Yenny: Orang Kota Belajar Guyub dari Desa
Kamis, 6 Oktober 2016 21:28 WIB
Seorang penari berinteraksi dengan penonton saat berlangsung pentas seni budaya bertajuk Centini Gunung di lereng Gunung Andong, Dusun Mantran Wetan, Girirejo, Ngablak, Magelang, Jateng, Kamis (6/10). Pentas seni dalam rangkaian Borobudur Writers And
Magelang, Antara Jateng - Orang kota sudah saatnya memiliki kesadaran untuk belajar dari masyarakat desa tentang semangat hidup sehari-hari yang guyub guna mewujudkan perdamaian, kata Direktur Wahid Institute Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny Wahid).
"Kebiasaan menjaga hidup damai, rukun, guyub, itu ada di desa. Maka, orang kota harus belajar kepada orang desa," katanya di Magelang, Kamis.
Yenny mengatakan hal itu saat pidato kebudayaan pertunjukan "Centhini Gunung" di kawasan Gunung Andong, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Pertunjukan "Centhini Gunung" untuk perayaan Hari Perdamaian Dunia 2016 yang juga menjadi bagian dari agenda Borobudur Writers and Cultural Festival (5 s.d. 8 Oktober 2016) itu, kerja sama Yayasan Samana, Komunitas Lima Gunung, dan Wahid Institute. Tema BWCF 2016 adalah "Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisme dan Religiusitas dalam Kitab-Kitab Nusantara".
Ia mengatakan bahwa berbagai konflik yang mengakibatkan masyarakat merasa hidup tidak tenteram sering dijumpai di kota-kota besar.
Perayaan Hari Perdamaian Dunia di dusun dekat Gunung Andong tersebut, kata dia, sebagai simbol upaya menyatukan antara desa dengan masyarakat internasional.
"Ini yang kami ingin temukan bahwa dari desa untuk masyarakat internasional. Hari ini kita belajar tentang ilmu ketenteraman hati, belajar dengan orang desa. Silaturahmi terus terjaga," katanya
Pada kesempatan itu, dia juga menjelaskan tentang tokoh dalam Serat Centhini yang mengabdikan diri kepada tuannya sehingga dia mencapai "titik makrifat".
"Pengabdian Centhini menjadi jalan menuju Tuhan. Gus Dur (presiden ke-5 RI K.H. Abdurrahman Wahid yang juga ayah Yenny, red.) mengabdi untuk masyarakat, memuliakan manusia yang baik, buruk, jahat, baik, harus dimuliakan. Yang jelek dirangkul supaya baik, jangan dikafirkan tetapi ditata," katanya.
Ia juga mengemukakan tentang pentingnya setiap orang membangun sikap rendah hati, terutama dalam mengabdikan hidup kepada masyarakat.
"Kami ingin mengingatkan kita semua, kita harus menjadi abdi masyarakat, kita harus menjadi 'centhini-centhini' baru di masyarakat," katanya.
Acara yang dihadiri beberapa tokoh nasional, budayawan, dan seniman dari sejumlah kota serta ribuan masyarakat desa-desa di kawasan setempat itu, antara lain, ditandai dengan kirab ratusan seniman petani, pentas belasan perempuan seniman yang menamakan diri "Centhini Gunung" yang menjadi bagian dari Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, prosesi ritual kontemporer "Ondho (tangga) Centhini", dan pembacaan puisi "Para Peziarah Sejarah" karya penyair Dorothea Rosa Herliany oleh para perempuan "Centhini Gunung".
"Kebiasaan menjaga hidup damai, rukun, guyub, itu ada di desa. Maka, orang kota harus belajar kepada orang desa," katanya di Magelang, Kamis.
Yenny mengatakan hal itu saat pidato kebudayaan pertunjukan "Centhini Gunung" di kawasan Gunung Andong, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Pertunjukan "Centhini Gunung" untuk perayaan Hari Perdamaian Dunia 2016 yang juga menjadi bagian dari agenda Borobudur Writers and Cultural Festival (5 s.d. 8 Oktober 2016) itu, kerja sama Yayasan Samana, Komunitas Lima Gunung, dan Wahid Institute. Tema BWCF 2016 adalah "Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisme dan Religiusitas dalam Kitab-Kitab Nusantara".
Ia mengatakan bahwa berbagai konflik yang mengakibatkan masyarakat merasa hidup tidak tenteram sering dijumpai di kota-kota besar.
Perayaan Hari Perdamaian Dunia di dusun dekat Gunung Andong tersebut, kata dia, sebagai simbol upaya menyatukan antara desa dengan masyarakat internasional.
"Ini yang kami ingin temukan bahwa dari desa untuk masyarakat internasional. Hari ini kita belajar tentang ilmu ketenteraman hati, belajar dengan orang desa. Silaturahmi terus terjaga," katanya
Pada kesempatan itu, dia juga menjelaskan tentang tokoh dalam Serat Centhini yang mengabdikan diri kepada tuannya sehingga dia mencapai "titik makrifat".
"Pengabdian Centhini menjadi jalan menuju Tuhan. Gus Dur (presiden ke-5 RI K.H. Abdurrahman Wahid yang juga ayah Yenny, red.) mengabdi untuk masyarakat, memuliakan manusia yang baik, buruk, jahat, baik, harus dimuliakan. Yang jelek dirangkul supaya baik, jangan dikafirkan tetapi ditata," katanya.
Ia juga mengemukakan tentang pentingnya setiap orang membangun sikap rendah hati, terutama dalam mengabdikan hidup kepada masyarakat.
"Kami ingin mengingatkan kita semua, kita harus menjadi abdi masyarakat, kita harus menjadi 'centhini-centhini' baru di masyarakat," katanya.
Acara yang dihadiri beberapa tokoh nasional, budayawan, dan seniman dari sejumlah kota serta ribuan masyarakat desa-desa di kawasan setempat itu, antara lain, ditandai dengan kirab ratusan seniman petani, pentas belasan perempuan seniman yang menamakan diri "Centhini Gunung" yang menjadi bagian dari Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, prosesi ritual kontemporer "Ondho (tangga) Centhini", dan pembacaan puisi "Para Peziarah Sejarah" karya penyair Dorothea Rosa Herliany oleh para perempuan "Centhini Gunung".
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Kos-kosan di Kelurahan Mewek Purbalingga jadi lokasi prostitusi daring, polisi tangkap dua orang
13 November 2024 15:16 WIB