Semarang, Antara Jateng - Farmakogenomik merupakan cabang ilmu farmakologi tidak lagi sekadar sebagai sains tetapi juga seni, kata pemerhati kesehatan dr. Dito Anurogo.

Dokter yang sedang studi S-2 Ilmu Kedokteran Dasar & Biomedis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu kepada Antara di Semarang, Kamis, mengemukakan bahwa variabilitas individu akan mengubah paradigma tentang pengobatan modern.

Konsep satu orang, satu penyakit, satu gen, satu obat, menurut pembelajar dan pemerhati farmakogenomik itu, akan menjadi keniscayaan yang mengubah seni pengobatan pada masa depan.

Sebagai disiplin ilmu yang relatif baru, kata dr Dito, farmakogenomik memang kompleks dan unik sehingga melahirkan tantangan tersendiri bagi ilmuwan. Beragam tantangan itu, misalnya menentukan kandidat gen dan menentukan reseptor obat yang secara spesifik menarget ke lokus gen penyakit.

Solusinya, lanjut dia, melalui pendekatan farmakokinetik dan farmakodinamik untuk menentukan target obat, lingkungan biologis, dan tempat obat bekerja.

Selain itu, memahami jalur, mekanisme, serta gen-gen penyebab penyakit, dan pendekatan genom secara holistis, juga pendekatan epigenetik (lingkungan di sekitar yang berpengaruh terhadap faktor-faktor genetika).

Masalah lainnya, menurut Dito, menetapkan pola respons obat yang diturunkan. Solusinya, dengan melakukan studi bayi kembar dan keluarga, studi linkage antara respons obat dan lokus genom di sel atau model organisme.

"Yang terpenting juga bagaimana mengaplikasikan farmakogenomik ini ke dalam praktik klinisi. Solusinya, dengan penerapan hasil studi yang dilakukan berkali-kali lalu dievaluasi, memertimbangkan efektivitas biaya, edukasi penyedia layanan kesehatan, serta advokasi kepada pembuat kebijakan dan pemerintah untuk implementasi riset farmakogenomik ini ke medis-praktis," paparnya.

Sosialisasi farmakogenomik kepada klinisi, akademisi, dan masyarakat, kata penulis 18 buku tentang kesehatan itu, dapat dilakukan melalui kurikulum-sistem pembelajaran aktif yang menyenangkan.