan kebutuhan tetap bertahan tinggi hingga sekarang ini.

Nugroho menyarankan pemerintah melibatkan industri-industri besar dalam operasi pasar karena kalau hanya mengandalkan Bulog bakal kewalahan.

"Kalau pasar tidak diintervensi, jangan harap harga akan turun dengan sendirinya," demikian Nugroho SBM.